Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terima kasih juga untuk Tempo yang telah menuliskan pendapat kami di majalah Tempo edisi 10-16 September 2018 berdasarkan tanya-jawab dalam sesi penampilan kami di Ruang & Tempo.
Melalui surat pembaca ini kami hanya ingin menambahkan, selain apa yang tertulis itu, pada saat yang sama kami juga menyampaikan apresiasi terhadap kinerja pembangunan infrastruktur pemerintah Joko Widodo, yang tidak tertulis pada edisi tersebut. Terima kasih banyak.
Efek Rumah Kaca
Keluhan Kartu Kredit DBS
PADA 20 Juni 2018, saya memakai kartu kredit Bank DBS (d/h ANZ) untuk memesan kamar di Hotel Keio Plaza, Tokyo, lewat Agoda.com dengan nilai transaksi 434.574 yen. Pada 5 Juli, saya ditagih DBS Rp 59.319.711, yang berarti kurs yen terhadap rupiah yang digunakan adalah 136,50. Padahal kurs jual/beli di Bank Indonesia pada hari itu adalah 130,95/129,61. Ini berarti tagihan tersebut di-markup Bank DBS lebih dari Rp 2,4 juta (4,2 persen).
Pada 12 Juli, di papan promo DBS disebutkan ada cash back 20 persen atas transaksi kartu kredit DBS untuk travel dan online travel selama Juli 2018. Pada 24 Juli, saya mengirimkan pesan pendek ke nomor 99333 untuk mendapatkan cash back yang dijanjikan itu dan mendapat balasan bahwa permintaan akan diproses No.CS.08041500327. Tapi sedemikian lama saya tidak kunjung mendapatkan cash back yang dijanjikan.
Pada 7 Agustus dan 5 September 2018, saya menyampaikan keluhan mengenai transaksi tersebut kepada DBS Customer Centre, tapi sampai hari ini saya tidak menerima jawaban apa pun.
Ternyata tagihan transaksi kartu kredit DBS menggunakan mata uang asing di-markup Bank DBS dengan kurs yang tidak wajar. Promosi cash back untuk transaksi travel dengan kartu kredit DBS juga ternyata bohong belaka.
Dengan pengalaman ini, saya menganjurkan agar pembaca tidak memakai kartu kredit DBS untuk transaksi dalam mata uang asing. Lebih baik tagihan dikonversikan ke rupiah lebih dulu lewat Agoda.com atau sejenisnya agar tagihan tidak di-markup Bank DBS dengan kurs yang tidak wajar.
Joseph T. Indarto, Jakarta
Diskriminasi di Lingkungan Kerja
BEBERAPA perusahaan, termasuk rumah sakit yang dikelola swasta atau asing, masih melarang pekerja wanita muslim memakai hijab. Alasannya tak kuat, yaitu hanya karena mayoritas pasien mereka warga negara asing. Jika alasannya seperti ini, tak tertutup kemungkinan larangan itu juga akan diberlakukan bagi pasien.
Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, pada pasal 5 dan 6 jelas ada larangan diskriminasi dalam pekerjaan dengan alasan agama. Tapi mengapa masih ada instansi yang melakukan pelarangan? Semestinya menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat mengenakan sanksi administratif kepada pengusaha sesuai dengan Pasal 190 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Ketenagakerjaan berupa teguran, peringatan tertulis, hingga pencabutan izin usaha.
Berita di beberapa media makin menunjukkan pejabat terkait tidak mampu bertindak tegas atas diskriminasi seperti itu. Selain diskriminatif, larangan berhijab bagi pegawai wanita adalah pelanggaran hak asasi manusia. Mengenakan jilbab adalah bentuk pelaksanaan ibadah yang merupakan bagian dari hak asasi dalam beragama. Hak beragama itu telah termaktub dalam Pasal 28-E ayat 1 dan 2 Undang-Undang Dasar 1945. Ketentuan ini dipertegas dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Hak beragama, berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang HAM, merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun, termasuk pengusaha yang melarang pekerjanya mengenakan jilbab sebagai syarat dalam penerimaan pekerja. Ini artinya mengenakan jilbab sepenuhnya hak asasi yang dimiliki pekerja dan tidak bisa dilarang pengusaha.
Adri Muhammad, Tangerang, Banten
Kirim surat ke alamat redaksi
Gedung Tempo, Jalan Palmerah Barat Nomor 8, Jakarta Selatan 12210
Faksimile 725-5645/50
E-mail [email protected]
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo