PARTINI merasa rikuh ketika sorot lampu televisi menerangi
dirinya. Untung saja rambutnya yang keriting, kering dan sedikit
merah, menutupi sebagian mukanya. Tetapi gadis itu tetap
menunduk. Tangannya sibuk mengatur incing (benang atas) dan
selang (benang bawah) yang terentang di carang, tangkai kayu
tempat incing dan selang digulung.
Setiap kali benang-benang tersebut selesai diatur, Partini
memasukkan tropong ke sela-sela rentangan benang untuk kemudian
liro ditekan ke arah perutnya. Glek, glek, glek, bunyi liro
karena tekanan kuat dari penenun.
Berbagai suara yang tidak dipahaminya, masuk ke telinga Partini.
Sesekali matanya melirik ke kerumunan orang yang mengamat-amati
lurik yang sedang ditenunnya. Atau ke alat tenun yang turut
pelesir ke Jakarta bersamanya dari sebuah desa terpencil di
Tuban, Ja-Tim.
Pagi itu, 26 Februari, di Museum Tekstil Jakarta, dibuka pameran
tenunan lurik. Untuk pertama kali, setidak-tidaknya sejak jenis
tenunan ini lama dilupakan orang. Usaha ini diselenggarakan oleh
Wastraprema (Himpunan Pencinta Kain Tenun dan Batik) bersama
Yayasan Seni Tradisional. "Dan mulai sekarang, ingatlah kata
lurik," kata Yoop Ave, anggota Wastraprema yang kini menjabat
Dirjen Protokol dan Konsuler, Deplu. Kata Yoop lagi "Sekali
lagi, mulai hari ini ingatlah lurik. L-u-r-i-k."
Makin Langka
Penampilan lurik memang tidak begitu eksotik seperti batik.
Padahal kepandaian menenun telah dimiliki ratusan tahun yang
lalu oleh orang Indonesia. "Sejak zaman pra sejarah," kata
Wahyono M., Kepala Proyek Penelitian Tenunan Lurik. Ini
berdasarkan motif tenun yang menempel pada nekara, bejana atau
tempayan kuno yang ditemukan di kawasan Indonesia timur.
Prasasti abad ke-8 dan 9, menyebutkan pula perdagangan kisi,
atukel (benang) dan berbagai zat pewarna pakaian.
Di zaman itu, kain tenun mempunyai fungsi sosial ekonomis yang
tinggi. Sebuah umpak batu di Museum Mojokerto menggambarkan
sebuah relief seorang wanita yang sedang menenun. Relief
tersebut berasal dari abad ke-14, dan alat tenun gendong yang
dipakai waktu itu tidak banyak beda dengan alat tenun gendong
yang sekarang.
Tapi alat tenun ini kini semakin langka. Di Yogya dan Sala, cuma
ada beberapa alat tenun macam ini yang masih dipakai oleh
penenun-penenun tua. Namun di Tuban, Jawa Timur, sebagian besar
penenun masih memakai alat tenun gendong.
Disebut gendong atau gedog, karena bagian alat yang dibuat dari
kayu ini menempel di pinggang si penenun. Penenun sendiri
biasanya duduk di tanah atau amben, dan ketika menenun, kedua
kakinya harus lurus ke depan. Tahun 1918, pemerintah kolonial
Belanda memperkenalkan ATBM (alat tenun bukan mesin), yang
hingga kini masih banyak dipakai. Mulai saat itulah, tenun
gendong terpojok. ATBM biasanya dimiliki orang-orang kaya.
Kualitas hasil tenun gendong sebenarnya bisa lebih bagus dari
tenun hasil ATBM. Misalnya para petenun di desadesa pedalaman
Yogyakarta, tetap setia mempergunakan alat tenun gendong,
meskipun telah menggunakan benang berkualitas tinggi. Hanya
jumlah produksi tenun model ini rata-rata rendah. Selembar jarik
(kain panjang) yang panjangnya sekitar 2,5 meter, memakan waktu
7 hari untuk menyelesaikannya.
Partini bahkan mengatakan, selembar kain yang ditenunnya baru
bisa selesai 11 hari. Kalau dijual, harga tangan pertama Rp
6.500. Modal untuk selembar kain, bisa menelan Rp 3.000.
Tak heran jika kini kerajinan menenun semakin ditinggalkan
generasi muda. Selain menenun ruwet, juga karena upah menjadi
buruh batik lebih besar (lihat box).
Walhasil, nasib lurik (di Jawa Barat disebut poleng) sama halnya
dengan nasib kain tenun di berbagai daerah di Indonesia. Langka,
tapi banyak orang yang mengaguminya, dengan harga cukup mahal
dan menjadi barang yang jarang terpajang di toko-toko. Jawa
Tengah dan Jawa Timur, kain lurik dipakai untuk surjan, kain
bahkan rok dan celana.
Semut Gatel
Pola hias lurik puluhan ragamnya. Meskipun tampaknya sama,
karena lurik (seakar dengan kata lorek) berarti bergaris-garis.
Nama pola biasanya disesuaikan dengan peristiwa alam. Misalnya
selendang kluwung, adalah selendang dengan pola pelangi, warna
warni. Selendang kacang sauntil, kacang gleyor, kalau diamati
memang tampak seperti kacang seikat atau mirip-mirip kacang
panjang. Jarik pola semut gatel mubal, adalah kain panjang dasar
hitam atau biru tua dengan aluran benang putih yang samar-samar
di seluruh kain tersebut.
Di Keraton Yogya sendiri, peraturan mengenakan surjan lurik
dengan pola tertentu, tetap berlaku hingga sekarang. Di bulan
Maulud, untuk sowan Sultan Hamengkubuwono IX di keraton,
diwajibkan mengenakan surjan lurik pola rinding putung biru.
Pola cembirit atau maraseba, bisa dikenakan untuk surjan
sehari-hari.
Beberapa pola bahkan ada dibuat khusus untuk baju wanita, pria
atau cukup untuk selendang saja. Selendang, memegang peranan
besar dalam lurik. Misalnya selendang pola tuluh watu, termasuk
pola yang hanya dipakai pada upacara ruwatan, selamatan anak
tunggal atau selamatan bernazar.
Kain lurik, juga merupakan kain tanda, status simbol tertentu
dari pemakainya. Di Wonogiri, para janda muda hanya memakai kain
lurik dengklik dan kemben mrutu sewu. Di Bagelen, Jawa Tengah,
nenek-nenek yang mempunyai cicit sampai ke generasi kelima
(wareng) dan lestari masih hidup, mengenakan lurik kantil.
Warnanya hitam disertai gambar-gambar yang mirip kembang
cempaka.
Ahli Tata Rias Ruangan, Kreshna Siregar, sudah mulai
memperkenalkan lurik untuk penghias ruangan. Garis-garisnya yang
sederhana, juga mudah dan cocok untuk menghias bantalan kursi,
jok atau pun tirai penghias jendela. Kata Siregar sambil
berbisik "Harga lurik juga murah. Lurik ATBM di Yogya, cuma Rp
300/meter."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini