Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada masa Orde Baru, DPR tak selalu berarti 5D alias datang, duduk, diam, dengar, duit. Inilah yang terjadi pada 1989. Ketika itu, dua fraksi mengeluarkan kritik keras kepada pemerintah. Salah satu fraksi menyebut, sudah terjadi komunikasi politik akibat tidak adanya keterbukaan politik. Ini semua terjadi, kata mereka, akibat pemerintah terlalu menekankan pentingnya pertumbuhan ekonomi dan melupakan aspek pendidikan politik. Mereka kemudian meminta sensor terhadap pers segera dilonggarkan.
Mereka mempersoalkan naiknya tarif listrik dan menyoroti lotere Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB) yang antidisiplin nasional.
Yang menarik, dua fraksi yang mengecam itu justru fraksi pendukung utama pemerintah di DPR: Fraksi ABRI dan Fraksi Golkar. Ini menjadi salah satu episode langka yang bisa dicatat dalam sejarah DPR di masa Orde Baru. Karena di masa itu apa yang dilakukan dua fraksi itu adalah sebuah "pemberontakan politik".
Kini DPR jelas tidak lagi DPR Orde Baru. Pekan lalu, misalnya, Koalisi Kebangsaan bertekad mengajukan hak interpelasi ke Presiden Yudhoyono. Mereka akan mempersoalkan mengapa Yudhoyono membatalkan pengunduran diri Panglima TNI Sutarto dan pengusulan Ryamizard Ryacudu sebagai penggantinya.
Inilah ketegangan pertama Yudhoyono, presiden yang baru menjabat kurang dari dua minggu, dengan DPR. Inilah sekaligus sebuah test-case yang akan menguji kemampuan Yudhoyono berhadapan dengan parlemen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo