SENI pertunjukan yang hidup di kawasan ASEAN, sesungguhnya bisa
berwajah lain apabila tak disuguhkan di panggung gaya larat.
Itu kesan pertama melihat Festival Seni Pertunjukan ASEAN I di
Taman Ismail Marzuki, 14 - 21 Februari yang lalu.
Istilah seni pertunjukan, terjemahan dari performing arts,
digunakan mungkin untuk menegaskan sesuatu yang memang lain.
Diketahui, tidak semua fenomena kesenian tradisi Asia mempunyai
tekanan pada sifat pertunjukannya. Tapi lebih mempunyai tekanan
pada upacara adat, kepercayaan, juga fungsi sosialnya. Entah
bagaimana prosesnya, tapi memang kini yang disebut seni
pertunjukan di Asia telah jauh dari esensi awalnya. Seni
tersebut kini cenderung memilih ruang khusus yang disebut
panggung. Di kota besar ruang itu lebih khusus lagi karena
biasanya hanya mengambil tempat di gedung pertunjukan.
Dan kemudian, seperti terlihat dari festival seni pertunjukan
kali ini, ada sesuatu yang kurang pas. Seni pertunjukan dalam
festival ini, yang mencoba mewadahi aspirasi seni yang
berkembang di Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina dan
Muangthai hanya di panggung, terasa canggung. Lihat saja tari
klasik Muangthai itu, yang terpaksa mempercantik penampilannya
dengan gambar awan bergerak yang realistis yang ditembakkan dari
proyektor slide.
Panggung beserta perlengkapannya tata lampu, tata suara
elektronis dan sebagainya -- yang kita ambil dari Barat,
sesungguhnya mempunyai watak sendiri, yang mungkin saja kurang
pas dengan senl tradisi kita. Konsep panggung orang Barat jelas
pemisahan yang tegas antara pemain dan penonton. Kemudian, di
situ juga jelas bahwa yang ditonton terasa lebih dominan
daripada yang menonton.
Tapi barangkali, segala kecanggungan yang terasa memang harus
dipahami. Rombongan yang ikut ambil bagian dalam festival ini
adalah rombongan yang hidup di kota besar. Dan ini memang hanya
satu sisi wajah seni budaya ASEAN. Bukti memang ada -- dan
tampil pula dalam festival ini.
Menolak Sistem
Dari Filipina, yang mungkin paling dianggap 'paling tidak Asia'
di antara negara ASEAN, menampilkan musik suku Kalinga -- suku
yang hidup di P. Luzon bagian utara. Ajaib, musik Kalinga
rasanya belum tersentuh sama sekali oleh kebudayaan Spanyol atau
Amerika -- dua kebudayaan yang besar pengaruhnya terhadap yang
kini disebut kebudayaan Filipina.
Dengan kostum semacam pakaian tradisi Toraja, dengan instrumen
persis seperti instrumen musik Nias, Bali dan Jawa, pcnampilan
musik Kalina ini memang masih kukuh berakar pada lingkungan
budayanya sendiri. Hingga kalau suling ditiup dengan dengus
napas dari cuping hidung -- dan bukannya dari bibir -- memang
memberikan suara yang sangat sayup. Yang tentu saja bisa sangat
berubah apabila suara suling hasil tiupan cuping hidung itu
disalurkan lewat tata suara elektronis. Musik ini sepertinya
memang menolak sistem tata suara modern.
Dan tiba-tiba saja itu menyadarkan kita, bahwa ASEAN adalah
kawasan yang masih berkebudayaan petani. Apabila festival seni
pertunjukan ini tak terbatas menggunakan media panggung saja,
tentu akan tampil wajah-wajah semacam musik Kalinga lebih banyak
lagi.
Di kawasan ASEAN setiap jengkal tanah rasanya adalah panggung.
Seni pertunjukan bisa tampil di bawah pohon besar, di pinggir
kali, di tanah lapang, di semak-semak pojok desa atau di lahan
hutan di daerah transmigrasi.
Lalu, andai festival ini tak hanya terbatas di panggung, kita
bisa melihat suku dan musik Kalinga ternyata masih mempunyai
kekuatan untuk hidup dan berkembang lagi. Begitu juga tari dari
suku Asmat dan Nias, misalnya. Dan dengan begitu penari klasik
Muangthai itu tak perlu terganggu dengan proyektor slide yang
menyemprotkan gambar awan. Juga penontonnya, tentulah bukan
hanya orang 'modern' saja, yang lebih tertarik soal politik atau
ekonomi daripada seni budaya. Tapi juga orang 'biasa', yang
mungkin untuk masuk Balai Sidang Senayan, misalnya, merasa
canggung.
Soalnya, kesenian, betapa pun, akan lebih sampai kepada mereka
yang masih percaya bahwa ada dimensi lain yang menggerakkan
kehidupan, selain ekonomi dan politik.
Sardono W. Kusumo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini