Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ARUNA punya obsesi besar terhadap makanan. Pikiran perempuan 35 tahun itu seperti terus dirasuki keinginan untuk menyantap berbagai makanan lezat, bahkan sampai terbawa ke mimpi. Salah satu yang selalu bikin Aruna penasaran adalah nasi goreng bikinan Mbok Sawal, pembantunya ketika ia masih kecil. Berulang kali Aruna mencoba mengolah resep agar bisa menyamai rasa nasi goreng itu, berulang kali pula ia gagal.
Kegilaan Aruna terhadap makanan menjadi fondasi utama film Aruna dan Lidahnya, yang tayang di bioskop sejak Kamis dua pekan lalu. Film ini merupakan hasil adaptasi novel Aruna & Lidahnya karya Laksmi Pamuntjak yang terbit pada 2014. Kisahnya tentang perjalanan Aruna bersama tiga temannya ke sejumlah tempat di Indonesia dan mencicipi berbagai makanan di setiap tempat itu.
Cerita bermula ketika Aruna (Dian Sastrowardoyo), yang bekerja sebagai ahli wabah, mendapat tugas dari kantornya untuk menginvestigasi kasus flu burung di beberapa wilayah Indonesia. Dua temannya, Bono (Nicholas Saputra), seorang chef, dan Nadezhda (Hannah Al Rashid), penulis, ikut dalam perjalanan itu. Belakangan, muncul Farish (Oka Antara), mantan gebetan Aruna, yang juga menyelidiki kasus flu burung. Mereka mengunjungi Surabaya, Pamekasan, Pontianak, dan Singkawang, kemudian mencoba makanan khas di sana, seperti rawon, campor lorjuk, pengkang, dan choi pan.
Film ini menghadirkan berbagai kewajaran dalam kehidupan sehari-hari, yang menjadi semangat novel Aruna & Lidahnya. Kewajaran itu ditampilkan melalui banyak adegan makan sambil ngobrol (atau ngobrol sambil makan). Dalam berbagai adegannya, dialog-dialog antarkarakter terasa natural dan nyata. “Kekuatan film ini memang ada pada dialog-dialog itu,” kata sutradara Edwin, Jumat pekan lalu.
Kekuatan dialog itulah yang membedakan Aruna dan Lidahnya dengan banyak film Indonesia lain, atau bahkan film produksi luar negeri, yang bertema makanan atau kuliner. Edwin juga berhasil menjawab tantangan membuat film dengan banyak dialog. Sebelumnya, ia banyak menyutradarai film minim dialog, yang lebih menekankan nuansa dan gambar sebagai kekuatannya.
Adaptasi novel Aruna & Lidahnya karya Laksmi Pamuntjak
Sutradara: Edwin
Produser: Meiske Taurisia dan Muhammad Zaidy
Skenario: Titien Wattimena
Genre: Drama
Durasi: 1 jam 46 menit
Produksi: Palari Films
Pemain: Dian Sastrowardoyo, Nicholas Saputra, Hannah Al Rashid, Oka Antara
Film ini mengantarkan kekuatan dialog ke dalam dinamika hubungan empat karakternya. Misalnya pertemanan Aruna-Bono dan Aruna-Nadezhda, kesamaan nasib Nadezhda dan Farish, serta lika-liku cinta Aruna-Farish dan Bono-Nadezhda. Kegelisahan dan pandangan tiap-tiap karakter itu terlihat sangat ditonjolkan dalam dinamika tersebut. Di sini, Edwin mengabaikan drama yang berlebihan, yang kadang menjurus ke mellow. Tapi itu justru yang membuat film ini mengena bagi penonton karena terasa riil sehingga kadang membuat mereka tertawa atau setidaknya senyum-senyum sendiri ketika menonton.
Edwin juga berhasil menghadirkan detail adegan yang jarang muncul dalam sebuah film. Aruna, misalnya, beberapa kali menjadi narator dengan berbicara langsung kepada penonton, yang seakan-akan menggambarkan isi hati yang berbeda dengan yang ia tunjukkan dalam film. Lalu ada adegan yang menampilkan ekspresi wajah dan lirikan mata Aruna sebagai ”respons tanpa kata-kata” atas peristiwa atau kejadian yang ia alami. Ada juga dialog khusus perempuan antara Aruna dan Nadezhda yang membicarakan pembalut, seks, dan kondom. Ini membuat Aruna dan Lidahnya terasa realistis. “Saya ingin mencoba melihat bahwa realitas itu juga menarik,” ujar Edwin.
Di luar itu, film ini tak menjadikan isu wabah flu burung dan seluk-beluk investigasinya sebagai tempelan semata. Konflik dan intrik, termasuk dugaan konspirasi dan korupsi, juga dihadirkan sebagai kelanjutan penyelesaian investigasi kasus flu burung tersebut oleh Aruna dan Farish. Pada titik ini, Aruna dan Lidahnya berhasil menampilkan segala persoalan dengan porsi yang seimbang. Ujungnya, tak muncul banyak pertanyaan tentang isu itu yang mungkin bisa membuat penonton bingung.
PRIHANDOKO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo