Candi Borobudur bergetar. Sekelompok orang memasang 13 bom di 13 stupa candi. Tak semuanya meledak. Namun ini pun sudah menimbulkan kerusakan besar: sembilan stupa ambrol, dua patung hancur, dan dua lainnya rusak.
Misteri peledakan itu baru terkuak setahun kemudian. Di Pengadilan Negeri Malang, Jawa Timur, tiga terdakwa diadili. Mereka adalah Achmad Muladawila, Abdulkadir Baraja, dan Abdulkadir Ali al-Habsyi. Ketiganya dituduh terlibat pengeboman: gedung Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) dan Gereja Sasana Budaya Katolik, Malang; Candi Borobudur; dan bus Pemudi Express.
Pada awalnya, pengungkapan kasus ini terbilang sulit. Namun titik terang terbongkarnya komplotan mulai tampak setelah bus Pemudi terkena ledakan. Versi dakwaan jaksa, ledakan bus itu sebenarnya tidak direncanakan. Sasaran sesungguhnya adalah Pantai Kuta, Bali. Akibat perbuatan itu, ketiga terdakwa dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 11/PNPS/1963, yang biasa disebut Undang-Undang Subversi.
Inilah undang-undang yang sangat lentur sehingga hampir bisa dikenakan pada siapa saja atas tuduhan subversif. Ini pula undang-undang warisan Belanda yang dianggap hanya menjadi alat kekuasaan Soeharto. Undang-undang Subversi ini kemudian dicabut?sebuah keputusan yang melegakan banyak pihak.
Pencabutan UU No. 16/2003 mengenai penerapan UU Antiterorisme terhadap pelaku peledakan bom Bali oleh Mahkamah Konstitusi pekan lalu mengingatkan pada pencabutan UU Subversi. Bedanya, kali ini UU No. 16/2003 dicabut bukan karena kelenturannya, melainkan karena sifatnya yang berlaku surut?hal yang bertentangan dengan konstitusi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini