Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Kesembronoan di Balik Tragedi Lion Air

Kesembronoan di Balik Tragedi Lion Air

2 November 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kesembronoan di Balik Tragedi Lion Air

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tragedi Lion Air telah mengaduk-aduk perasaan khalayak: rasa duka bercampur dengan geram dan cemas. Publik berduka atas nasib 189 penumpang dan awak pesawat JT 610 yang jatuh di perairan Tanjung Pakis, Karawang, Senin pagi pekan lalu. Sekalipun sebagian puing pesawat dan kotak hitam sudah diangkat, hingga kini belum semua jenazah korban ditemukan.

Rasa geram muncul setelah disadari bahwa tragedi itu mungkin bisa dihindari andai Lion Air tak sembrono melepas pesawat yang sebelumnya sudah rewel. Kini orang pun waswas naik pesawat lantaran Kementerian Perhubungan dan operator penerbangan belum bertindak maksimal untuk mencegah petaka serupa.

Sistem kendali penerbangan pesawat rute Jakarta-Pangkalpinang itu ditengarai rusak sejak lepas landas dari Bandar Udara Soekarno-Hatta pada pukul 06.20 Waktu Indonesia Barat. Dari rekaman percakapan dengan petugas menara bandara, terungkap pilot sempat minta izin untuk putar balik. Izin diberikan, jalur pendaratan pun disiapkan, tapi pesawat tidak pernah kembali. Hanya berselang 13 menit dari lepas landas, pesawat JT 610 jatuh di Tanjung Pakis.

Gangguan kendali penerbangan rupanya memaksa pilot menerbangkan Boeing 737 MAX 8 itu secara manual. Dari percakapan pilot dengan petugas menara, terkuak pula bahwa semua parameter, seperti ketinggian dan kecepatan, tidak muncul di layar kokpit, sehingga pilot bagaikan terbang buta.

Keteledoran tim teknisi Lion Air amat mencolok lantaran sehari sebelumnya pesawat itu telah mengalami gangguan teknis di Bandara Ngurah Rai, Bali. Penerbangan JT 043 rute Denpasar-Jakarta pun terlambat lebih dari tiga jam. Pesawat Boeing 737 MAX 8 itu akhirnya bisa terbang dari Bandara Ngurah Rai pada pukul 22.21 Waktu Indonesia Tengah dan mendarat di Jakarta sekitar satu setengah jam kemudian. Penerbangan ini selamat kendati penumpang dicekam rasa takut. Pesawat sering naik-turun, sempat tercium bau gosong, dan penumpang diminta tetap mengencangkan sabuk keselamatan sepanjang penerbangan.

Lion Air mengakui soal gangguan teknis itu, tapi menyatakan masalah sudah diatasi, sehingga pesawat dipakai lagi untuk penerbangan JT 610 sekitar tujuh jam kemudian. Hanya, sulit membayangkan perbaikan kerusakan—diduga juga menyangkut kendali penerbangan—bisa dilakukan secepat itu. Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mesti mencermati kejanggalan ini. Bahkan, sejak di Bandara Ngurah Rai, pesawat itu seharusnya dikandangkan dan diperbaiki, lalu dilakukan tes tanpa penumpang. Setelah benar-benar aman, barulah pesawat tersebut dapat digunakan untuk mengangkut penumpang.

Langkah Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi yang mencopot Direktur Teknik Lion Air Muhammad Asif dan beberapa personel teknisi patut dihargai, tapi belum cukup. Kementerian Perhubungan semestinya juga mengaudit sistem perawatan pesawat dan personel teknisi Lion Air. Pesawat Boeing 737 MAX 8 yang lain semestinya pula dilarang beroperasi untuk sementara. Sikap berhati-hati harus dilakukan karena pesawat varian anyar ini baru mengangkasa tahun lalu dan sempat ditunda pemasarannya karena ada cacat mesin.

Maskapai Lion Air perlu diawasi ketat karena memiliki rapor kurang bagus. Di luar soal keterlambatan yang sering dikeluhkan penumpang, pesawat maskapai ini sering mengalami insiden, dari tergelincir saat mendarat hingga mengalami gangguan mesin sebelum terbang. Kedekatan pemilik Lion Air, Rusdi Kirana, dengan penguasa—ia diangkat menjadi Duta Besar untuk Malaysia pada tahun lalu—tak boleh membuat Kementerian Perhubungan melempem. Begitu juga skala bisnis maskapai itu, yang menguasai mayoritas usaha penerbangan di Tanah Air. Sikap pemerintah semestinya setegas ketika menangani kasus AirAsia QZ8501 yang jatuh di Selat Karimata pada 2014. Saat itu, izin rute AirAsia untuk penerbangan Surabaya-Singapura langsung dibekukan kendati investigasi KNKT belum selesai.

Tragedi AirAsia pun bermula dari kelalaian. Ada kerusakan pengatur gerak pesawat Airbus A320 itu yang disebabkan oleh penyolderan yang tak sempurna. Gangguan itu menyebabkan pilot beralih ke pengendalian alternate mode yang berakibat parameter penting pesawat tak terbaca. Hasil investigasi KNKT menyimpulkan AirAsia QZ8501 terbang melebihi parameter normal sehingga kehilangan daya angkat dan akhirnya jatuh.

Harus diakui, pemerintah cukup berhasil membenahi regulasi penerbangan. Semua maskapai Indonesia kini boleh menerbangkan pesawat ke Amerika Serikat dan Eropa. Hanya, pencapaian ini bisa berantakan jika regulator tidak bisa menerapkan aturan secara ke-tat dalam operasi penerbangan sehari-hari, seperti yang terjadi pada kasus Lion Air. Pemerintah mesti menerapkan zero tolerance terhadap kerusakan sekecil apa pun agar tragedi serupa tak terulang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus