ADA sebuah kenangan masa lampau yang diceritakan Prodjokusumo.
Tahun 1932 kira-kira, waktu ia siswa HIK Muhammadiyah,
sekolahnya menerima badan seorang guru Bahasa Belanda tok.
Mengajar hanya lima kali, kemudian tak muncul. Mengapa?
Semua sekolah Muhammadiyah waktu itu libur hari Jum'at (baru
sekarang saja berbeda-beda), padahal si Belanda rajin pergi ke
gereja di hari Minggu, saat ia harus mengajar. Ia minta agar
liburan kolah itu disamakan sajalah dengan kolah gubernemen.
Muhammadiyah kelas menolak, dan pergilah dia.
Maka kata Prodjokusumo, pemerintah kolonial dulu toh tak
menghalangi Muhammadiyah berlibur di hari Jum'at atau bulan
puasa - dan tetap memberi subsidi. "Apa lagi pemerintah kita
sendiri," katanya.
Namun subsidi yang diributkan orang, dari Departemen P & K
sekarang ini, sebenarnya hanyalah subsidi jenis yang disebut
'insidentil'. Yakni yang diberian per tahun tetapi selalu harus
dengan permohonan. Dan yang berhak memoon hanyalah sekolah yang
berstatus bersubsidi atau 'berbantuan'. Beda keduanya ialah yang
'bersubsidi' dianggap setingkat atau hampir setingkat dengan
sekolah negeri, sedang yang Kedua dianggap separuh nilai sekolah
negari.
Subsidi yang lain ialah bantuan guu: pengangkatan guru swasta
menjadi guru negeri dengan izin tetap mengajar di sekolah
semula. Lantas ada juga yano disebut bantuan penyelenggaraan
pendidikan--dan inilah aslinya yang disebut subsidi -- alias
bantuan rutin. Masih ada lagi yang disebut bantuan sarana
pendidikan, berupa buku atau alat peraga, diberikan kepada
semua sekolah swasta tanpa kecuali.
Sialnya, subsidi insidentil itulah yang dikabarkan paling tidak
telah ditangguhkan dari dua sekolah Muhammadiyah -- yang paling
besar jumlahnya. Bisa jauh lebih bcsar dibanding subsidi rutin.
SMA Muhammadiyah di Purwokerto atau sekolah Muhammadiyah lain di
Semarang itu, yang ditahan subsidi insidentilnya, tetap menerima
subsidi rutin. Sebab subsidi jenis terakhir ini, umpama mau
dihentikan, "harus lewat" SK Menteri P & K," tutur Ir.
Sudarmadi kepada TEMPO. Tetapi berapa besarnya, sebagai
gambaran?
Menurut ketetapan terakhir, 1975 sekolah berbantuan--dari SMP,
SMA, sampai sekolah kejuruan - mendapat antara Rp 180 sampai Rp
300 kali jumlah murid yang memiliki Surat Tanda Tamat Belajar
yang diakui pemerintah. Yang 'bersubsidi', besar uang dihitung
berdasar banyaknya kelas dari SMP SMA sampai sekolah kejuruan,
per kelas memperoleh antara Rp 37.500 sampai Rp 67.500.
Sebuah contoh. SMA BOPRI I Yogyakarta memperoleh subsidi tahun
1979/80 Rp 840 ribu untuk 21 kelasnya. Berarti sebulan Rp 70
ribu sekali lagi untuk 21 kelas. Padahal menurut Poerwanto,
kepala sekolahnya, anggaran rutin sekolah ini sebulan mencapai
Rp 3 juta. "Sesungguhnya kami bisa hidup tanpa subsidi," kata
kepala sekolah itu pula.
Tapi memang bukan besar-kecilnya uang subsidi itu yang
diharapkan. Baik bagi Poerwanto maupun Prodjokusumo, yang lebih
penting ialah predikat 'bersubsidi' itu. "Itu membuat masyarakat
percaya kepada sekolah tersebut" kata Prodjo. Sebab harus
diingat: sekolah yang mendapat subsidi P & K adalah sekolah
umum, bukan agama.
MEMANG terasa agak aneh yang namanya subsidi--atau bantuan--itu
. Karena dikaitkan dengan kualitas, diperbandingkan dengan
sekolah negeri, maka nasib sekolah swasta yang kurang bermutu
sulit berkembang--justru karena sulit memperoleh bantuan.
Sementara yang telah bermutu makin mendapat kelonggaran, karena
mendapat bantuan.
Dan itulah mengapa pemerintah bermaksud mengubah Peraturan
Pemerintah No. 32 tahun 1958, yang mengatur tetek-bengek subsidi
tersebut.
Rencana peraturan baru kabarnya sudah sampai di Sekretariat
Negara. Kecuali dasar tujuannya memang berbeda dengan PP
32/1958, beberapa persyaratan teknisnya pun berbeda. Nantinya
tak akan ada lagi subsidi rutin yang bisa berlaku apalagi
terus-menerus. Bantuan akan diperbarui setiap tahun, dan
diberikan berdasar kebutuhan sekolah. Artinya tak akan dikaitkan
dengan kualitas.
Mungkin saja peraturan itu lebih melihat kenyataan yang ada.
Banyak sekolah yang sebetulnya tak membutuhkan subsidi
mendapatkannya sekolah-sekolah Kanisius, misalnya, yang bernaung
di bawah Yayasan Budi Siswa. Toh masih bisa dikhayalkan
timbulnya problem: bila misalnya ada sekolah atau pihak yang
merasa dianaktirikan. Maklum soal kebutuhan, kriteria baru
nanti, sebenarnya sulit diukur--dibanding mutu. Jadi ada sekolah
yang merasa butuh tapi "oleh sesuatu sebab" tak diberi bantuan,
dan sebaliknya.
Toh kriteria 'kebutuhan' itu juga yang dipegang Departemen Agama
Jalam kebijaksanaan subsidinya. Aturan Dep. Agama untuk
madrasah-madrasah memang lebih sederhana--jumlah maupun
prosedurnya. Menurut Sekretaris Ditjen Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam (PKAI), Drs. H.M. Arifin, jumlah dana subsidi
ditentukan terlebih dahulu. Untuk tahun ini dan tahun lalu, sama
Rp 50 juta. Itu dibagi rata untuk 250 madrasah. Subsidi ini
disebut subsidi non-rehahilitasi.
Kecuali itu, ada juga dana rehabilitasi yang besarnya persis
sama--juga kriterianya. Dan untuk adilnya, satu madrasah tak
bisa sekaligus mendapat subsidi dua items. "Tak boleh merangkap,
kata Arifin.
Juga ada bantuan guru. Catatan terakhir ada 70 ribu guru
diperbantukan kepada 18 ribu madrasah (di seluruh Indonesia ada
sekitar 23 ribu madrasah).
Perbedaan yang paling nyata dari subsidi dua departemen itu
ialah soal ikatan. "Kami hanya menganjurkan agar
madrasah-madrasah mengikuti kurikulum 1976 dari pemerintah. Tapi
bagi yang tidak mengikuti pun, tak ada akihatnya yang mehyangkut
subsidi," tutur Arifin pula.
Barangkan asalah yang dihadapi Dep. Agama memang lebih
sederhana, atau memang mereka lebih toleran. Adapun Dep. P & K
kini tercatat harus memberi subsidi |di 711 dari 8798 sekolah
swasta. (Dari 711 itu, 156 adalah sekolah Muhammadiyah).
Yang juga penting adalah usaha sekolah-sekolah swasta itu dalam
membiayai diri--di samping menerima subsidi sebagai tambahan.
Pater Sewaka, Ketua Yayasan Budi Siswa yang membawahi
sekolah-sekolah Kanisius, menyatakan hanya mendapat subsidi
setiap tahun sekitar Rp 750 ribu untuk sebuah SMP dan sebuah SMA
yang diurusnya. Toh guru-guru di sekolah tersebut, yang sudah
diangkat menjadi pegawai negeri (29 orang) masih mendapat
insentif dari yayasan. Yang berstatus swasta pun mendapat
jaminan layak. Ini berkat uang sekolah yang mahal, juga berbagai
bantuan.
Toh, ada yang mencoba bertahan tetap merdeka tanpa subsidi, tapi
juga tak mengutip biaya besar dari murid. Perguruan Taman Siswa
yang didirikan Ki Hadjar Dewantara tahun 1922, memang tetap
sederhana dan tak terlalu populer di masyarakat kini. "Prinsip
Taman Siswa menolak subsidi menurut PP 32/1958, karena sangat
mengikat. Taman Siswa tak mau diikat oleh siapapun," kata Musman
Wiryosentono, Panitera Umum Majelis Luhur Taman Siswa (TS).
Keberatan untuk terikat itu antara lain mengenai kurikulum. TS
yang punyai dasar filosofi pendidikan sendiri yang percaya
kepada kemampuan kreativitas anak didik, sehingga murid harus
mengikut guru, tak bisa sepenuhnya mengikuti kurikulum
pemerintah.
Lantas soal gedung. Syarat untuk mendapatkan subsidi memang
harus mempunyai gedung yang baik. "Di Taman Siswa gedung tak
penting. Orang bisa belajar di bawah pohon. Yang penting dasar
dan tujuan pendidikannya itu sendiri," kata Ki Musman dengan
semangat.
Toh TS nyatanya menerima ban an pemerintah--tanpa ikatan, mema.
Bantuan itu ada sejak 1975, berd.s jumlah murid. Akhir-akhir
ini bahkan diterima bantuan Rp 90 juta. Dan hanya sekitar 5%
saja dari seluruh anggaran TS yang Rp 1,8 milyar itu. "Bantuan
itu kecil, kami terima juga kami tak mengikat," katanya, meski
Taman Siswa tidak terhitung swasta yang terlalu besar. Mengenai
kualitas sekolah, mempercayakan pada pamong masing-masing. Di
Yogya, paling tidak, banyak sekolah TS berdinding gedek, dan
murid yang datang hanya bersandal.
YANG mungkin jadi problem bagi Muhammadiyah ialah organisasi ini
sejak zaman Belanda, memilih politik kooperatif perguruan dan
usaha sosialnya. Mereka memanfaatkan subsidi dari pemerintah
belanda, meskipun jumlahnya jatuh yang terkecil dibanding yang
diterima kalangan Kristen dan kemudian Katolik waktu itu --dan
politik itu pula "menyebabkan Muhammadiyah", tengkar" dengan
Sarekat Islam Tjokraminoto. Maklum, Muhammadiyah tampaknya
lebih dari Taman Siswa punya ambisi meluaskan usahanya
terus-menerus, dengan segala cara yang halal.
Tapi sementara itu, seperti juga Taman Siswa, Muhammadiyah tak
mau kehilangan kepribadiannya. Mereka Sendiri mempunyai
peraturan tertulis--disebut Qa'ida--berisi penetapan tentang
tujuan, syarat-syarat, sumber dana d lain-lain bagi sebuah
perguruannya ya akan berdiri. Menarik, di samping itu ada pula
'10 pasal kepribadian' yang tak hendak diingkari. Dan salah
satu materi kepribadian itu ialah: libur sekolah di bulan
puasa.
Muhammadiyah memang salah organisasi yang artinya jauh lebih
besar dari sekedar sekumpulan sekolah. Ia sudah punya tradisi.
Akan yayasan kecil yang gampang diubah-ubah--ia sudah punya
tradisi. Akankah peraturan baru tentang subsidi, kalau memang
benar akan berjalan, aku membuka babak baru?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini