Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Tenun tustel di pedan

Perusahaan tenun "keluarga" di desa pedan, kab. klaten, terkenal sebagai pusat pembuatan lurik milik ibu h. hardjosugito. kini tinggal memiliki 20 atbm. (ils)

7 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI kerja sambilan, kok," kata Jumiyem, dari Desa Kukap, Kecamatan Bayat, Klaten "sebelum G30S/PKI dulu, hampir tiap rumah punya alat tenun." Di desa ini, kini cuma ada tiga alat tenun gendong. Karena kerja sambilan, tidak tiap hari Jumiyem menenun. Dia sendiri belajar sejak umur 5 tahun dari ibunya, mBok Kartuwiryo. Dan ibunya, dari ibunya lagi -- demikian seterusnya. Kalau bekerja sehari suntuk, Jumiyem bisa menyelesaikan sehelai kain lurik yang di pasar harganya bisa sampai Rp 2.000. "Sekarang ini, sulit mencari tukang tenun," kata Ibu Haji Hardjosugrito, pemilik perusahaan tenun Keluatga. Desanya, Pedan, Kabupaten Klaten memang terkenal sebagai pusat pembuatan lurik. Di tahun 50-an, dia masih memiliki 300 ATBM, yang di Pedan disebut tenun tustel. Kini, tinggal 20 buah. Sopir Kolt Dengan tenun tustel ini, seorang petenun bisa menghasilkan kain lurik 12 meter atau 5 buah selendang sehari. Setiap meter, petenun mendapat upah Rp 36 untuk kain lurik atau Rp 57 untuk sebuah selendang, atau Rp 55 untuk taplak meja. Pola hasil Keluarga cukup banyak variasi. Antara lain dom kececer (jarum tercecer), rinding putung, padet ketan ireng, dan sebagainya, sesuai dengan warna dan corak garis-garisnya. Keluarga pernah jaya di tahun 1978. "Waktu lurik sedang jadi mode," ceritera Nyonya Hardjosugrito, "dan banyak pameran mode yang pakai lurik waktu itu." Walaupun lurik tidak selaris dulu lagi, perusahaannya tidak terpukul benar. Karena perusahaannya juga memproduksi tenun polos atau yang disebut putihan. "Anak-anak sekarang tidak lagi mau belajar menenun," keluh nyonya itu lagi. Pekerjaan yang kini dianggap para pemuda Pedan lebih modern ialah menjadi sopir kolt atau jadi kernetnya. Di tahun 30-an, di Pedan, orang amat getol pada kain lurik, sebagai salah satu usaha swadeshi. "Untuk belajar mewarnai benang," kenang Nyonya Hardjo, "generasi saya bersedia pergi ke Bandung." Ekspor keluar negeri? "Wah ndak pernah," sahut Ny. Hardjo. Salah seorang anaknya, pernah bersekolah di Jerman Barat. Oleh sang ibu, konon dibekali baju dari kain lurik. "Ternyata, tidak banyak yang tertarik," sambungnya, "dan usaha promosi saya gagal."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus