MENJADI wartawan sebenarnya hanya 60% bekerja. Selebihnya, belajar. Baik belajar menguasai suatu persoalan baru, meluaskan wawasan, maupun belajar bagaimana menyajikan informasi secara tepat. Yang terakhir ini amat penting bagi TEMPO, yang gaya penyajiannya bertolak dari cerita, dan tak sekadar menulis berita lugas seperti di koran harian. Tak cuma itu saja: menulis, sebagai suatu kiat atau bahkan seni, tak sekadar memerlukan teknik. Tapi juga sikap, baik sikap memandang pembaca maupun sikap memandang obyek. Dalam proses belajar yang tak kenal henti itulah, kami memandang penting adanya lembaga pendidikan di TEMPO. Dan lembaga itu, yang kami namai Tim Pendidikan, sudah lama ada. Tim ini antara lain merancang program pendidikan bagi para penulis maupun reporter. Akhir Agustus lalu, misalnya, diselenggarakan lokakarya penulisan untuk para calon penulis di TEMPO. Pesertanya adalah para reporter yang sedang mengikuti magang penulisan -- kami sebut M1 -- dan beberapa penulis yunior. Ada 15 orang yang mengikuti lokakarya ini. Siapa gurunya? Salah seorang dari kami, tak jauh-jauh. Kebetulan untuk lokakarya yang berlangsung di Jakarta ini, dipegang langsung oleh Goenawan Mohamad, Pemimpin Redaksi TEMPO. Di sini Goenawan mengarahkan para wartawan muda TEMPO, bagaimana bisa menulis secara lengkap namun tetap menarik untuk dibaca. Bagaimana menghidangkan data dengan jelas dan akurat tapi tak ruwet. Bagaimana sebuah lead dipilih, atau ending yang bagaimana yang pas untuk sebuah cerita. Sudah tentu semua itu tak cukup diberikan dalam sebuah lokakarya, yang hanya dua setengah jam. Karena itu, lokakarya ini terus berlanjut setiap setengah bulan. Sesuai dengan rencana, program serupa tapi tak sama akan diberikan juga pada para penanggung jawab rubrik (kami menyingkatnya dengan kata Jabrik). Ini penting untuk menyegarkan kembali gaya penulisan yang ada. Sementara itu, di daerah-daerah juga dilakukan program sejenis, sesuai dengan kebutuhan. Program pendidikan ini dilaksanakan di kantor-kantor Biro TEMPO dan pesertanya adalah para reporter di wilayah kebiroan. Sebagai ujung tombak TEMPO di daerah, mereka harus bisa diandalkan: apakah itu dalam taktik menembus sumber berita, melakukan wawancara yang baik, atau menuliskannya menjadi sebuah laporan yang lengkap dan basah. Tugas ke daerah-daerah ini diserahkan kepada beberapa Redaktur Pelaksana. Akhir Agustus lalu, misalnya, Susanto Pudjomartono mengajar di Bandung. Pekan lalu, Iswa Sawitri yang berangkat ke Surabaya. Pekan ini, Karni Ilyas yang diterbangkan ke Medan. Dan pekan depan, giliran Putu Setia yang dikirim ke Yogyakarta. Tak cuma masalah-masalah jurnalistik yang diberikan di daerah. Juga bahasa dan fotografi. Untuk dua hal terakhir ini, gurunya itu-itu saja. Yakni, Slamet Djabarudi untuk bahasa dan Didik Budiarta untuk fotografi. Keduanya mengunjungi semua biro. Pembaca, itulah salah satu dari program Tim Pendidikan yang kini diketuai oleh A. Margana. Program lainnya tentu saja masih banyak. Seperti yang kami katakan, wartawan itu 40 persen belajar -- dan boleh jadi lebih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini