Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Untuk Pelajar Indonesia

PADA 1969, Internet dicetuskan. Orang tua kalian belum menikah. Pada 1990, Internet merembes ke Indonesia.

5 Oktober 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Surat - MBM

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kalian belum lahir. Pada 1997-1998, muncul weblog dan Google. Kalian juga belum lahir. Pada 2004, Facebook didirikan. Kalian sudah lahir. Pada 2007, Facebook masuk ke Indonesia. Foto kalian dibicarakan di dalamnya. Marc Prensky menyebut kalian “pribumi digital” karena lahir saat Internet berkembang pesat.

Selama sebelas tahun kalian disepelekan, dianggap phubbing karena sering bermain telepon seluler ketika kumpul keluarga, dituding FOMO atau fear of missing out lantaran setiap kali diajak pulang kampung bertanya: “Ada Internet enggak di sana?” Kalian juga dicap sebagai slacktivist lantaran hanya bisa like, comment, dan share di media sosial tanpa keberanian memprotes ke jalan, kecuali untuk tawuran.

Anehnya, selama sebelas tahun direcehkan, kalian tidak turun ke jalan. Kalian baru turun ketika para elite politik memproduksi ketidakadilan. Kalian dituding dibayar, padahal yang dibayar besar adalah para pejabat yang menyepakati ketetapan itu.

Perjuangan kalian bersama para mahasiswa bisa membuat orang baik di lingkaran kekuasaan menjadi berani. Perjuangan kalian membuat para orang tua berubah menjadi optimistis karena ternyata generasi penerus Indonesia adalah manusia merdeka.

Perjuangan kalian menutup kekhawatiran kami terhadap kualitas pengawasan anggota Dewan Perwakilan Rakyat/ Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/ Dewan Perwakilan Daerah hasil Pemilihan Umum 2019. Namun, saat berjuang, mengapa kalian malu dipotret atau diwawancarai? Aku penasaran, lalu kulacak posting di media sosial pada 2007-2010. Banyak doa dan komentar pada foto kalian saat berumur balita.

Semua mendoakan kalian menjadi orang bermanfaat. Tidak ada satu pun yang mendoakan kalian menjadi orang terkenal. Oh, barulah aku paham mengapa kalian sembunyikan wajah dengan bendera Merah Putih yang fotonya viral itu.

Wahai para pelajar, berterima kasihlah kepada para mahasiswa yang menginspirasi kalian. Ingat, lawan kalian bukan Joko Widodo atau oposisi. Lawan kalian bukan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian RI. Lawan kalian bukan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Lawan kalian bukan radikalisme dan komunisme. Lawan kalian adalah ketimpangan ekonomi, oligarki, korupsi yang sumbernya ketidakadilan akibat pudarnya sifat-sifat Tuhan dalam jiwa para pemimpin.

Ketidakadilan bisa muncul dari cara kalian berpikir. Maka lawanlah cara berpikir tidak adil itu. Ketidakadilan bisa diciptakan oleh penguasa atau siapa pun. Maka lawan ketidakadilan itu. Bangunlah parlemen pelajar di semua kota/kabupaten di Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk menghadapi ketidakadilan dan korupsi.

Hariqo Wibawa Satria

Depok, Jawa Barat

 


 

Harga Tembakau Jeblok

BERANGKAT dari harga tembakau yang jeblok dan murah, petani tembakau Jember mendirikan Paguyuban Petani Jember (Panijem). Panijem menjadi wadah para petani Jember untuk menumpahkan unek-unek karena harga tembakau tahun ini sangat rendah. Petani sangat merasakan murahnya harga tembakau yang dibeli perusahaan. Mereka tidak berkutik menghadapi kondisi harga yang makin hari makin jeblok.

Jebloknya harga tembakau disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain adanya permainan harga di penafsir gudang. Praktik ini kurang terbuka dan kurang transparan. Dalam kondisi seperti ini, selayaknya pemerintah hadir di tengah petani untuk mencarikan solusi. Kami butuh pengayoman dan perhatian serta perlindungan dari pemerintah. Kalau kami dibiarkan, bubar saja pemerintah karena tidak bisa memberikan pelayanan terbaik bagi rakyatnya.

Harga tembakau pernah mengalami masa keemasan dengan harga Rp 15-30 ribu untuk kualitas yang biasa saja. Artinya, permintaan perusahaan di Jember serta jenis dan kualitas tembakau petani tidak terlalu bagus. Mengapa sekarang harga tembakau dipukul rata menjadi murah? Padahal ada kualitas tembakau petani yang baik, sedang, dan biasa.

 

Supar Efendi

Jember, Jawa Timur

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus