Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Seorang guru di Pematangsiantar mengeluhkan tunjangannya yang belum cair, padahal surat tunjangannya sudah terbit.
Pemilihan kepala daerah melupakan masyarakat sipil dan masyarakat adat yang berperan mendorong pemilihan langsung.
Dugaan PKI masuk perangkap CIA dalam peristiwa G-30-S 1965.
SAYA seorang guru sekolah menengah atas swasta di Pematangsiantar, Sumatera Utara, yang berstatus guru sertifikasi dengan masa kerja kurang-lebih 28 tahun. Surat keputusan tunjangan profesi guru saya sudah terbit pada 28 Juni 2024. Masalahnya, sampai 9 Oktober 2024, tunjangan saya belum cair. Sedangkan teman-teman saya sesama guru sertifikasi sudah menerimanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apakah perlu berbulan-bulan untuk mencairkan tunjangan sertifikasi? Saya hanya guru biasa yang tidak paham birokrasi pemerintah. Namun, perlu saya tegaskan, tidak ada gunanya menahan-nahan atau menunda-nunda pencairan tunjangan profesi saya. Sebab, tanpa guru, kalian tidak akan bisa menjadi pejabat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Zainal Abidin
Pematangsiantar, Sumatera Utara
Masyarakat Sipil dalam Pilkada
SEJARAH mencatat, masyarakat sipil punya peran penting dalam lahirnya pemilihan kepala daerah secara langsung melalui gerakan Reformasi 1998. Sekarang masyarakat sipil justru dilupakan dalam gegap gempita pilkada. Isu perlindungan masyarakat adat, pemajuan demokrasi, pembangunan perdesaan, persamaan hak perempuan, hingga konservasi lingkungan telah hilang dari perbincangan pasangan calon kepala daerah.
Selama masa kampanye, para kandidat seolah-olah melupakan keberadaan masyarakat sipil. Padahal demokrasi Indonesia pernah dipuji dunia sebagai demokrasi penuh karena ada masyarakat sipil yang hidup, dinamis, dan bersemangat. Pilkada langsung merupakan agenda demokrasi yang luhur dan mulia. Pilkada langsung seyogianya membawa pemajuan demokrasi.
Melihat pilkada saat ini, peran masyarakat sipil hampir tidak diperhitungkan, dari tahap pencalonan, kampanye, sampai saat pemungutan suara. Isu dan kepentingan masyarakat sipil pun hilang dari dialog dan debat publik. Banyak calon yang sejak awal maju dengan tujuan keuntungan pribadi atau golongan dan kepentingan elektoral. Mereka jauh dari agenda masyarakat sipil. Nilai pluralitas hilang oleh politik identitas, yang mengoyak hati masyarakat. Masalah masyarakat adat, konflik agraria, dan bencana ekologis, seperti banjir bandang, tanah longsor, dan penebangan hutan, bagai hilang dalam pembicaraan para calon.
Sekarang kita tinggal menunggu pengumuman resmi pemerintah ihwal siapa yang akan menjadi kepala daerah. Semoga pilkada 2024 bisa menjadi refleksi bagi masyarakat sipil untuk mengembalikan pilkada langsung kepada demokratisasi hingga ke daerah.
Kosmantono
Banyumas, Jawa Tengah
G-30-S
PERISTIWA Gerakan 30 September atau G-30-S 1965 masih menyisakan beragam kisah kontroversial. Sulit dibantah bahwa Partai Komunis Indonesia atau PKI telah melakukan upaya kudeta saat itu. Buku karya Vincent Bevins, The Jakarta Method: Washington’s Anticommunist Crusade and the Mass Murder Program that Shaped Our World, menarik dibaca di tengah silang pendapat tentang hak asasi manusia. Buku ini menarik karena kita dapat membaca betapa negara-negara berkembang menjadi sasaran permainan beberapa lembaga yang dikelola segelintir manusia di negara maju. Mereka seakan-akan mempermainkan nasib negara lain.
Penjelasan dalam halaman 127 buku itu menggelitik. “Bulan Desember 1964, Duta Besar Pakistan di Prancis, J.A. Rahim, mengirim surat kepada Menteri Luar Negeri saat itu, Zulfikar Ali Bhutto. Dalam laporannya, dia menceritakan percakapannya dengan seorang perwira intelijen Belanda yang bekerja pada NATO. Intelijen Barat sedang merancang kudeta komunis yang prematur di Indonesia dengan skenario akan digagalkan sehingga Indonesia akan langsung jatuh ke pangkuan Barat seperti buah apel busuk.” Apakah PKI masuk perangkap skenario Badan Intelijen Pusat Amerika Serikat atau CIA?
Banyak indonesianis membuat asumsi latar belakang peristiwa ini, tapi tidak ada satu pun yang memberikan kejelasan rangkaian peristiwa ini secara runtun. Benturan sampai pembunuhan besar-besaran adalah peristiwa yang menyedihkan bagi semua anggota masyarakat, tidak peduli apa pun perbedaan mereka.
Saat itu Soeharto dapat menguasai situasi serta berbalik menggagalkan upaya kudeta. Di sisi lain, Jenderal A.H. Nasution, yang pangkatnya lebih tinggi, terlihat tidak mampu melakukan gerakan untuk mengatasi situasi. Bahkan ia sampai mengalami cedera serta kehilangan putri dan ajudannya.
Ocehan ini sekadar mengajak kita semua mencintai dan membina bangsa yang merdeka berkat jerih payah rakyat bersama para pendiri bangsa. Kita semua harus mencapai cita-cita yang hakiki seperti yang digambarkan Bung Hatta. Kita berhasil melewati banyak ujian yang membahayakan kesatuan bangsa dan patut bersyukur sampai saat ini bisa selamat. Kesatuan dan persatuan dalam keberagaman adalah tanggung jawab pemegang amanah kekuasaan di negeri ini.
Hadisudjono Sastrosatomo
Menteng, Jakarta Pusat
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo