Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mereka digiring ke ciracas

Setelah krisis teluk depnaker melarang pengiriman tki ke timur tengah. para tki di irak dan kuwait sebagian ada yang sudah pulang, sebagian masih tertahan.yg baru kembali diproses lagi di posko ciracas

15 September 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mereka Digiring ke Ciracas TKI yang baru kembali dari Timur Tengah diproses lagi di Posko AKAN Ciracas. Ada apa? SINDAROS tampak lesu. Keinginannya yang menggebu-gebu untuk terbang ke Arab Saudi gagal. "Saya kecewa tidak bisa berangkat ke Arab Saudi." katanya, lirih. Jangan salah sangka. Sindaros bukanlah calon sukarelawan yang ingin terjun ke kancah perang Teluk. Ia, janda berusia 32 tahun asal Yogyakarta, adalah calon tenaga kerja Indonesia (TKI) yang semula siap mendulang dinar. Maklum, gemerincing mata uang Arab Saudi di negeri yang kaya minyak itu menjanjikan kehidupan lebih baik buat orang-orang seperti Sindaros. Bahkan ada lagi yang penting, sekaligus ia berharap menunaikan ibadah haji. "Kalau menabung di sini, mana mungkin bisa naik haji," kata Daskinah, 30 tahun, dari Indramayu, Jawa Barat. Sejak krisis Teluk setelah Irak menyerbu Kuwait awal Agustus silam, Departemen Tenaga Kerja (Depnaker) telah mengeluarkan larangan mengirim TKI ke Timur Tengah. Akibatnya, banyak calon TKI yang gigit jari. Selain itu, sejumlah kantor pengerah tenaga kerja juga terkena imbasnya. Misalnya, PT Amri Brothers di Yogyakarta yang selama ini cuma melayani pengiriman TKI ke Arab Saudi. Bulan September ini, perusahaan tersebut tidak bisa mengirim 15 calon TKI yang siap berangkat ke Negeri Raja Fahd itu. Padahal, dari setiap TKI yang berangkat PT Amri Brothers meraup keuntungan sekitar Rp 60 ribu. Kelesuan juga merubungi PT Tifar Admanco di Sukabumi. Dari 100 calon tenaga kerja wanita yang sejak bulan lampau menjalani pendidikan, kini hanya 50 orang yang bertahan. "Terserah kalau mereka kemudian mengundurkan diri," kata Amir Feisal, kepala administrasi PT Tifar. Tentu mereka yang bertahan itu berharap krisis Teluk segera akan berakhir. "Habis, cari duit di sini sulit," keluh Maryati. Ia janda beranak lima asal Malang. Memang, lain di sini lain di Arab Saudi. Apalagi di Kuwait dan Irak. Di sana justru sebaliknya. Para TKI, di samping kegerahan, malah mereka berharap bisa lebih cepat pulang ke Indonesia. Krisis Teluk yang berkepanjangan dan makin tidak menentu itu, mau tak mau, membuat pekerja asal Indonesia di Kuwait dan Irak banyak yang babak belur. Apalagi gaji mereka tak sempat dibayarkan majikannya, dan tabungan bahkan sudah tidak sempat dicairkan. Karena perang mengancam, lantas mereka dilanda panik. Tenaga kerja kemudian berduyun-duyun tumplek ke Amman, ibu kota Kerajaan Yordania -- tetangga Irak -- Kuwait, dan Arab Saudi. Seperti yang menimpa 112 TKI dari Kuwait, yang sebelumnya sempat mengungsi ke Kota Amman. Mereka menghabiskan hari-harinya di Masjid Yormuk. Setelah 16 hari mereka menunggu, baru pesawat Boeing 707 milik Pelita Air Service yang dikirim pemerintah RI tiba menjemput mereka pulang ke tanah air. Mereka tiba di Bandar Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu pekan lalu. Dalam pesawat itu ikut sejumlah staf KBRI di Baghdad dan Kuwait beserta keluarganya, mahasiswa dan enam awak kapal yang sebelumnya sudah tertahan di pelabuhan Kuwait. Setibanya di Jakarta, mereka dibawa ke Wisma Haji, Pondok Gede, Jakarta Timur. Menurut Sekjen Depnaker Darwanto, para TKI tadi diberi uang saku Rp 25 ribu per orang. Biaya perjalanan mereka ke kampung halamannya juga ditanggung pemerintah RI. Berapa jumlah tenaga kerja asal Indonesia yang masih tertahan di Kuwait? Jumlah pastinya belum diketahui. Namun, menurut sebuah sumber di KBRI Amman, di Kuwait masih tersisa sekitar 76 warga Indonesia. Sedangkan koran Jordan Time edisi 4 September lalu mengabarkan di sana masih tertinggal 678 warga Indonesia. Boleh jadi menggembungnya angka itu karena diduga banyak TKI yang selama ini masuk ke negeri terkaya di dunia itu dengan cara ilegal. Sejak awal Agustus hingga Sabtu pekan lalu, jumlah TKI yang datang dari Timur Tengah 6.551 orang. Hanya 165 orang yang pulang gara-gara krisis Teluk. Artinya, hanya 2,4 persen TKI yang kembali sebelum kontraknya di sana berakhir. Nasib berbeda ternyata dialami oleh TKI yang pulang dengan pesawat komersial biasa. Seperti yang menimpa 4 TKI yang tiba Senin petang pekan ini di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, dengan menggunakan Thai Airlines. Mereka datang dari Kota Dhahran, Arab Saudi, dan sempat transit di Bangkok. Keempat TKI yang semuanya wanita itu -- setelah melalui pemeriksaan Imigrasi dan Bea Cukai -- diangkut ke posko AKAN (Antar Kerja Antar-Negara) Depnaker di Ciracas, Jakarta Timur. Di sana mereka dimintai uang Rp 15.000 per orang. "Sebenarnya, saya cuma mau bayar lima ribu, tapi ditolak," cerita Umi. Ia sempat didamprat karena mencoba tak memenuhi permintaan petugas tadi. Untuk keperluan apa sehingga dari mereka ditarik bayaran? "Jelas dong mereka harus membayar. Karena dijemput," kata seorang petugas AKAN di Ciracas kepada wartawan TEMPO. Padahal, sebelum menaiki bis dari Cengkareng ke Ciracas, mereka sudah dijanjikan tak bakal dipungut bayaran. "Kami semua diharuskan menginap semalam," keluh Umi, yang berasal dari Cilacap. Ia sebenarnya menolak bermalam di Jakarta, dan ingin segera pulang ke kampung hal-mannya. Apa boleh buat, ia tidak bisa menampik "aturan" yang ada itu. Kejadian tak sedap juga menimpa seorang ibu dari Serang, Jawa Barat. Ia sulit menjumpai anak perempuannya yang baru tiba di Cengkareng dari Jeddah. Sabtu dua pekan lalu, saat hendak menjemput anaknya itu, ia diminta "uang tebusan" Rp 75.000. Bagaimanapun, sang anak yang TKI itu tetap harus lewat "proses" di Ciracas. Pungli? "Tidak ada pungli. Dalam situasi seperti itu mungkin ada orang yang mengaku petugas AKAN," bantah Soeramsihono, Kepala Pusat AKAN. Malah, ia sudah siap dengan dalih untuk "menahan" para TKI yang baru tiba. "Kalau mereka dibiarkan pulang sendiri, kan bahaya. Karena bisa saja mereka dirampok di jalan," katanya kepada Andy Reza Rohadian dari TEMPO. Tapi tidak semua TKI yang pulang dari mancanegara harus lewat "proses" di Ciracas. Seperti TKI yang baru kembali dari Amerika Serikat, Belanda, atau Singapura. "Mereka kami anggap mampu untuk pulang sendiri," ujar Soeramsihono lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus