Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Kini, sebutlah l-u-r-i-k

Pameran tenunan lurik di museum tekstil, jakarta, diselenggarakan wastraprema bersama yayasan seni tradisionil. kain lurik merupakan kain tanda. status simbol tertentu dari pemakaiannya. (ils)

7 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARTINI merasa rikuh ketika sorot lampu televisi menerangi dirinya. Untung saja rambutnya yang keriting, kering dan sedikit merah, menutupi sebagian mukanya. Tetapi gadis itu tetap menunduk. Tangannya sibuk mengatur incing (benang atas) dan selang (benang bawah) yang terentang di carang, tangkai kayu tempat incing dan selang digulung. Setiap kali benang-benang tersebut selesai diatur, Partini memasukkan tropong ke sela-sela rentangan benang untuk kemudian liro ditekan ke arah perutnya. Glek, glek, glek, bunyi liro karena tekanan kuat dari penenun. Berbagai suara yang tidak dipahaminya, masuk ke telinga Partini. Sesekali matanya melirik ke kerumunan orang yang mengamat-amati lurik yang sedang ditenunnya. Atau ke alat tenun yang turut pelesir ke Jakarta bersamanya dari sebuah desa terpencil di Tuban, Ja-Tim. Pagi itu, 26 Februari, di Museum Tekstil Jakarta, dibuka pameran tenunan lurik. Untuk pertama kali, setidak-tidaknya sejak jenis tenunan ini lama dilupakan orang. Usaha ini diselenggarakan oleh Wastraprema (Himpunan Pencinta Kain Tenun dan Batik) bersama Yayasan Seni Tradisional. "Dan mulai sekarang, ingatlah kata lurik," kata Yoop Ave, anggota Wastraprema yang kini menjabat Dirjen Protokol dan Konsuler, Deplu. Kata Yoop lagi "Sekali lagi, mulai hari ini ingatlah lurik. L-u-r-i-k." Makin Langka Penampilan lurik memang tidak begitu eksotik seperti batik. Padahal kepandaian menenun telah dimiliki ratusan tahun yang lalu oleh orang Indonesia. "Sejak zaman pra sejarah," kata Wahyono M., Kepala Proyek Penelitian Tenunan Lurik. Ini berdasarkan motif tenun yang menempel pada nekara, bejana atau tempayan kuno yang ditemukan di kawasan Indonesia timur. Prasasti abad ke-8 dan 9, menyebutkan pula perdagangan kisi, atukel (benang) dan berbagai zat pewarna pakaian. Di zaman itu, kain tenun mempunyai fungsi sosial ekonomis yang tinggi. Sebuah umpak batu di Museum Mojokerto menggambarkan sebuah relief seorang wanita yang sedang menenun. Relief tersebut berasal dari abad ke-14, dan alat tenun gendong yang dipakai waktu itu tidak banyak beda dengan alat tenun gendong yang sekarang. Tapi alat tenun ini kini semakin langka. Di Yogya dan Sala, cuma ada beberapa alat tenun macam ini yang masih dipakai oleh penenun-penenun tua. Namun di Tuban, Jawa Timur, sebagian besar penenun masih memakai alat tenun gendong. Disebut gendong atau gedog, karena bagian alat yang dibuat dari kayu ini menempel di pinggang si penenun. Penenun sendiri biasanya duduk di tanah atau amben, dan ketika menenun, kedua kakinya harus lurus ke depan. Tahun 1918, pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan ATBM (alat tenun bukan mesin), yang hingga kini masih banyak dipakai. Mulai saat itulah, tenun gendong terpojok. ATBM biasanya dimiliki orang-orang kaya. Kualitas hasil tenun gendong sebenarnya bisa lebih bagus dari tenun hasil ATBM. Misalnya para petenun di desadesa pedalaman Yogyakarta, tetap setia mempergunakan alat tenun gendong, meskipun telah menggunakan benang berkualitas tinggi. Hanya jumlah produksi tenun model ini rata-rata rendah. Selembar jarik (kain panjang) yang panjangnya sekitar 2,5 meter, memakan waktu 7 hari untuk menyelesaikannya. Partini bahkan mengatakan, selembar kain yang ditenunnya baru bisa selesai 11 hari. Kalau dijual, harga tangan pertama Rp 6.500. Modal untuk selembar kain, bisa menelan Rp 3.000. Tak heran jika kini kerajinan menenun semakin ditinggalkan generasi muda. Selain menenun ruwet, juga karena upah menjadi buruh batik lebih besar (lihat box). Walhasil, nasib lurik (di Jawa Barat disebut poleng) sama halnya dengan nasib kain tenun di berbagai daerah di Indonesia. Langka, tapi banyak orang yang mengaguminya, dengan harga cukup mahal dan menjadi barang yang jarang terpajang di toko-toko. Jawa Tengah dan Jawa Timur, kain lurik dipakai untuk surjan, kain bahkan rok dan celana. Semut Gatel Pola hias lurik puluhan ragamnya. Meskipun tampaknya sama, karena lurik (seakar dengan kata lorek) berarti bergaris-garis. Nama pola biasanya disesuaikan dengan peristiwa alam. Misalnya selendang kluwung, adalah selendang dengan pola pelangi, warna warni. Selendang kacang sauntil, kacang gleyor, kalau diamati memang tampak seperti kacang seikat atau mirip-mirip kacang panjang. Jarik pola semut gatel mubal, adalah kain panjang dasar hitam atau biru tua dengan aluran benang putih yang samar-samar di seluruh kain tersebut. Di Keraton Yogya sendiri, peraturan mengenakan surjan lurik dengan pola tertentu, tetap berlaku hingga sekarang. Di bulan Maulud, untuk sowan Sultan Hamengkubuwono IX di keraton, diwajibkan mengenakan surjan lurik pola rinding putung biru. Pola cembirit atau maraseba, bisa dikenakan untuk surjan sehari-hari. Beberapa pola bahkan ada dibuat khusus untuk baju wanita, pria atau cukup untuk selendang saja. Selendang, memegang peranan besar dalam lurik. Misalnya selendang pola tuluh watu, termasuk pola yang hanya dipakai pada upacara ruwatan, selamatan anak tunggal atau selamatan bernazar. Kain lurik, juga merupakan kain tanda, status simbol tertentu dari pemakainya. Di Wonogiri, para janda muda hanya memakai kain lurik dengklik dan kemben mrutu sewu. Di Bagelen, Jawa Tengah, nenek-nenek yang mempunyai cicit sampai ke generasi kelima (wareng) dan lestari masih hidup, mengenakan lurik kantil. Warnanya hitam disertai gambar-gambar yang mirip kembang cempaka. Ahli Tata Rias Ruangan, Kreshna Siregar, sudah mulai memperkenalkan lurik untuk penghias ruangan. Garis-garisnya yang sederhana, juga mudah dan cocok untuk menghias bantalan kursi, jok atau pun tirai penghias jendela. Kata Siregar sambil berbisik "Harga lurik juga murah. Lurik ATBM di Yogya, cuma Rp 300/meter."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus