Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Menghadang Tamu Tak Diundang

Pemda DKI Jakarta mencoba menghadang banjir tahunan. Mampukah?

10 Oktober 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAU busuk meruap di sepanjang Kali Cipinang, Jakarta Timur. Dua mesin keruk, siang malam, tak henti-hentinya memuntahkan sumber bacin itu dari perut sungai ke tepian. Gundukan lumpur berderet-deret seperti barisan tumpeng yang memualkan. Pengerukan Kali Cipinang hanya satu dari sekian banyak hajatan Pemerintah Daerah DKI Jakarta menghadang ancaman banjir. Selain Kali Cipinang, sejumlah sungai besar lain, seperti Kali Sunter, Kali Cakung Lama, Kali Grogol, Kali Sekretaris, dan Kali Apuran, termasuk dalam daftar deretan yang dikeduk. Selain dikeruk, beberapa sungai bahkan diturap (dibeton tepiannya), dilebarkan, atau dilempengkan alirannya. Ini bukan pekerjaan ringan. Selain menghadapi persoalan teknis, di beberapa tempat, proyek ini mendapat tantangan masyarakat setempat. Maklumlah, di Jakarta yang padat ini, tepian kali diuruk dengan sampah, lalu di atasnya disulaplah kampung. Tak aneh, sejumlah sungai yang lebarnya belasan meter tiba-tiba mengerut menjadi lima atau enam meter saja. Apa boleh buat, normalisasi dan pelempengan aliran sungai harus pula menggusur kampung-kampung tiban seperti ini. Dan bukan cuma sungai. Pemda DKI juga menyodok sampai ke hulu. Ribuan meter gorong-gorong di 62 lokasi "digurah", dibebaskan dari pelbagai penyumbatan. Kerja besar ini diperkirakan mengeruk 75 ribu meter kubik (sekitar 15 ribu truk) lumpur dari sejumlah urat nadi perairan Jakarta. Untuk itu, Pemda DKI telah menyiapkan bujet Rp 83 miliar. Proyek yang dimulai Juli lalu itu diharapkan selesai bulan depan, ketika curah hujan diperkirakan sedang tinggi-tingginya. Selain menormalkan aliran sungai dan gorong-gorong, Pemda DKI juga menyiapkan bak-bak penampungan air raksasa. Yang kini sedang dikebut adalah pembangunan Waduk Halim I. Kubangan air seluas 5 hektare ini diharapkan bisa mengerem debit Kali Sunter sekaligus menjadi bak penampungan sementara. Waduk senilai Rp 3,8 miliar ini bisa menampung 100 ribu meter kubik air dan diharapkan kelar akhir November depan. Cukup? Belum. Batang air sudah dibersihkan, bak-bak penampung sudah dibuat, tapi bagaimana membebaskan daerah rendah dari genangan? Jangan risau. Pemda DKI agaknya sudah pula memikirkan soal itu. Di daerah-daerah langganan genangan, seperti Kwitang (Jakarta Pusat), Bidaracina (Jakarta Timur), dan Kapuk (Jakarta Utara), sudah pula dipasang pompa-pompa. Begitu air meluber ke dataran ini, pompa-pompa akan diaktifkan untuk mengalirkannya ke sungai-sungai penyalur. Pertanyaannya: dengan kerja keras seperti itu, apakah Jakarta dijamin bebas banjir, setidaknya untuk tahun ini? Memang betul, banyak yang meramalkan ancaman banjir di Jakarta kali ini tak sehebat biasanya. Curah hujan diperkirakan normal-normal saja. "Tak akan sederas tahun lalu," kata Waan Tarmin, Kepala Humas Badan Meteorologi dan Geofisika. Lebih-lebih, Jakarta tahun ini diperkirakan tak masuk dalam siklus banjir besar 25 tahunan ataupun 100 tahunan seperti yang terjadi pada 1996. Ketika itu, Jakarta direndam air sampai dua meter. Debit air Kali Ciliwung melancar sampai 500 meter kubik/detik, rekor baru yang memecahkan debit 370 meter kubik/detik pada banjir besar 12 tahun sebelumnya. Toh, biarpun ancamannya tak cukup serius, bahaya banjir tetap mengintai. Pengamat tata ruang kota dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Abimanyu, yakin Jakarta tak akan bebas dari banjir. Yang digelar Pemda DKI cuma melancarkan aliran sungai. Selama sistem drainase tak dibenahi, aksi "gurah" massal ini akan sia-sia belaka. Abimanyu menunjuk urgensi pembangunan Banjir Kanal Timur sebagai syarat utama pengendalian banjir di Jakarta. Banjir Kanal Barat yang sekarang ini ada cuma bisa sedikit melindungi Jakarta Barat dan Utara. "Wilayah lain tak terjangkau," katanya. Cuma, untuk membangun Banjir Kanal Timur, dibutuhkan biaya besar. "Bisa sampai Rp 15 triliun," kata Leo Sianturi, salah satu pemimpin proyek Normalisasi Aliran Sungai. Biaya terbesar akan dilahap oleh pembebasan lahan. Diperkirakan, Banjir Kanal Timur membutuhkan lahan seluas 100 meter x 23 kilometer. Proyek yang sudah direncanakan sejak 1973 hingga kini terkatung-katung. Ancaman bakal makin besar jika kualitas hidup rakyat tak juga didongkrak. Kampung-kampung tiban akan tetap tumbuh subur. Dan seperti tenggorokan yang tercekik, sungai-sungai akan kembali menyempit. Banjir pun akan datang tanpa undangan. M. Taufiqurohman dan Dwi Arjanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Âİ 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus