Perjalanan Tengah Malam ke Nusakambangan Jumat tengah malam, diam-diam, enam mahasiswa ITB -- yang dihukum karena peristiwa 5 Agustus -- dipindahkan ke Nusakambangan. Siapa yang memindahkan mereka? DI bawah kawalan tiga anggota Bri-mob dan seorang sipir peniara, pukul 23.00 Jumat pekan lalu, Fadjroel Rachman Cs. digiring keluar dari Rutan (Rumah Tahanan) Kebonwaru, Bandung. Kemudian keenam pelaku aksi demo 5 Agustus 1989 di kampus ITB itu langsung dibawa dengan mobil tahanan ke arah timur menuju Cilacap, Jawa Tengah. Inilah perjalanan Fadjroel Cs. ke Nusakambangan. Keenam bekas aktivis mahasiswa ITB itu tampak tenang-tenang saja, tidak protes, marah-marah, apalagi berontak. "Mereka malah tertawa-tawa senang," tutur Marsono, S.H., Kepala Rutan Kebonwaru, yang menyaksikan acara boyong itu. Upacara boyongan itu, menurut Marsono, sengaja dilakukan pada malam hari. "Agar tiba di Cilacap pada pagi hari, dan bisa langsung diangkut dengan perahu ke Nusakambangan," kata Marsono. Sabtu pagi pukul 06.00, rombongan itu sampai di Cilacap. Sesuai dengan rencana, mereka pun diangkut dengan perahu ke Nusakambangan. Selama dalam perjalanan, menurut Kepala Rutan Cilacap Drs. Achmad Ilihambali, keenam terhukum itu mengenakan pakaian preman. Tapi, boleh dibilang, mereka hanya membawa pakaian di badan. "Barang-barang mereka masih di Bandung," tutur llihambali lewat telepon kepada Siti Nurbaiti TEMPO. Pemberitahuan soal pemindahan Fadjroel Cs. ke Nusakambangan itu, konon dilakukan secara mendadak. Para terhukum maupun keluarganya tidak diberi tahu sebelumnya. "Tak ada ketentuan yang mewajibkan kami memberitahukan rencana itu sebelumnya," kata Marsono. Kepala Rutan Kebonwaru itu pun mengaku baru tahu soal pemindahan, malam itu juga. "Hijrah" Fadjroel Cs. dari Kebonwaru ke Nusakambangan kontan menjadi sorotan pers. Suara kontra atas keputusan itu pun merebak luas. "Ini kelewatan. Masa anak-anak yang cuma terlibat kasus politik berkadar ringan dibawa sampai ke Nusa kambangan," ujar Harjono Tjitrosoebono, pengacara kawakan dari Jakarta. Sebagai Kepala Rutan, Marsono mengaku tak berkewenangan memutuskan soal pemindahan keenam terhukum itu: Fadjroel Rachman, Enin Supriyanto, Moh. Djumhur Hidayat, Ammarsyah, Arnold Purba, dan Bambang Sugiyanto. "Soal ini menjadi wewenang Kantor Wilayah Kehakiman,' ujarnya. Namun, sepanjang pengetahuan Marsono, pemindahan mereka ke Nusakambangan itu tak menyalahi peraturan manapun. Sebab, "Nusakambangan itu menerima narapidana minimal enam bulan, untuk kejahatan apa saja," Marsono menambahkan. D-engan kata lain, tak ada larangan untuk mengirim keenam bekas aktivis ITB itu -- yang dijatuhi hukuman sekitar tiga tahun -- untuk menghuni Nusakambangan. Sampai -Senin pekan ini, alasan resmi pemindahan ini belum terungkap. Kepala Kanwil Kehakiman Jawa Barat Kohar Sayuti masih sulit dihubungi. Marsono sendiri hanya bisa meraba-raba. "Rutan Kebonwaru ini cuma untuk mereka yang masih berstatus tahanan, bukan narapidana," ujarnya. Namun, kabarnya, keputusan itu diambil lantaran pihak Kanwil Kehakiman Ja-Bar tidak senan-g menyaksikan para bekas aktivis ITB itu melakukan kontak secara tertulis dengan kelompok pembela hak asasi di Australia. Tindakan itu dianggap mencoreng aparat kehakiman. Apa pun alasan pemindahan itu, sampai Senin pekan ini, kampus ITB tampak tenang-tenang saja. Tak terlihat aksi-aksi pembelaan terhadap keenam bekas aktivisnya. Reaksi terhadap pengiriman Fadjroel Cs. ke Nusakambangan hanya tampak dari empat buah poster berukuran 50 x 7-5 cm. Salah satunya berbunyi: ITB kemana kamu? Kami dinusa-kambangankan. Peristiwa 5 Agustus itu sendiri meledak saat Menteri Dalam Negeri Rudini berkunjung ke kampus ITB, untuk membuka penataran P4 bagi mahasiswa baru angkatan 89. Rupanya, kedatangan Rudini itu, oleh Fadjroel Cs, dicurigai membawa misi politik. Maka, sekitar 200 mahasiswa menggelar aksi demonstrasi, dengan membakar ban-ban. Rudini dicaci maki. Rektor dan petugas keamanan cepat bertindak. Beberapa orang mahasiswa segera diamankan, dan Rektor ITB Prof. Wiranto Arismundar segera menebar surat- pemecatan atau skorsing terhadap 30 mahasiswa. Dari jumlah itu, enam orang itulah yang diajukan ke pengadilan, dan dijatuhi hukuman. Sementara itu, Rektor menjatuhkan sanksi pemecatan. Vonis dijatuhkan pada bulan Februari. Mereka naik banding. tapi vonis tak berubah. Kasasi Mahkamah Agung (MA), yang disampaikan lewat telegram 27 Agustus lalu, mengukuhkan keputusan-pengadilan tingkat pertama. Dengan turunnya keputusan MA itu, artinya mereka harus dipindahkan dari Kebonwaru ke Rutan yang menampung mereka yang berstatus terhukum. Alhasil, keluarlah keputusan menusakambangankan ini. Anehnya, Menteri Kehakiman Ismail Saleh mengaku tak tahu-menahu soal pemindahan keenam bekas mahasiswa ITB itu. "Saya sama sekali tak menerima laporan sebelumnya," ujar Ismail Saleh seperti dikutip Kantor Berita Antara, Senin lalu. Seperti halnya Ismail Saleh, Dirjen Permasyarakatan Baharuddin Lopa pun mengaku tak diajak berembuk. "Saya akan meminta agar anak-anak ITB itu segera ditarik kembali ke Bandung," ujar Lopa kepada Ardian T. Gesuri, dari TEMPO-. Lopa mengakui bahwa tak ada kriteria khusus tentang narapidana yang boloh dinusakambangankan. Yang berjalan selama ini adalah kriteria umum: mereka yang divonis sebagai pelaku kejahatan subversi, narkotika, penyelundupan, atau judi, atau perjudian -- dengan masa hukuman lima tahun. Namun demikian, Lopa tetap menekankan bahwa rutan bukanlah tempat untuk balas dendam, "Melainkan tempat pembinaan," ujarnya. Putut Tri Husodo, Widi Yarmanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini