Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BISNIS kopi kian menjamur di negeri ini. Di berbagai penjuru, terlihat kedai-kedai kopi berdiri. Tak hanya di mal-mal besar, kafe yang menjajakan kopi juga hadir di berbagai ruas jalan. Pengurus Barista Guild Indonesia, wadah yang menampung para peracik kopi, Mira Yudhawati, mengatakan menjamurnya warung kopi lantaran jumlah penikmatnya juga melonjak pada 2010-2011. "Kebanyakan dari mereka pernah bekerja atau bersekolah di luar negeri, seperti Australia. Mereka membawa tren ngopi di kafe," kata Mira, awal Desember 2017.
Kondisi ini juga menguntungkan para petani kopi. Romauli Tarigan, petani kopi di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, pada Februari lalu mengangkut sekitar 50 kilogram kopi. "Sudah sebulan ini harga per kilogramnya di atas Rp 25 ribu," ujar Romauli.
Perkembangan kopi di Tanah Air pernah diangkat majalah Tempo edisi 18 Maret 1972. Ulasannya berjudul "Memblokir Kebun Kopi". Meskipun produksi kopi di Indonesia meningkat cepat dari tahun ke tahun, posisi ekspornya saat itu tergeser pada jejeran ketiga sesudah kayu. Salah satu sebab utama: kenaikan produksi kopi yang dibarengi dengan kemunduran ekspor datang dari usaha perluasan area tanaman kopi rakyat yang tak terbendung.
Peran kopi rakyat bidang ekspor mencapai 88 persen melawan 12 persen kopi perkebunan. Menurut Departemen Perdagangan, produksi tahun 1971 mencapai 177 ribu ton. Dikurangi konsumsi dalam negeri sebesar 77 ribu ton plus ekspor 70 ribu ton, kelebihan produksi yang tidak ditampung pasar internasional tidak hanya datang dari Indonesia, tapi juga banyak dari negara lain. Mereka terpaksa mengerek bendera putih. Takut negara-negara itu saling istirahat menanam kopi, bantuan datang dari International Coffee Organization (ICO).
Resep dari ICO berbunyi singkat: diversifikasi. Dan ini berlaku bagi negara-negara pemilik kopi di atas 100 ribu karung. Merasa kejangkitan penyakit surplus kopi, Indonesia tak ayal lagi menyambut resolusi ICO. Lebih-lebih setelah Departemen Pertanian memperkirakan produksi kopi tahun 1972/1973 bakal mencapai 182.500 ton, yang berarti 22.220 ton di atas target ICO.
Sesungguhnya Departemen Pertanian lama sudah buka suara. "Diversifikasi akan diadakan di tiga daerah kopi: Lampung, Sumatera Selatan, dan Bali," kata Sekretaris Jenderal Departemen Pertanian Mashud Wirasaputra pada minggu keempat Juni 1970. Tapi ucapan Mashud hanya sampai di situ. Akhir tahun lalu, pelaksanaan diversifikasi baru bertaraf tim penjajakan yang datang menjenguk Sumatera Selatan. Sedangkan Lampung dan Bali baru dikunjungi pada pengujung 1971.
Tampaknya diversifikasi bergantung pada ICO. Sekalipun Departemen Pertanian sudah siap, tak urung harus sabar menunggu. Penyebabnya? Sidang council ke-17 ICO menangguhkan pembahasan masalah diversifikasi kopi. Rupanya, gara-gara timbulnya bencana alam. Hawa dingin dan hama jamur melanda kebun-kebun kopi di Brasil. Produksi negara penghasil 36 persen kopi dunia itu pun merosot dari 30 juta menjadi 12 juta karung.
Menipisnya stok kopi dunia telah mengguncang pasar internasional. Dan gerakan harga dengan cepat melambung. Merasa kena getahnya, Amerika Serikat sebagai pemakai nomor wahid kopi Brasil lantas memperingatkan ICO: tertibkan penyediaan kopi. Kalau tidak, mereka akan mundur dari ICO.
Konon, bagi Brasil, prospek kopi dipandang suram. Sebagian kebun kopi plus yang bekas ditimpa bencana dibabat untuk diganti tanaman lada. Di Indonesia, rencana semacam ini kabarnya sudah masak. Selama 1972/1973, diperkirakan 6.500 hektare kebun kopi di Sumatera Selatan sudah diubah dengan hasil bumi lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo