APAKAH yang tak ada padanya. Orangnya tampan, berpendidikan
tinggi, berpangkat tinggi, berwibawa, beriman, cekatan dan ramah
sekali. Semua sifat terpuji yang patut dianugerahkan Tuhan
kepada keturunan Adam, terhimpun dalam dirinya.
Bagi mereka yang mengenalnya, yang amat mengesankan ialah
pandangannya yang jauh ke depan, kemampuannya mengorganisir dan
kekritisannya berpikir. Juga amat praktis orangnya. Serba bisa
dan kaya pengalaman dalam dan luar negeri. Padanya berbaur
kemampuan berteori, bervisi dan berpraktek.
Dia ini manusia modern tulen, yang sungguh dibutuhkan untuk
menggerakkan modernisasi bangsa. Manusia modern, kata Alex
Inkeles, mempunyai kesediaan menerima pengalaman baru dan
keterbukaan terhadap pembaharuan dan perubahan mempunyai
kemampuan berpendapat tentang persoalan-persoalan yang tidak
saja timbul di sekitarnya tapi juga di luarnya mempunyai
tanggapan yang demokratis, sadar atas keragaman opini dan sikap
mempunyai pandangan yang tertuju kepada masa kini dan masa
depan, bukan terbuat oleh masa lampau yang kolot mempunyai
keinginan rlibat dalam perencanaan dan organisasi mempunyai
kepercayaan pada ilmu dan teknologi. Dan itu semuanya.
Alhamdulillah, sudah terpadu dalam dirinya.
"Syukur sekali dapat bertemu dengan Pak B (singkatan namanya).
Pak B tentu sibuk sekali dengan urusan dinas, tamu dan segala
macam. Kedatangan saya sekedar mampir, to say hallo. Dan juga
untuk mengucapkan selamat atas pengangkatan Pak B, walaupun
ucapan selamat yang terlambat."
"Terima kasih. Saya juga senang Pak M menyempatkan mampir.
Kebetulan ada waktu kosong satu jam ini. Satu jam lagi ada tamu
orang Jerman."
Saya sudah siap-siap menelan apa saja yang barangkali
sukar.dikunyah. Siap menyimak hal-hal teknis yang saya kurang
mengerti. Maklumlah, saya buta huruf dalam bidang keahliannya.
Tapi untung, dugaan saya pelak. Dia tidak omong soal tugasnya
yang berat dan rencananya yang besar-besar.
"Kebahagiaan dalam hidup ini tidak tergantung pada pangkat. Dan
dalam hidup ini orang kerap mencampur-adukkan kepuasan dan
kebahagiaan. Orang mengira mencari dan menemukan kebahagiaan,
tapi mengejar dan mendapat kepuasan. Dalam hidup perlu dipahami
apa yang mau dicari, perlu dimengerti apa yang dikejar, bukan?"
Dia tersenyum.
Saya tertegun sejenak tapi merasa nyaman pembicaraan menjurus
kepada soal yang dapat saya tangkap. Ucapannya mengingatkan saya
kepada Krishnamurti dan sekaligus Annie Besant, tokoh KB
Inggris, yang kemudian kagum terhadap ajaran-ajaran
Krishnamurti.
"Tentu saya akan berusaha menunaikan tugas dengan
sebaik-baiknya. Mudah-mudahan saya dapat menyumbangkan sesuatu
yang berguna bagi masyarakat. Juga jelas saya dicantoli
tanda-tanda. Tanda-tanda itu ya kantor, ya stempel, ya pegawai,
ya rumah, ya mobil, ya sopir, ya protokol, ya segala macam.
Jabatan kan penuh dengan tanda-tanda? Dan orang sebaiknya sadar
akan makna tanda-tanda ini.
Tanda-tanda datang bersama jabatan, pergi bersama jabatan." Dia
tersenyum sekali lagi. Gayanya terus santai. "Sekarang orang
membungkuk-bungkuk, pintu mobil dibukakan untuh saya, tas saya
dijinjingkan, resepsi disiapkan, untaian bunga dikalungkan. Ini
semuanya tanda-tanda. Bukan bagian utuh dari saya. Sekali saya
berhenti atau dihentikan, saya kehilangan tanda-tanda. Itu
proses yang wajar. Jangan istri merasa terhina karena dia juga
kehilangan tanda-tanda, anak dan keponakan merasa terbanting
akibat tanda-tanda yang sudah pergi. Itu namanya salah tafsir
tentang makna tanda-tanda."
Pembicaraan pun beralih kepada Ki Ageng Suryomentaram, yang
berkata kepada Ki Woro bahwa dia belum pernah bertemu orang.
"Selalu bertemu dengan disembah, diminta-mintai, diperintah,
dimurkai. Jadi kan hanya bertemu dengan sembah, pinta, perintah,
murka, bukan bertemu dengan orang."
Sebagai filsafat hidup, Ki Ageng Suryomentaramlah orangnya yang
mencanangkan asas 6-sa: sa-butuhe (sesuai dengan keperluan
hakiki) sa-perlune (memenuhi keperluan secara efektif)
saukupe (tanpa berlebih-lebihan) sa-benere (sesuai dengan
kenyataan yang obyektif): sa-mestine (sesuai dengan rasa
kebenaran dan keadilan) sa-kepenake (tanpa melewati batas
kesanggupan fisik dan mental).
Setahu saya, pikiran saya cepat melayang ke tokoh besar Mohammad
Said Reksohadiprodjo almarhum: gaya hidupnya yang khas dan
kegemarannya mendalami pandangan hidup Ki Ageng. Terbayang sajak
Taufiq Ismail:
Sandal Mohammad Said Reksohadiprodjo,
Sandal yang menggesek debu Jakarta,
Sandal yang menggesek debu Indonesia,
Soh, soh, soh, beitu bunyinya.
Pak B cerita tentang secuplik pengalaman di Surabaya beberapa
tahun yang lalu, waktu-dia ingin ketemu seorang kepala kantor.
oleh sekretaris dia dipersilakan menunggu. Kepala kantor sibuk.
Seidah agak lama menunggu, dihubunginya lagi sekretaris itu.
"Saya akan berterimakasih kalau dapat bertemu. Tapi kalau tak
dapat, saya datang lain kali. Saya dari Jakarta."
"O ya, bapak pimpinan juga sering ke Jakarta. Kalau ke Jakarta,
dia menemui Pak B di sana."
"Saya adalah Pak B itu."
"O ya? O ya?"
Sekretaris itu tiba-tiba tegak, persis seperti prajurit
menghadapi jenderal. Dengan gagap dia minta maaf, lalu bergegas
masuk memberitahukan kepalanya.
"Aduuh, maaf pak, maaf pak."
Pintu diketuk tanda tamu Jerman sudah datang. Saya minta diri
dan bersalaman. Sambil berdiri sejenak dekat pintu, Pak B
berkomentar: "Begitulah manusia menghadapi manusia. Manusia
dengan tanda-tanda beda dengan manusia tanpa tanda-tanda
manusia dengan lambang lain dengan manusia tanpa lambang. Lucu
sekali .... "
Pada waktu menuruni tangga, dalam benak saya berbaur Mohammad
Said Reksohadiprodjo, Ki Ageng Suryomentaram dan Alex Inkeles.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini