INI kerja sambilan, kok," kata Jumiyem, dari Desa Kukap,
Kecamatan Bayat, Klaten "sebelum G30S/PKI dulu, hampir tiap
rumah punya alat tenun." Di desa ini, kini cuma ada tiga alat
tenun gendong.
Karena kerja sambilan, tidak tiap hari Jumiyem menenun. Dia
sendiri belajar sejak umur 5 tahun dari ibunya, mBok Kartuwiryo.
Dan ibunya, dari ibunya lagi -- demikian seterusnya. Kalau
bekerja sehari suntuk, Jumiyem bisa menyelesaikan sehelai kain
lurik yang di pasar harganya bisa sampai Rp 2.000.
"Sekarang ini, sulit mencari tukang tenun," kata Ibu Haji
Hardjosugrito, pemilik perusahaan tenun Keluatga. Desanya,
Pedan, Kabupaten Klaten memang terkenal sebagai pusat pembuatan
lurik. Di tahun 50-an, dia masih memiliki 300 ATBM, yang di
Pedan disebut tenun tustel. Kini, tinggal 20 buah.
Sopir Kolt
Dengan tenun tustel ini, seorang petenun bisa menghasilkan kain
lurik 12 meter atau 5 buah selendang sehari. Setiap meter,
petenun mendapat upah Rp 36 untuk kain lurik atau Rp 57 untuk
sebuah selendang, atau Rp 55 untuk taplak meja.
Pola hasil Keluarga cukup banyak variasi. Antara lain dom
kececer (jarum tercecer), rinding putung, padet ketan ireng, dan
sebagainya, sesuai dengan warna dan corak garis-garisnya.
Keluarga pernah jaya di tahun 1978. "Waktu lurik sedang jadi
mode," ceritera Nyonya Hardjosugrito, "dan banyak pameran mode
yang pakai lurik waktu itu." Walaupun lurik tidak selaris dulu
lagi, perusahaannya tidak terpukul benar. Karena perusahaannya
juga memproduksi tenun polos atau yang disebut putihan.
"Anak-anak sekarang tidak lagi mau belajar menenun," keluh
nyonya itu lagi. Pekerjaan yang kini dianggap para pemuda Pedan
lebih modern ialah menjadi sopir kolt atau jadi kernetnya.
Di tahun 30-an, di Pedan, orang amat getol pada kain lurik,
sebagai salah satu usaha swadeshi. "Untuk belajar mewarnai
benang," kenang Nyonya Hardjo, "generasi saya bersedia pergi ke
Bandung."
Ekspor keluar negeri? "Wah ndak pernah," sahut Ny. Hardjo. Salah
seorang anaknya, pernah bersekolah di Jerman Barat. Oleh sang
ibu, konon dibekali baju dari kain lurik. "Ternyata, tidak
banyak yang tertarik," sambungnya, "dan usaha promosi saya
gagal."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini