Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Tragedi seorang jenderal

Karya : eugene ionesco pemain : charlei sahetapy, imam s.w.,bambang esa. sutradara : arifin c.noer. resensi oleh : putu wijaya.

15 September 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MAKBET Karya: Eugene Ionesco Pemain: Charlie Sahetapy, Imam S.W., B.J. Bambang Esa, Lucy Andalusia Sutradara: Arifin C. Noer Produksi: Teater Kecil Tempat: GKJ, 5-9 September SHAKESPEARE dengan lakon Macbeth berbicara tentang nasib dan berbagai aspek kemanusiaan yang mengiris. Ia membuat kita bertanya-tanya. Salahkan seorang jenderal yang membunuh raja, atas desakan istrinya, hanya untuk mempercepat ramalan. Karena dia toh akan tetap menjadi raja untuk sementara -- kendati tanpa pembunuhan itu. Itulah kata nasib. Dan barangkali takdirlah yang memang sudah menetapkan jalannya seperti itu. Ionesco dengan Macbett lebih banyak mendongkel kekuasaan. Ia tidak seperti Shakespeare -- kendati memujanya menghantarkan kita pada sosok wanita yang menimbulkan rasa muak dan benci. Dengan gaya urakannya, dedengkot drama absurd yang mengaku tak suka menonton drama ini mengajak kita benci kepada kekuasaan. Baik di tangan Duncan maupun kemudian di tangan Macbett, kekuasaan tetap memancing orang menjadi mabuk dan merajalela. Ionesco tak percaya pada kekuasaan yang meneteskan darah. Arifin C. Noer pada 1975 memimpin kelompoknya, Teater Kecil, mementaskan Macbett. Tiga tahun berikutnya ia menampilkan Macbeth. Dan kini, 15 tahun kemudian, ia kembali dengan Makbet. Ia mungkin tak merasa perlu mengajak orang menilai wanita. Tetapi tak pelak lagi ia mengajak orang untuk melihat nasib dan sekaligus melotot kepada kekuasaan. Dengan formula pilihannya: kocak tapi berotak. Seperti yang terbiasa dilakukan oleh Arifin, Makbet muncul dengan jiwa teater rakyat. Ia menghadirkan tontonan dengan permainan bersama, tetapi tanpa menghilangkan kesempatan aktor-aktornya menyuguhkan kemampuan seni akting masing-masing. Yang terakhir ini memang sedang menjadi obsesi Arifin. Para pemainnya berjajar di kedua sisi trap hitam yang dibangun menjadi pentas di panggung. Di belakangnya para pemusik -- dipisahkan oleh lengkungan janur -- memberikan aksentuasi. Para pemain berganti peran, berganti kostum di depan mata penonton. Sekali-sekali awak musik berdiri dan membetulkan selendang seorang pemain. Arifin telah berusaha akrab dan menyanyikan Makbet dengan nakal. Dengan bloking yang bersih dan sadar pada seni rupa, tontonannya menjadi lancar dan atraktif. Ia juga berusaha untuk komunikatif dengan memasukkan "dagelan" penyegar di sana-sini. Misalnya salah seorang pemain berbicara dengan logat Madura, yang mengingatkan kita pada pelawak Kadir. Meskipun tak semuanya berhasil, sudah jelas Arifin berusaha tampil berotak tetapi kocak, sesuai dengan janjinya. Makbet Arifin ini adalah kenakalan, keperihan, sedikit sisa kekenesan, seni rupa yang surealistik dan suguhan seni akting karikatural. Tetapi juga ada kompromi-kompromi yang tak sampai pada taraf "asal penonton senang". Bua-t saya, sebagai sutradara Arifin tetap menunjukkan kalibernya. Kendalanya adalah, materi pemain. Charlie Sahetapy (Machbett tahun 1978) sebagai Makbet bukan tak mampu membawakan perannya. Pada malam pertama ia hanya nampak lelah dengan suara yang cedera mungkin akibat terlalu banyak berlatih. Tapi ketekunan dan pengalamannya masih dapat dinikmati pada monolog-monolognya. Sementara itu, Imam S.W. (Banko) muncul dengan energetik. Gerak-geriknya menunjukkan kelenturan yang penuh janji. Saya kira ia akan menjadi aktor yang andal di masa depan. Lucy Andalusia sebagai Ny. Dunkan, yang kemudian menjadi istri Makbet, belum terasa siap untuk mengungkapkan nuansa-nuansa tokohnya yang mestmya kaya. Demikian juga pemain-pemain lain yang konon berasal dari Asti Bandung. Barisan pendukung ini, yang dalam gaya Teater Kecil menjadi nyawa pertunjukan, masih kurang lepas dan padu. Mau tak mau bagi yang terbiasa menonton pertunjukan Teater Kecil, "hura-hura" kali ini kurang kompak. Karenanya ketiadaan Amak Baldjun atau Dorman Borisman -- aktor senior teater ini yang biasanya membuat meriah -- terasa. Juga kedua pilar monumental di depan panggung, seperti tak menerima kehadiran isi pentas. Barangkali itu juga salah satu faktor- koor-koor, nyanyian "permainan", termasuk materi janur, terasa agak "ketinggalan". Padahal, idiom-idiom panggung itu amat menggigit bila ditampilkan di panggung Teater Tertutup atau Teater Arena Taman Ismail Marzuki. Kehilangan daya magis, secara umum, mungkin juga karena peristiwa pementasan makin lama kehilangan ritualnya. Harus diakui, teater modern Indonesia kini mulai memasuki era sebagai barang komoditi. Makbet Teater Kecil menjadi bagian dari kubu yang mencoba melawan arus pembodohan dalam tontonan. Formatnya terjaga. Kita hanya berharap semoga Gedung Kesenian Jakarta -- yang berulang tahun ketiga -- Teater Kecil, dan lain-lainnya, masih terus setia melawan, di masa-masa yang akan datang. Putu Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus