Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
”…maraknya sentimen separatis di beberapa wilayah akhir-akhir ini berkaitan dengan meluapnya amarah rakyat setempat terhadap kesewenang-wenangan pemerintahan pusat dalam menangani persoalan daerah,” tulis Vedi Hadiz di majalah TEMPO beberapa saat yang lalu. Sebagaimana tulisan tersebut, beberapa opini Majalah TEMPO juga menyiratkan keprihatinan yang sama tentang hubungan pusat-daerah. Bahkan banyak di antara kita kini merenungkan kemungkinan bubarnya negeri ini. Renungan tentang ”balkanisasi” ini bukan tanpa alasan sebagaimana juga fobia militer akan adanya ”bahaya separatisme” di beberapa tempat di Tanah Air, kemarahan itu memang nyata dan terasa.
Baik orang sipil maupun militer tampaknya sama-sama gamang memikirkan keutuhan bangsa ini. Bedanya, Vedi, TEMPO, dan banyak di antara kita berusaha merenungkan keadaan dan mencari jalan keluar yang dapat menciptakan rasa keadilan dan kesetaraan bagi sesama warga bangsa; sedangkan militer tampaknya mencari jalan pintas, dengan berusaha membuat rancangan undang-undang yang melegalkan mereka untuk angkat senjata dan membidik si ”separatis” di daerah.
Apa yang tebersit dari fenomena ini? Apa sebenarnya yang ditentang oleh ”orang-orang pusat” itu? Mungkinkan kita salah mengerti permasalahan ketika mencoba menerangkan ketidakpuasan di daerah dan menentang kesemana-menaan di pusat, dengan menggunakan kerangka pikir pusat-daerah?
Hubungan pusat-daerah bukan sekarang saja dibicarakan. Bahkan, sudah hampir lima dasawarsa hubungan antara keduanya menempati posisi sentral dalam telaah sosial tentang negara kepulauan kita. Belakangan, perhatian banyak diberikan pada persoalan yang muncul di daerah.
Ada benang merah yang dapat kita temukan dalam berbagai pemikiran tentang hubungan pusat-daerah, baik dalam telaah yang memusatkan perhatian pada pusat maupun daerah: seluruh analisis tersebut menggambarkan pusat dan daerah sebagai entitas yang dipisahkan bukan hanya oleh jarak geografis, tetapi juga dibedakan atas ketimpangan akses pada kekuasaan.
Si pusat berkuasa, si daerah dikuasai. Dalam pemikiran seperti ini, pusat bukan lagi dimengerti sebagai konsep tempat, tapi sebagai representasi kekuasaan itu sendiri. Tapi sudah tepatkah bila kita menyimpulkan pusat adalah representasi kekuasaan, selanjutnya, tepatkah bila kita mempertentangkannya dengan daerah? Mungkin tidak.
Tidak tepat, karena bila kita telusuri, kekuasaan yang menyentuh kehidupan masyarakat di daerah berada juga di daerah. Memang, kekuasaan tersebut berpusat di pusat, karena pada dasarnya kekuasaan di negara kita ditata secara vertikal. Tapi tidak semua yang berada di daerah berada dalam posisi terpinggirkan, karena sebagian ”orang daerah” itu adalah bagian dari institusi yang menekan orang banyak di daerah yang bersangkutan.
Goenawan Mohamad pernah menulis dalam salah satu catatan pinggirnya tentang sopir truk di Jakarta yang melemparkan uang palak dan kotak korek api ke arah aparat lalu lintas. Sering kali lembar uang di dalam kotak itu basah, karena para sopir dengan jengkel meludahi si kotak sebelum melemparkannya. Cerita ini menyiratkan contoh kemuakan orang banyak di pusat pada kekuasaan, serta keinginan mereka untuk mengakali kekuasaan itu.
Vedi menyebutkan, aspirasi dan kekecewaan rakyat di daerah ”dijawab oleh pemerintah pusat dengan tangan besi.” Sebetulnya, pihak yang menjawab dengan tangan besi itu adalah pemerintahan, baik pemerintah pusat maupun daerah.
Yang lebih penting lagi, kerangka pikir pusat-daerah memutuskan solidaritas horisontal antara sesama warga masyarakat di Tanah Air yang sehari-harinya secara terpisah tapi bersama-sama harus berakrobat untuk terus hidup dalam jaringan tekanan mereka yang berkuasa. Karenanya, mungkin kita mesti berpikir ulang ketika kita menamakan persoalan yang akhir-akhir ini sering kita renungkan sebagai persoalan pusat-daerah.
SANDRA HAMID
Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo