Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak negeri ini merdeka, setidaknya tercatat 99 kecelakaan serupa. Salah satunya menimpa pesawat Boeing 707 milik maskapai Pan Am pada 1974.
Tempo edisi 4 Mei 1974 mengulas musibah itu lewat artikel berjudul “’Baa… baak’ Selanjutnya Senyap”. Kata “baa… baak” merupakan kata terakhir Donald B. Zinke, kapten pilot pesawat Pan Am, kepada petugas menara kontrol Bandar Udara Internasional Ngurah Rai, Badung, Bali. Pesawat nahas itu dinyatakan hilang di wilayah Singaraja, Bali, pada 22 April 1974.
Zinke sempat menyampaikan permintaan izin mendarat pada pukul 22.30 WIB. Petugas menara kontrol, I Wayan Nuastha, 24 tahun, menduga Zinke hendak mengucapkan “Bali tower… Bali tower….”. Tapi komunikasi keduanya mendadak terputus. Waktu itu jam menunjukkan pukul 22.29 WIB. Nuastha berusaha memanggil-manggil sembari menyalakan lampu hijau ke semua arah. Tapi tetap nihil.
Tempo merekonstruksi detik-detik sebelum pesawat itu dinyatakan hilang berdasarkan keterangan Nuastha. Rupanya, kontak pertama Nuastha dengan Zinke terjadi 25 menit sebelum rencana pendaratan. “Menara Bali, di sini Clipper 812,” begitu kalimat yang terdengar dari Zinke. Clipper adalah panggilan untuk pesawat Pan Am, perusahaan penerbangan sipil Amerika Serikat, itu.
Nuastha mempersilakan Clipper menghubungi Pusat Pengawas Wilayah di frekuensi lain karena pesawat yang dikemudikan Zinke sedang mengudara di ketinggian 28 ribu kaki. Saran itu ia sampaikan karena menara kontrol hanya bertanggung jawab memandu pesawat di ketinggian 1.000 kaki. Zinke lalu meminta izin menurunkan ketinggian pesawatnya.
Pada pukul 22.27, Zinke melaporkan pesawatnya sudah berada di ketinggian 2.500 kaki. Nuastha lalu mempersilakan Zinke menggunakan landasan 09 untuk keperluan pendaratan. Ketika ditanyai apakah landasan Ngurah Rai sudah terlihat, Zinke tak menjawab. Yang terdengar dua menit setelahnya hanyalah suara gagap: baa… bak. Komunikasi keduanya lalu terputus.
Sepuluh menit berselang, pesawat dengan nomor penerbangan PA-812 itu diketahui jatuh di sebelah barat Singaraja. Adalah polisi Ktut Djarum dari Desa Grogak, Kecamatan Buleleng, yang pertama kali melaporkan jatuhnya pesawat seharga US$ 10 juta itu. Malam itu juga, Pusat Koordinasi Penyelamat Penerbangan Jakarta meminta pesawat lain memastikan lokasi musibah.
Pesawat Cessna PENAS yang terbang dari Denpasar menuju Jakarta mendeteksi posisi Pan Am menjelang pagi. Badan pesawat ditemukan sekitar 40 kilometer dari bandara, tepatnya di sebuah hutan di kaki Gunung Penolan pada koordinat 144 derajat 50 menit Bujur Timur dan 8 derajat 16 menit Lintang Selatan. Asap putih dilaporkan masih mengepul dari badan pesawat itu.
Berbagai analisis muncul untuk mengurai penyebab kecelakaan. Ketika komunikasi terputus dengan petugas bandara, Zinke diduga salah menangkap sinyal pendaratan. Lampu petromaks di kapal-kapal nelayan dipahaminya sebagai panduan pendaratan (rotating beacon). Zinke mengalihkan arah pesawat ke Gunung Penolan ketika menyadari kesalahannya. Lalu terjadilah kecelakaan.
Dugaan lain menyebutkan terjadi sesuatu yang mendadak pada pesawat, seperti ledakan, kemacetan kemudi, atau downdraft, yang menyebabkan pesawat kehilangan ketinggian. Berbagai spekulasi itu muncul karena Zinke tak melaporkan adanya kerusakan mesin saat berkomunikasi menjelang pendaratan.
Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi 4 Mei 1974. Dapatkan arsip digitalnya di:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo