Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Langkah Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Taufik Kurniawan sebagai tersangka korupsi patut diapresiasi. Namun berulangnya modus operandi suap dalam perkara Taufik menunjukkan ada kekeliruan mendasar dalam sistem penganggaran dana alokasi khusus yang perlu dibenahi.
Pola korupsi yang diduga dilakukan Taufik, yakni meminta suap dari kepala daerah sebagai imbalan menyetujui pos dana alokasi khusus di anggaran negara, sudah kesekian kalinya terjadi. Ironisnya, perkara pertama dengan modus semacam ini juga dilakukan politikus Partai Amanat Nasional, Wa Ode Nurhayati, pada 2012. Ketika itu, Wa Ode meminta imbalan untuk pencairan dana infrastruktur daerah dari sejumlah pemerintah daerah.
Enam tahun berlalu dan kini pola korupsi serupa masih terus terjadi di Senayan. Sebagai Wakil Ketua DPR yang membawahkan badan anggaran dan keuangan negara, Taufik Kurniawan punya kewenangan besar dalam pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dia diduga memanfaatkan kewenangan itu untuk mendapatkan kickback sebesar 5 persen dari total dana alokasi khusus yang dia setujui untuk percepatan pembangunan di daerah.
Bukan kebetulan jika penyuap Taufik adalah Bupati Kebumen, Jawa Tengah, Yahya Fuad. Taufik sendiri anggota DPR dari Daerah Pemilihan VII Jawa Tengah, yang meliputi Kebumen, Banjarnegara, dan Purbalingga. Ketika terpilih, sang Bupati juga didukung Partai Amanat Nasional. Karena itulah Yahya meminta bantuan Taufik agar daerah termiskin kedua di Jawa Tengah tersebut mendapat DAK sebesar Rp 100 miliar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2016.
Tentu tidak ada yang keliru dari sistem penganggaran yang melibatkan lembaga legislatif. Sebagai representasi warga negara, sudah seharusnya DPR memberikan persetujuan akhir atas anggaran yang diajukan lembaga eksekutif. Yang mesti diwaspadai adalah celah kongkalikong yang bisa dimanfaatkan politikus untuk “memperdagangkan” kewenangannya.
Modus korupsi seperti ini harus segera dibongkar karena kerugian yang ditimbulkannya berlapis-lapis. Duit suap yang disetorkan kepada Taufik, misalnya, berasal dari urunan para pengusaha yang mengijon proyek daerah yang bakal dibiayai dari DAK. Mereka juga memotong 7 persen dari total dana sebagai imbal jasa menyiapkan modal sogokan. Para politikus daerah di DPRD tak ketinggalan. Mereka juga kecipratan bagian karena proposal pengajuan DAK harus distempel lembaga itu sebelum diajukan ke Senayan.
Walhasil, dana alokasi khusus yang sebenarnya didesain untuk membantu daerah yang tak mampu membangun infrastruktur sudah compang-camping ketika benar-benar sampai ke tangan pelaksana proyek. Khalayak ramai yang membutuhkan jalan, jembatan, atau pasar akhirnya mendapat fasilitas infrastruktur di bawah kualitas yang seharusnya. Inilah lingkaran setan korupsi yang mesti diputus.
Sebagai langkah awal, Kementerian Keuangan bisa merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang dana perimbangan yang menjadi basis perhitungan DAK. Alokasi DAK dalam anggaran negara seharusnya dikunci dalam regulasi itu agar tak dijadikan komoditas politik di DPR.
Dengan penetapan yang tegas dalam peraturan, ruang negosiasi dalam pembahasan mata anggaran ini di Senayan jadi tertutup. Transparansi dalam rapat-rapat anggaran juga merupakan faktor kunci untuk memberantas praktik korupsi. Pengawasan publik yang ketat seharusnya bisa membasmi kanker korupsi berjemaah yang terus menggerogoti tata kelola anggaran kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo