Leo Suryadinata
Pengamat politik, kini mengajar di Universitas Nasional Singapura
MASYARAKAT Tionghoa merupakan masyarakat majemuk. Ini tercermin dalam pemilihan umum Juni lalu. Sebelum pemilu, 22 Februari 1999, TEMPO mengumumkan hasil survei yang dilakukan sebulan sebelumnya di lima kota (Medan, Jakarta, Bandung, Semarang, dan Pontianak). Dalam survei itu, ketika ditanyakan partai apa yang akan dipilih masyarakat Tionghoa, 70 persen dari mereka memilih PDI Perjuangan (PDIP), 36 persen memilih Partai Amanat Nasional (PAN), 24 persen Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (Parti), 15 persen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan 13 persen Golkar. Mengapa mereka memilih partai pribumi, bukan partai etnis? Dan mengapa Golkar tertinggal di belakang?
Mari kita lihat hasil pemilu. Survei TEMPO pada prapemilu ada benarnya. Sangat jelas bahwa banyak orang Tionghoa yang menyokong PDIP. Bahkan, di kota-kota yang banyak penghuni Tionghoanya (kecuali Pontianak), bendera merah PDIP berkibar-kibar. Tapi, karena Parti tidak ikut pemilu, sukar diketahui sokongan Tionghoa terhadap partai Tionghoa. Namun, kalau PBI bisa dianggap sebagai "Partai Tionghoa", parpol itu tidak mendapat dukungan yang berarti di Pulau Jawa, tempat Tionghoa peranakan berdomisili. Suara yang diperoleh PBI, rupanya, berasal dari kalangan yang masih tebal kebudayaan Cinanya di luar Pulau Jawa. PBI memperoleh suara terbesar di Kalimantan Barat (121.950) dan Sumatra Utara (47.511), dua kawasan yang masih banyak "Tionghoa totok"-nya. Namun, PBI hanya berhasil meraih satu kursi DPR melalui poll ke-2 di Kalimantan Barat.
Mayoritas orang Tionghoa memilih PDI Perjuangan, mungkin, karena dua faktor. Pertama, PDIP mempunyai citra sebagai partai nasionalis sekuler yang dianggap tidak memusuhi suku Tionghoa. Mereka berharap, kalau PDIP yang berkuasa, kebijakannya bisa menguntungkan minoritas yang bukan Islam atau sekurang-kurangnya tidak merugikan mereka. Di samping itu, di dalam PDIP ada seorang tokoh Tionghoa, Kwik Kian Gie, yang sangat menonjol. Dia merupakan vote getter di masyarakat Tionghoa. Mayoritas responden menolak Golkar karena mereka merasa telah "dikhianati" oleh rezim pimpinan Soeharto, sang sesepuh Golkar.
Mengapa tidak memilih Parti? Mungkin secara politis mereka sudah benar-benar terbaur. Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, mereka berpendapat bahwa partai besar yang didominasi oleh pribumi lebih efektif ketimbang partai etnis. Di samping itu, karena aktivitas politik pada zaman Orde Baru dibatasi, kecuali Kwik Kian Gie, tidak ada seorang pun tokoh politik Tionghoa yang dianggap independen. Parti dipimpin oleh generasi muda yang belum dikenal. Namun, partai tersebut masih bisa meraih 30 persen suara responden. Ini menunjukkan bahwa partai etnis masih ada pendukungnya meskipun jumlahnya tidak banyak.
Politik etnis masih hidup di Indonesia, baik di antara pribumi maupun di antara nonpribumi. Di sini, pembicaraan saya terbatas pada yang nonpribumi. Setelah Soeharto lengser, orang Tionghoa yang tidak banyak berpartisipasi dalam politik kepartaian segera mendirikan tiga buah partai: Parti, Partai Pembauran Indonesia, dan Partai Bhinneka Tunggal Ika Indonesia (PBI). Tapi Partai Pembauran Indonesia kandas sebelum sempat bergerak karena ide "pembauran" (baca: asimilasi) tidak lagi populer di antara orang Tionghoa pada era reformasi. Hanya dua partai yang terus berjalan, yaitu Parti dan PBI.
Pada awal Maret, Tim Sebelas mengumumkan bahwa hanya 48 partai yang memenuhi syarat untuk ikut pemilu. Nama Parti tidak termasuk dalam daftar. Jadi, cuma PBI yang bisa ikut pemilu. Yang menarik, PBI tidak masuk dalam pilihan responden survei TEMPO, padahal PBI sudah berdiri sejak 11 Juni 1998. PBI yang dipimpin oleh Nurdin Purnomo alias Wu Nengbin, seorang pengusaha Tionghoa, itu rupanya tidak dikenal oleh masyarakat Tionghoa sama sekali. Di samping itu, nama partai tersebut tidak mencerminkan "ketionghoaan"-nya dan memang dalam susunan pengurusnya terdapat banyak nonpribumi yang bukan Cina.
Seperti telah saya jelaskan di atas, sikap masyarakat Tionghoa terhadap partai politik etnis tidak seragam. Mereka yang mendukung berdirinya parpol Tionghoa berpendapat bahwa kepentingan masyarakat Tionghoa hanya bisa dibela oleh wakil Tionghoa sendiri. Tapi ada kelompok yang menentang karena mereka menganggap berpolitik sangat berbahaya. Rupanya, pengalaman selama Orde Lama dan Orde Baru sangat pahit. Ada pula yang berpendapat bahwa parpol Tionghoa tidak akan efektif karena tidak akan mendapat dukungan dari pribumi yang mayoritas. Tambahan lagi, ideologi orang Tionghoa berbeda-beda dan tidak mungkin tertampung dalam satu parpol.
Kemudian, sekelompok orang Tionghoa, baik yang bisa berbahasa Cina maupun yang tidak, pada Agustus 1998 mendirikan Paguyuban Warga Tionghoa Indonesia, yang diketuai Brigjen (Purn.) Polisi Teddy Yusuf alias Xiong Deyi. Namun, kemudian terjadi perselisihan pendapat dalam organisasi tersebut. Akhirnya, sekelompok orang keluar dari Paguyuban dan mendirikan Perhimpunan Indonesia Keturunan Tionghoa (Perhimpunan Inti), yang diketuai Drs. Eddie Lembong alias Wang Youshan (Ong Joe San), seorang apoteker. Kedua organisasi itu rupanya berlomba merebut dukungan masyarakat Tionghoa, tapi hasilnya masih jauh dari jelas.
Di antara keturunan Tionghoa yang tidak setuju dengan berdirinya partai etnis itu ada Kwik Kian Gie. Ia menganggap, Tionghoa itu sudah membaur dan mendirikan partai etnis berarti mundur. Ia ingin agar orang Tionghoa masuk parpol yang didominasi pribumi. Orang-orang eks Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa seperti Drs. Yunus Yahya (alias Lauw Chuan Tho) dan K. Sindhunata (alias Ong Tjong Hai) bahkan bergabung dengan PAN.
Dari hasil pemilu kali ini dan sikap mereka terhadap parpol, tidaklah berlebihan jika saya mengatakan bahwa kemajemukan masih merupakan ciri utama masyarakat Tionghoa di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini