Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Anda, apakah hasil ujian nasional bisa mencerminkan kualitas pendidikan nasional?
(Periode 20-27 April 2011) |
||
Ya | ||
18.53% | 83 | |
Tidak | ||
78.57% | 352 | |
Tidak Tahu | ||
2.9% | 13 | |
Total | 100% | 448 |
SEPANJANG dua minggu lalu, sekitar 10,4 juta siswa dari tingkat sekolah dasar sampai sekolah menengah atas di seluruh Indonesia menempuh ujian nasional. Pro dan kontra lagi-lagi mengiringi pelaksanaan tes akhir ini.
Apalagi, di sejumlah daerah, terjadi insiden tak enak pasca-ujian. Di Kediri, Jawa Timur, beberapa pelajar SMA ditangkap setelah mengkonsumsi narkoba seusai ujian. ”Saya pusing, ujiannya sulit,” kata seorang siswa yang ditahan.
Sejak pertama kali digunakan sebagai indikator final kelulusan siswa, ujian akhir nasionalbiasa disingkat UAN memang jadi momok bagi murid, guru, dan orang tua siswa. Meski Kementerian Pendidikan Nasional sekarang melunak dan tidak lagi menggunakan hasil ujian sebagai satu-satunya penentu kelulusan, kontroversi tak juga mereda.
Pemerintah berkeras pelaksanaan ujian nasional penting untuk mengukur maju-mundurnya pendidikan di negeri ini, apalagi standar nilai kelulusan yang harus dicapai siswa hanya 5,5. Tapi Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Persatuan Guru Republik Indonesia Muhammad Abduhzen tak sepakat. Menurut dia, tes semacam ini tidak tepat. ”Ujian nasional tidak pas dipakai sebagai alat pemetaan mutu pendidikan siswa,” katanya.
Mayoritas pembaca Tempo Interaktif setuju dengan Abduhzen. Pada jajak pendapat sepanjang pekan lalu, sebagian besar responden78,57 persenmengaku tak yakin hasil ujian nasional mencerminkan kualitas pendidikan nasional.
Indikator Pekan Ini
Kecemasan kian menjadi setelah sebuah bom bunuh diri meledak di masjid yang ada di tengah markas Kepolisian Resor Kota Cirebon, Jawa Barat. Puncaknya, pekan lalu hampir saja aksi teror bom pipa gas meluluhlantakkan perayaan Paskah di Serpong, Banten. Menghadapi tantangan ini, aparat intelijen jadi sasaran kritik. Mereka dianggap kebobolan, tak mampu mengantisipasi bahaya. Di sisi lain, lembaga mata-mata ini membela diri dengan mengaku tak dilengkapi kewenangan luas seperti dulu. ”Kami perlu undang-undang, supaya terbuka dan publik melihat kerja kami,” kata Jenderal (Purnawirawan) Sutanto, Kepala Badan Intelijen Negara, dalam wawancara dengan majalah Tempo dua pekan lalu. Menurut Anda, benarkah kemampuan aparat intelijen lemah sehingga muncul banyak aksi teror? Kami tunggu jawaban dan komentar Anda di www.tempointeraktif.com. |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo