Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Ditendang bagai bola

Wawancara tempo dengan leo suryadinata,yang banyak menulis tentang cina dan masalah politik di indonesia. beberapa kutipan buku mencari identistas nasional.

15 September 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ditendang Bagai Bola LEO Suryadinata alias Liauw Kian Djoe, 49 tahun, sudah 9 tahun menjabat lektor senior pada Jurusan Politik Universitas Nasional Singapura (NUS). Sebelumnya, sekitar 6 1/2 tahun, ia bekerja di Lembaga Pengkajian Masalah Asia Tenggara, Singapura. Ahli ilmu politik dan hubungan internasional ini merasa betah di NUS. Karena itu, "hanya setahun sekali saya mudik ke Jakarta". Ia banyak menulis buku mengenai Cina dan masalah politik di Indonesia. Karyanya antara lain: Dilema Minoritas Tionghoa (1984), Politik Tionghoa-Peranakan di Jawa (1986), Kebudayaan Minoritas Tionghoa di lndonesia (1988), The Ethnic Chinese in the ASEAN States (1989), Military Ascendancy and Political Culture: A Study of Indonesia's Golkar (1989). Yang terakhir, Mencari Identitas Nasional. Mengaku sebagai "tukang belajar" dari beberapa benua, Leo, sarjana sejarah Universitas Indonesia ini meraih gelar MA di Monash University, Australia, dan kemudian mengantungi MA lagi di Ohio University, AS. Spesialisasi studinya adalah politik dan hubungan internasional. Gelar doktor didapat dari American University, AS, pada 1975. Leo juga pernah mengajar di Negeri Paman Sam. Dan ternyata, ahli politik ini juga dikenal sebagai penyair. Kumpulan puisinya, Jejak Kaki dan Lagu Hati, diterbitkan Pustaka Nasional, Singapura, 1985. Buku setebal 64 halaman itu memuat 49 puisinya. Berikut petikan wawancaranya dengan Sri Indrayati dari TEMPO: Mengapa Anda memilih tema identitas nasional? Karena tema itu yang diminta penerbitnya, LP3-ES. Rupanya, memang cukup banyak tokoh yang sangat menarik untuk ditulis. Misalnya P.K. Ojong, yang dalam buku Mencari Identitas Nasional merupakan tulisan Frans Parera. Kalau belum ditulis oleh Frans, saya sendiri juga akan menulisnya. Ada kesan Anda menulis terburu-buru. Untuk menyiapkan buku itu, saya hanya dikasih waktu sekitar setahun. Sebenarnya saya sudah melakukan riset lama sekali. Sebagai ilmuwan, saya menampilkan mereka secara akademis. Untuk obyektif sama sekali, memang tidak mungkin. Tapi saya berusaha menampilkannya secara berimbang. Bahwa ada data yang kurang, itu saya akui, karena waktunya tidak cukup. Tema itu pas untuk masa sekarang Apa memang direncanakan? Itu hanya kebetulan. Sekitar tahun 1980, saya sudah pernah menulis biografi orang-orang Cina terkemuka di Indonesia, diterbitkan oleh Gunung Agung. Tapi buku itu sudah kedaluwarsa. Seharusnya itu bisa disempurnakan dan diperluas: Tapi saya belum punya waktu. Banyak buku saya, sekitar 10 judul, saya tulis dalam bahasa Inggris. Dan berikut ini beberapa kutipan yang menarik dari buku Mencari Identita-s Nasional. Liem Koen Hian Identifikasi Liem dengan tujuan nasionalisme Indonesia telah menyebabkan bentrok dengan grup Sin Po, yang menganjurkan nasionalisme Tionghoa. Ia mengkritik grup Sin Po yang hanya mau memperjuangkan peranakan Tionghoa supaya kedudukan mereka sama dengan orang Eropa. Dia berpendapat bahwa setelah tujuan itu tercapai, mereka akan berpeluk tangan dan menantikan lindungan dari Tiongkok. Kalau tidak ada perlindungan, mereka pasti akan ditendang-tendang seperti bola. P.K. Ojong Masih ada satu peristiwa penting dalam kariernya sebagai pemimpin redaksi Star Weekly: rasa solider yang ditunjukkannya kepada Mochtar Lubis, pemimpin umum harian Indonesia Raya yang ditahan pemerintah, Desember 1956. Korespondensi yang dibina Ojong dengan Mochtar Lubis, yang kemudian juga dengan tawanan-tawanan politik lainnya yang menentang Soekarno (Mohamad Roem, Soebadio Sastrosatomo, Princen, Mr. Ide Anak Agung Gde Agung, Sutan Sjahrir, dan lain-lain) telah mempererat persahabatan antara Ojong dan para bekas tahanan politik setelah kemudian bebas. Sesudah Mochtar Lubis dibebaskan pada awal Orde Baru (sebelum Indonesia Raya dibredel kembali karena Peristiwa 15 Januari 1974), mereka berdua giat mendirikan banyak lembaga yang bergerak di berbagai bidang kehidupan kebudayaan, intelektual, dan kewartawanan. Abdul Karim Oey Tjeng Hien Setelah Indonesia merdeka, Oey tetap bermukim di Bengkulu dan menjadi konsul Muhammadiyah di sana. Akan tetapi, pada 1952 ia pindah ke Jakarta. Di ibukota, ia terpilih sebagai anggota Majelis Tanwir Muhammadiyah (1952-1973). Pada 1957 hingga 1960, Oey juga terpilih sebagai anggota Dewan Partai Masyumi. Dan Oey juga menjadi anggota parlemen mewakili Masyumi untuk periode 1957-1960. Ketika Masyumi berdebat di parlemen dengan PKI, Oey ditugasi oleh partainya agar berhadapan dengan Nungtjik A.R., bekas temannya di Padang. Menurut cerita Oey, Nungtjik dalam pidatonya menyerang Masyumi dan umat Islam. Oey menjadi panas dan menyerang PKI kembali. Pidato Oey berapi-api sehingga mengejutkan Nungtjik. Setelah pidato, Nungtjik menghampirinya dan merangkul Oey, dan berkata bahwa mereka diadu domba. Oey tidak berkata apa-apa. Yap Thiam Hien Yap sebagai tokoh Baperki berbeda pandangan dengan Siauw. Walaupun setuju dengan kemajemukan dalam masyarakat Indonesia, ia menolak banyak pokok yang dikemukakan oleh Siauw, khususnya yang dianggapnya sebagai "terapi komunis ala Siauw" untuk menyelesaikan masalah Tionghoa. Mereka berpolemik di Star Weekly pada 1960. Sebagai seorang penentang kom-unis yang gigih, Yap tidak percaya bahwa suatu revolusi komunis sebagaimana dianjurkan oleh Siauw akan dapat menyelesaikan masalah kaum minoritas Tionghoa. Karena penduduk Indonesia terdiri dari 94 persen Islam dan Kristen, yang merupakan lawan-lawan tangguh komunis. Ia menerangkan bahwa andaikata masyarakat komunis akan tiba kelak, hal itu hanya akan terjadi dalam waktu yang amat lama. Karenanya, "terapi" Siauw tidak akan menolong menyelesaikan masalah Tionghoa untuk waktu dekat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus