Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Iman dan kebengisan, sifat rakus dan peradaban- mungkin itu yang tercatat tiap 12 Oktober. Setidaknya di benua tempat semua itu terjadi, dan nama Christopher Columbus disebut, dan "Hari Columbus" diperingati, di wilayah yang kini dikenal sebagai "Amerika".
Ada luka yang panjang dan dalam, sejak 525 tahun yang lalu.
Sakit, kemudian amarah. Di abad ke-21 ini, tepatnya 12 Oktober 2004, "Hari Columbus" adalah ketika patung tembaganya yang setinggi 10 meter dibongkar ramai-ramai di Caracas. Diseret ke Teater Carreño. Di sana ratusan orang asli Venezuela, yang biasa disebut "Indian", merayakannya dengan tari dan nyanyi.
Dan sebuah mahkamah dibuka. Columbus- mungkin arwahnya, atau lebih jelas kemasyhurannya- digugat. Orang yang dikatakan "menemukan" Amerika ini, yang mendarat di pulau yang kini disebut Bahama pada 12 Oktober 1492, dinyatakan "bersalah". Hukuman dijatuhkan: patungnya digantung di sebuah pohon.
Columbus memang pantas digantung.
Pada 12 Oktober lima abad yang lalu itu, segera setelah ekspedisinya bertemu dengan sebuah daratan, setelah sekitar dua bulan mengarungi lautan, "admiral" yang direstui Raja dan Ratu Spanyol itu menulis laporan-laporannya yang pertama. Ia bercerita tentang pulau itu: tempat yang oleh penduduk disebut Guanahani dan oleh Columbus diberi nama San Salvador, orang suci Katolik.
Tanah itu sangat indah, demikian digambarkannya: pepohonan hijau, tinggi menyentuh bintang, sungai-sungai luas dan segar. Tapi, lebih dari semua, serombongan manusia (tak tampak ada monster) datang mendekat. Mereka telanjang, atau hampir tanpa busana. Mereka tak bersenjata. Dengan hanya melalui tukar-menukar benda- kopiah merah, untaian merjan- komunikasi jadi sangat akrab. Mereka bawakan burung mamiang, bundelan benang katun, lembing yang tanpa besi. Mereka tak kenal besi. Tak punya agama, tapi berperilaku baik. Mereka akan memberikan milik mereka bila diminta.
Murah hati itu diakui, tapi agaknya tak hendak dibalas. Columbus, dalam surat 27 November 1429:
".... Paduka yang mulia boleh percaya bahwa pulau ini... adalah milik paduka, seperti halnya Castilla. Di sini yang kurang hanya permukiman dan titah agar orang-orang ini mengadakan yang dibutuhkan. Sebab dengan kekuatan bersenjata yang hamba pimpin, yang sebenarnya tak seberapa, hamba dapat memasuki semua pulau tanpa perlawanan.... Maka mereka mudah diperintah bekerja atau menabur atau mendirikan kota-kota. Mereka bisa diajari berpakaian ke mana saja mereka pergi, mengadopsi adat kita."
Tulis Columbus pula: "Bila Baginda menghendaki, saya akan membawa enam dari mereka sebagai persembahan."
Dan memang itulah yang ia lakukan. Berlayar kembali ke Spanyol, Columbus angkut enam orang Taíno untuk jadi tontonan di hadapan Raja Ferdinand dan Ratu Isabella. Tahun berikutnya ia kembali ke Caribea membawa 1.500 calon pemukim- dan penjajahan mulai. Tak hanya itu: dari pelayaran kedua Columbus mengangkut lebih dari 1.000 orang Indian untuk dijual di pasar budak di Cadiz.
Enam tahun kemudian, dalam ekspedisi ketiga, 18 Oktober 1498, ia menulis kepada Raja dan Ratu Spanyol: "Paduka memiliki Dunia Lain di sini, dan dengan ini iman kita yang suci akan berkembang dan dari situ kekayaan yang berlimpah akan dapat dipetik."
Iman. Kebengisan. Sifat rakus. Peradaban.…
Yang membuat Amerika seperti sekarang, dengan kemajuan dan kebiadabannya, dengan kecerdasan dan kekejamannya, memang sebuah campur aduk antara najis dan niat baik. Kita tak tahu pasti apa yang harus dilakukan menghadapi semua itu, sekaligus.
Mungkin kita hanya akan jongkok di tepi sungai yang deras seperti Karamakate, orang Indian dalam film sutradara Kolombia, Ciro Guerra, Embrace of the Serpent. Ke pojok itu akan datang Theo, penjelajah Belanda yang sakit keras, dan Manduca, orang Indian pemandunya. Tamu itu ingin agar Karamakate menunjukkan tempat kembang yakuna, yang sangat langka, untuk jadi obat.
Lelaki Indian yang jongkok itu sebenarnya enggan menolong. Rimba dan Sungai Amazon telah menyaksikan bagaimana para pendatang- misionaris, pemilik perkebunan, penjelajah- mengharu biru.
Dan ia benar. Dalam perjalanan bertiga dengan perahu, mereka ketemu seorang buruh perkebunan karet yang tangannya dipotong majikannya sebagai hukuman, dan padri yang dengan disiplin dan sadisme melarang anak Indian yang dididiknya berbicara "bahasa kafir"- bahasa ibu mereka.
Karamakate marah dan sedih. Tapi agaknya ia juga marah dan sedih ketika Theo mencegah sekelompok orang Indian menggunakan kompas, alat modern yang akan membuat mereka berhenti membaca arah dari bintang, seperti nenek moyang.
Karamakate: seperti kita di dunia yang "terkebelakang", ia tak tahu bagaimana bisa konsisten menghadapi peradaban yang gemuruh, iman yang baru, kerakusan yang menggerakkan dunia. Ia mungkin akan kalah- seperti puak-puak yang dijumpai, menjumpai, dan ditaklukkan Columbus.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo