Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Anda, perlukah KPU melakukan audit investigatif atas dana kampanye calon presiden dan wakil presiden? 6-13 Agustus 2004 | ||
Ya | ||
88.54% | 85 | |
Tidak | ||
8.33% | 8 | |
Tidak tahu | ||
3.12% | 3 | |
Total | 100% | 96 |
Kemenangan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dan Megawati-Hasyim Muzadi dalam pemilihan presiden putaran pertama, Juli silam, tercoreng. Adalah Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Transparency International Indonesia yang pertama kali mengungkapkan hal itu. Kedua lembaga ini menelisik silang data dari kantor akuntan publik yang memeriksa kelima calon presiden.
Hasilnya, sejumlah penyumbang dana kampanye kedua pasangan tersebut ternyata fiktif. Ada perusahaan di Makassar yang menyumbang Rp 150 juta untuk pasangan Yudhoyono-Kalla. Setelah dicek, ternyata alamatnya cuma pekarangan kosong. Begitu pula sumbangan untuk Mega-Hasyim. Sebuah perusahaan di Semarang menyetor Rp 750 juta kepada pasangan ini. Setelah dicek silang, papan namanya pun tak bisa ditemukan.
Karena itulah, kedua lembaga tersebut melaporkan hasil temuannya kepada Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu), 3 Agustus lalu. Koordinator ICW, Teten Masduki, juga meminta Komisi Pemilihan Umum melakukan audit investigasi soal ini. Tapi Komisi Pemilihan Umum (KPU) menolak karena audit dana kampanye yang dilakukan lima kantor akuntan publik sudah dianggap memenuhi prosedur. Sikap ini, tentu saja, mengecewakan. Sebaliknya, mayoritas responden yang mengikuti polling ini berpendapat bahwa dana siluman itu mesti diusut.
Anggota Panwaslu, Didik Supriyanto, juga menyayangkan sikap KPU tersebut. Menurut Didik, sikap itu menunjukkan bahwa KPU cenderung bertindak sesukanya sendiri.
Para pelapor kasus ini juga mengungkapkan kekecewaan yang sama. Menurut Asisten Koordinator Transparency International Indonesia, Ahmad Ahsan Jamet, mestinya KPU menindaklanjuti temuan itu dengan melakukan klarifikasi agar keraguan soal sumber dana kampanye itu menjadi jelas.
Indikator Pekan Ini: Presiden Megawati Soekarnoputri buka kartu. Dalam pertemuannya dengan para tokoh agama di Istana Negara, 10 Agustus 2004 lalu, Presiden Megawati mengatakan bahwa Kejaksaan Agung dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) adalah penyebab terhambatnya pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia. Karena itu, Presiden berjanji untuk menempatkan orang-orang profesional pada dua posisi itu. Pernyataan ini mengundang komentar beragam. Seperti disampaikan Munarman, Ketua Yayasan Lembaga Hukum Indonesia, Presiden tidak bisa serta-merta hanya menyalahkan kedua lembaga tersebut sebagai kambing hitam atas mandeknya proses penegakan hukum. ”Kebijakan politik yang dikeluarkan oleh Presiden juga memberi pengaruh kepada kebijakan yang dikeluarkan oleh kedua institusi itu,” kata Munarman. Menurut Anda, benarkah Kejaksaan Agung dan Kepolisian Republik Indonesia menjadi penyebab terhambatnya pelaksanaan penegakan hukum? Kami tunggu pendapat Anda di www.tempointeraktif.com Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 4 November 2006 PODCAST REKOMENDASI TEMPO surat-pembaca surat-dari-redaksi angka kutipan-dan-album kartun etalase event Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |