Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Subsidi, Sebelum Perubahan

Masalah subsidi departemen p dan k bagi sekolah-sekolah swasta termasuk sekolah muhammadiyah. kini diribuntukan, selain itu ada juga subsidi bantuan guru dan bantuan rutin pendidikan.

30 Agustus 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA sebuah kenangan masa lampau yang diceritakan Prodjokusumo. Tahun 1932 kira-kira, waktu ia siswa HIK Muhammadiyah, sekolahnya menerima badan seorang guru Bahasa Belanda tok. Mengajar hanya lima kali, kemudian tak muncul. Mengapa? Semua sekolah Muhammadiyah waktu itu libur hari Jum'at (baru sekarang saja berbeda-beda), padahal si Belanda rajin pergi ke gereja di hari Minggu, saat ia harus mengajar. Ia minta agar liburan kolah itu disamakan sajalah dengan kolah gubernemen. Muhammadiyah kelas menolak, dan pergilah dia. Maka kata Prodjokusumo, pemerintah kolonial dulu toh tak menghalangi Muhammadiyah berlibur di hari Jum'at atau bulan puasa - dan tetap memberi subsidi. "Apa lagi pemerintah kita sendiri," katanya. Namun subsidi yang diributkan orang, dari Departemen P & K sekarang ini, sebenarnya hanyalah subsidi jenis yang disebut 'insidentil'. Yakni yang diberian per tahun tetapi selalu harus dengan permohonan. Dan yang berhak memoon hanyalah sekolah yang berstatus bersubsidi atau 'berbantuan'. Beda keduanya ialah yang 'bersubsidi' dianggap setingkat atau hampir setingkat dengan sekolah negeri, sedang yang Kedua dianggap separuh nilai sekolah negari. Subsidi yang lain ialah bantuan guu: pengangkatan guru swasta menjadi guru negeri dengan izin tetap mengajar di sekolah semula. Lantas ada juga yano disebut bantuan penyelenggaraan pendidikan--dan inilah aslinya yang disebut subsidi -- alias bantuan rutin. Masih ada lagi yang disebut bantuan sarana pendidikan, berupa buku atau alat peraga, diberikan kepada semua sekolah swasta tanpa kecuali. Sialnya, subsidi insidentil itulah yang dikabarkan paling tidak telah ditangguhkan dari dua sekolah Muhammadiyah -- yang paling besar jumlahnya. Bisa jauh lebih bcsar dibanding subsidi rutin. SMA Muhammadiyah di Purwokerto atau sekolah Muhammadiyah lain di Semarang itu, yang ditahan subsidi insidentilnya, tetap menerima subsidi rutin. Sebab subsidi jenis terakhir ini, umpama mau dihentikan, "harus lewat" SK Menteri P & K," tutur Ir. Sudarmadi kepada TEMPO. Tetapi berapa besarnya, sebagai gambaran? Menurut ketetapan terakhir, 1975 sekolah berbantuan--dari SMP, SMA, sampai sekolah kejuruan - mendapat antara Rp 180 sampai Rp 300 kali jumlah murid yang memiliki Surat Tanda Tamat Belajar yang diakui pemerintah. Yang 'bersubsidi', besar uang dihitung berdasar banyaknya kelas dari SMP SMA sampai sekolah kejuruan, per kelas memperoleh antara Rp 37.500 sampai Rp 67.500. Sebuah contoh. SMA BOPRI I Yogyakarta memperoleh subsidi tahun 1979/80 Rp 840 ribu untuk 21 kelasnya. Berarti sebulan Rp 70 ribu sekali lagi untuk 21 kelas. Padahal menurut Poerwanto, kepala sekolahnya, anggaran rutin sekolah ini sebulan mencapai Rp 3 juta. "Sesungguhnya kami bisa hidup tanpa subsidi," kata kepala sekolah itu pula. Tapi memang bukan besar-kecilnya uang subsidi itu yang diharapkan. Baik bagi Poerwanto maupun Prodjokusumo, yang lebih penting ialah predikat 'bersubsidi' itu. "Itu membuat masyarakat percaya kepada sekolah tersebut" kata Prodjo. Sebab harus diingat: sekolah yang mendapat subsidi P & K adalah sekolah umum, bukan agama. MEMANG terasa agak aneh yang namanya subsidi--atau bantuan--itu . Karena dikaitkan dengan kualitas, diperbandingkan dengan sekolah negeri, maka nasib sekolah swasta yang kurang bermutu sulit berkembang--justru karena sulit memperoleh bantuan. Sementara yang telah bermutu makin mendapat kelonggaran, karena mendapat bantuan. Dan itulah mengapa pemerintah bermaksud mengubah Peraturan Pemerintah No. 32 tahun 1958, yang mengatur tetek-bengek subsidi tersebut. Rencana peraturan baru kabarnya sudah sampai di Sekretariat Negara. Kecuali dasar tujuannya memang berbeda dengan PP 32/1958, beberapa persyaratan teknisnya pun berbeda. Nantinya tak akan ada lagi subsidi rutin yang bisa berlaku apalagi terus-menerus. Bantuan akan diperbarui setiap tahun, dan diberikan berdasar kebutuhan sekolah. Artinya tak akan dikaitkan dengan kualitas. Mungkin saja peraturan itu lebih melihat kenyataan yang ada. Banyak sekolah yang sebetulnya tak membutuhkan subsidi mendapatkannya sekolah-sekolah Kanisius, misalnya, yang bernaung di bawah Yayasan Budi Siswa. Toh masih bisa dikhayalkan timbulnya problem: bila misalnya ada sekolah atau pihak yang merasa dianaktirikan. Maklum soal kebutuhan, kriteria baru nanti, sebenarnya sulit diukur--dibanding mutu. Jadi ada sekolah yang merasa butuh tapi "oleh sesuatu sebab" tak diberi bantuan, dan sebaliknya. Toh kriteria 'kebutuhan' itu juga yang dipegang Departemen Agama Jalam kebijaksanaan subsidinya. Aturan Dep. Agama untuk madrasah-madrasah memang lebih sederhana--jumlah maupun prosedurnya. Menurut Sekretaris Ditjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam (PKAI), Drs. H.M. Arifin, jumlah dana subsidi ditentukan terlebih dahulu. Untuk tahun ini dan tahun lalu, sama Rp 50 juta. Itu dibagi rata untuk 250 madrasah. Subsidi ini disebut subsidi non-rehahilitasi. Kecuali itu, ada juga dana rehabilitasi yang besarnya persis sama--juga kriterianya. Dan untuk adilnya, satu madrasah tak bisa sekaligus mendapat subsidi dua items. "Tak boleh merangkap, kata Arifin. Juga ada bantuan guru. Catatan terakhir ada 70 ribu guru diperbantukan kepada 18 ribu madrasah (di seluruh Indonesia ada sekitar 23 ribu madrasah). Perbedaan yang paling nyata dari subsidi dua departemen itu ialah soal ikatan. "Kami hanya menganjurkan agar madrasah-madrasah mengikuti kurikulum 1976 dari pemerintah. Tapi bagi yang tidak mengikuti pun, tak ada akihatnya yang mehyangkut subsidi," tutur Arifin pula. Barangkan asalah yang dihadapi Dep. Agama memang lebih sederhana, atau memang mereka lebih toleran. Adapun Dep. P & K kini tercatat harus memberi subsidi |di 711 dari 8798 sekolah swasta. (Dari 711 itu, 156 adalah sekolah Muhammadiyah). Yang juga penting adalah usaha sekolah-sekolah swasta itu dalam membiayai diri--di samping menerima subsidi sebagai tambahan. Pater Sewaka, Ketua Yayasan Budi Siswa yang membawahi sekolah-sekolah Kanisius, menyatakan hanya mendapat subsidi setiap tahun sekitar Rp 750 ribu untuk sebuah SMP dan sebuah SMA yang diurusnya. Toh guru-guru di sekolah tersebut, yang sudah diangkat menjadi pegawai negeri (29 orang) masih mendapat insentif dari yayasan. Yang berstatus swasta pun mendapat jaminan layak. Ini berkat uang sekolah yang mahal, juga berbagai bantuan. Toh, ada yang mencoba bertahan tetap merdeka tanpa subsidi, tapi juga tak mengutip biaya besar dari murid. Perguruan Taman Siswa yang didirikan Ki Hadjar Dewantara tahun 1922, memang tetap sederhana dan tak terlalu populer di masyarakat kini. "Prinsip Taman Siswa menolak subsidi menurut PP 32/1958, karena sangat mengikat. Taman Siswa tak mau diikat oleh siapapun," kata Musman Wiryosentono, Panitera Umum Majelis Luhur Taman Siswa (TS). Keberatan untuk terikat itu antara lain mengenai kurikulum. TS yang punyai dasar filosofi pendidikan sendiri yang percaya kepada kemampuan kreativitas anak didik, sehingga murid harus mengikut guru, tak bisa sepenuhnya mengikuti kurikulum pemerintah. Lantas soal gedung. Syarat untuk mendapatkan subsidi memang harus mempunyai gedung yang baik. "Di Taman Siswa gedung tak penting. Orang bisa belajar di bawah pohon. Yang penting dasar dan tujuan pendidikannya itu sendiri," kata Ki Musman dengan semangat. Toh TS nyatanya menerima ban an pemerintah--tanpa ikatan, mema. Bantuan itu ada sejak 1975, berd.s jumlah murid. Akhir-akhir ini bahkan diterima bantuan Rp 90 juta. Dan hanya sekitar 5% saja dari seluruh anggaran TS yang Rp 1,8 milyar itu. "Bantuan itu kecil, kami terima juga kami tak mengikat," katanya, meski Taman Siswa tidak terhitung swasta yang terlalu besar. Mengenai kualitas sekolah, mempercayakan pada pamong masing-masing. Di Yogya, paling tidak, banyak sekolah TS berdinding gedek, dan murid yang datang hanya bersandal. YANG mungkin jadi problem bagi Muhammadiyah ialah organisasi ini sejak zaman Belanda, memilih politik kooperatif perguruan dan usaha sosialnya. Mereka memanfaatkan subsidi dari pemerintah belanda, meskipun jumlahnya jatuh yang terkecil dibanding yang diterima kalangan Kristen dan kemudian Katolik waktu itu --dan politik itu pula "menyebabkan Muhammadiyah", tengkar" dengan Sarekat Islam Tjokraminoto. Maklum, Muhammadiyah tampaknya lebih dari Taman Siswa punya ambisi meluaskan usahanya terus-menerus, dengan segala cara yang halal. Tapi sementara itu, seperti juga Taman Siswa, Muhammadiyah tak mau kehilangan kepribadiannya. Mereka Sendiri mempunyai peraturan tertulis--disebut Qa'ida--berisi penetapan tentang tujuan, syarat-syarat, sumber dana d lain-lain bagi sebuah perguruannya ya akan berdiri. Menarik, di samping itu ada pula '10 pasal kepribadian' yang tak hendak diingkari. Dan salah satu materi kepribadian itu ialah: libur sekolah di bulan puasa. Muhammadiyah memang salah organisasi yang artinya jauh lebih besar dari sekedar sekumpulan sekolah. Ia sudah punya tradisi. Akan yayasan kecil yang gampang diubah-ubah--ia sudah punya tradisi. Akankah peraturan baru tentang subsidi, kalau memang benar akan berjalan, aku membuka babak baru?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus