Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Terkotak sebatas panggung

Festival seni pertunjukan asean i di tim jakarta sebagai seni pertunjukan yang hidup di kawasan asean, sesungguhnya bisa berwajah lain apabila tak disuguhkan di panggung gaya barat.(tr)

7 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SENI pertunjukan yang hidup di kawasan ASEAN, sesungguhnya bisa berwajah lain apabila tak disuguhkan di panggung gaya larat. Itu kesan pertama melihat Festival Seni Pertunjukan ASEAN I di Taman Ismail Marzuki, 14 - 21 Februari yang lalu. Istilah seni pertunjukan, terjemahan dari performing arts, digunakan mungkin untuk menegaskan sesuatu yang memang lain. Diketahui, tidak semua fenomena kesenian tradisi Asia mempunyai tekanan pada sifat pertunjukannya. Tapi lebih mempunyai tekanan pada upacara adat, kepercayaan, juga fungsi sosialnya. Entah bagaimana prosesnya, tapi memang kini yang disebut seni pertunjukan di Asia telah jauh dari esensi awalnya. Seni tersebut kini cenderung memilih ruang khusus yang disebut panggung. Di kota besar ruang itu lebih khusus lagi karena biasanya hanya mengambil tempat di gedung pertunjukan. Dan kemudian, seperti terlihat dari festival seni pertunjukan kali ini, ada sesuatu yang kurang pas. Seni pertunjukan dalam festival ini, yang mencoba mewadahi aspirasi seni yang berkembang di Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina dan Muangthai hanya di panggung, terasa canggung. Lihat saja tari klasik Muangthai itu, yang terpaksa mempercantik penampilannya dengan gambar awan bergerak yang realistis yang ditembakkan dari proyektor slide. Panggung beserta perlengkapannya tata lampu, tata suara elektronis dan sebagainya -- yang kita ambil dari Barat, sesungguhnya mempunyai watak sendiri, yang mungkin saja kurang pas dengan senl tradisi kita. Konsep panggung orang Barat jelas pemisahan yang tegas antara pemain dan penonton. Kemudian, di situ juga jelas bahwa yang ditonton terasa lebih dominan daripada yang menonton. Tapi barangkali, segala kecanggungan yang terasa memang harus dipahami. Rombongan yang ikut ambil bagian dalam festival ini adalah rombongan yang hidup di kota besar. Dan ini memang hanya satu sisi wajah seni budaya ASEAN. Bukti memang ada -- dan tampil pula dalam festival ini. Menolak Sistem Dari Filipina, yang mungkin paling dianggap 'paling tidak Asia' di antara negara ASEAN, menampilkan musik suku Kalinga -- suku yang hidup di P. Luzon bagian utara. Ajaib, musik Kalinga rasanya belum tersentuh sama sekali oleh kebudayaan Spanyol atau Amerika -- dua kebudayaan yang besar pengaruhnya terhadap yang kini disebut kebudayaan Filipina. Dengan kostum semacam pakaian tradisi Toraja, dengan instrumen persis seperti instrumen musik Nias, Bali dan Jawa, pcnampilan musik Kalina ini memang masih kukuh berakar pada lingkungan budayanya sendiri. Hingga kalau suling ditiup dengan dengus napas dari cuping hidung -- dan bukannya dari bibir -- memang memberikan suara yang sangat sayup. Yang tentu saja bisa sangat berubah apabila suara suling hasil tiupan cuping hidung itu disalurkan lewat tata suara elektronis. Musik ini sepertinya memang menolak sistem tata suara modern. Dan tiba-tiba saja itu menyadarkan kita, bahwa ASEAN adalah kawasan yang masih berkebudayaan petani. Apabila festival seni pertunjukan ini tak terbatas menggunakan media panggung saja, tentu akan tampil wajah-wajah semacam musik Kalinga lebih banyak lagi. Di kawasan ASEAN setiap jengkal tanah rasanya adalah panggung. Seni pertunjukan bisa tampil di bawah pohon besar, di pinggir kali, di tanah lapang, di semak-semak pojok desa atau di lahan hutan di daerah transmigrasi. Lalu, andai festival ini tak hanya terbatas di panggung, kita bisa melihat suku dan musik Kalinga ternyata masih mempunyai kekuatan untuk hidup dan berkembang lagi. Begitu juga tari dari suku Asmat dan Nias, misalnya. Dan dengan begitu penari klasik Muangthai itu tak perlu terganggu dengan proyektor slide yang menyemprotkan gambar awan. Juga penontonnya, tentulah bukan hanya orang 'modern' saja, yang lebih tertarik soal politik atau ekonomi daripada seni budaya. Tapi juga orang 'biasa', yang mungkin untuk masuk Balai Sidang Senayan, misalnya, merasa canggung. Soalnya, kesenian, betapa pun, akan lebih sampai kepada mereka yang masih percaya bahwa ada dimensi lain yang menggerakkan kehidupan, selain ekonomi dan politik. Sardono W. Kusumo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus