Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setujukah Anda dengan aturan Bank Indonesia yang memungut biaya top up kartu pembayaran nontunai?
|
||
Ya | ||
7,5% | 97 | |
Tidak Tahu | ||
2,6% | 34 | |
Tidak | ||
89,9% | 1.168 | |
Total | (100%) | 1.299 |
BANK Indonesia mengeluarkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19 Tahun 2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional. Aturan ini menjadi acuan terintegrasinya kartu pembayaran nontunai atau duit elektronik (e-money), termasuk biaya isi ulang (top up) kartu. BI menetapkan biayanya berkisar Rp 750-1.500. "Aturan ini untuk memastikan keberhasilan Gerbang Pembayaran Nasional," ujar Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Agusman, akhir September lalu. Dalam aturan tersebut, skema biaya top up kartu dibagi dua. Pertama, isi ulang melalui bank penerbit kartu (on us), yang tidak dikenai biaya hingga transaksi senilai Rp 200 ribu. Di atas itu, akan dikenai biaya maksimal Rp 750. Skema kedua, top up melalui mitra bank penerbit (off us), seperti minimarket, dengan biaya Rp 750-1.500. "Penerbit kartu yang selama ini menetapkan di atas tarif tersebut wajib menyesuaikan," kata Agusman. Menurut dia, 96 persen pengguna kartu pembayaran nontunai melakukan transaksi top up di bawah Rp 200 ribu. Karena itu, aturan ini diharapkan tidak memberatkan masyarakat. Direktur Program Elektronifikasi Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI Pungky Purnomo Wibowo mengklaim biaya isi ulang elektronik untuk melindungi konsumen dari tarif yang berlebihan. "BI ingin membuat iklim bisnis di dunia perbankan menjadi lebih sehat dan kompetitif dalam melayani para konsumen," ujarnya. Aturan ini mendapat penolakan dari banyak pihak. Pengacara David Maruhum L. Tobing melaporkan bank sentral ke Ombudsman Republik Indonesia. David menilai rencana kebijakan BI tersebut diduga maladministrasi yang mencerminkan keberpihakan kepada pengusaha serta pelanggaran terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan. "Berpotensi menimbulkan kerugian dan diskriminasi terhadap konsumen," katanya. Penolakan juga datang dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menyatakan aturan tersebut tidak sejalan dengan upaya meningkatkan daya beli masyarakat. Tulus menilai terbitnya aturan itu menunjukkan BI lebih berpihak kepada perbankan, yang berorientasi mencari keuntungan, ketimbang masyarakat. "Semestinya konsumen yang mendapat insentif, bukan disinsentif," ujarnya. Hasil jajak pembaca Tempo.co menunjukkan mayoritas responden menolak aturan pengenaan biaya top up uang elektronik. |
Indikator Pekan Ini Setujukah Anda terhadap penghentian privatisasi air dan pengembalian pengelolaan air kepada pemerintah?www.tempo.co. |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo