Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Banyak calon yang muncul tanpa kita kenal, meskipun mereka memasang baliho besar. Rupanya, foto calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat di kertas suara baru muncul pada 1990. Adalah Menteri Dalam Negeri Rudini yang punya gagasan itu. Tempo mengulasnya dalam edisi 17 Maret 1990 pada artikel “Tak Cuma Sederet Nama tanpa Wajah”.
Rudini berharap dalam pemilihan umum tidak ada lagi calon anggota DPR yang mewakili suatu daerah tapi tidak mengenal permasalahan daerah yang diwakilinya, bahkan tidak dikenal oleh daerah pemilihan yang diwakilinya. Hal itu ia lontarkan dalam ceramahnya di depan rapat kerja nasional Departemen Pemuda Golkar di Jakarta.
Lebih jelas dia menginginkan daftar calon dalam Pemilu 1992 juga disertai foto calon yang bersangkutan. Maka, begitu melihat nama dan foto, para pemilih akan tahu reputasi calon wakil rakyat itu. Ini sama seperti dalam pemilihan kepala desa, pemilih secara langsung mengenal para calon mereka. Menurut Rudini, dalam pemilu selama ini, rakyat hanya melihat tanda gambar kontestan dan sederetan nama calon.
Tapi itu tak berarti ia menginginkan perubahan sistem pemilu dari sistem proporsional ke sistem distrik. Pemilu 1992, kata dia, tetap berdasarkan sistem perwakilan berimbang seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 mengenai Pemilihan Umum. Gagasan itu, menurut Mendagri—yang juga pembina politik dalam negeri—merupakan gagasan pribadi. Hal itu muncul setelah berkali-kali ia melihat masyarakat ternyata lebih sering mengadu ke Dewan Perwakilan Rakyat, tidak ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
“Alasan mereka, karena tidak mengenal para wakil di DPRD. Kalau begitu, lantas apa gunanya DPRD?” ucap Rudini. Kalau gagasan itu bisa dilaksanakan, Rudini yakin mutu para wakil rakyat bisa meningkat. Langkah kedua, para calon juga harus memiliki pengetahuan yang sesuai dengan tugasnya kelak. Misalnya kemampuan menilai Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. “Selama ini, Departemen Dalam Negeri masih harus selalu menatar para anggota DPRD,” ujarnya.
Rupanya, sasaran gagasan itu adalah para calon anggota DPRD. Adapun para calon anggota DPR, barangkali karena alasan politis, sementara cakupannya nasional, bisa dimaklumi bila mereka kurang mengenal permasalahan daerah. “Tapi, kalau anggota DPRD tidak tahu daerahnya, itu kan lucu,” kata Rudini.
Itu tidak berarti bahwa semua anggota DPR menguasai permasalahan dan dikenal oleh daerah yang diwakilinya. Contoh yang sering disebut ialah Hussein Naro, anggota Fraksi Persatuan Pembangunan termuda, yang mewakili Jawa Barat. Pencalonan putra Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan John Naro ini, menjelang Pemilu 1987, sempat mengundang protes karena ia dinilai “kurang layak” dan tidak dikenal warga Jawa Barat sendiri.
Kabarnya, daerah pemilihan Jawa Barat mencalonkan dia karena instruksi pusat. Menurut Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat PPP Ismael Hassan Metareum, sejak dulu usul calon datang dari daerah. “Tapi tidak sempurna karena di atas diubah,” ujarnya. Atau tiba-tiba ada perintah dari atas agar daerah mengusulkan orang tertentu—yang belum tentu mengenal dan dikenal oleh daerah yang diwakilinya. Meski begitu, Ismael menyetujui gagasan Rudini.
Bagi Partai Demokrasi Indonesia, gagasan Rudini itu bukan soal baru. Karena itu, PDI setuju dan akan menjadikan gagasan tersebut sebagai bahan masukan utama. Menurut Ketua Umum DPP PDI Soerjadi, sejak dulu pencalonan selalu datang dari bawah. Dalam rapat kerja cabang, diusulkan para calon untuk DPRD tingkat II. DPP hanya memberikan motivasi agar yang dicalonkan adalah tokoh terbaik.
Untuk tingkat I, aturannya juga begitu. Rapat kerja daerah menyusun calon anggota DPRD tingkat I dan DPR. Di pusat, dua daftar dari cabang dan daerah itu dijadikan bahan utama. DPP melihat pencalonan itu secara nasional dan harus mencerminkan 11 komisi di DPR. Kalau tidak cocok dengan usul daerah, hal itu dimusyawarahkan. Jadi dicek bersama-sama. “Terlepas dari kepentingan daerah, mereka juga harus menyadari kepentingan nasional.”
Wakil Ketua Komisi VII dari Fraksi Karya Pembangunan, Sis Hendrarwati Hadiwitarno, mengkritik gagasan Rudini. “Justru itu langkah mundur,” katanya. Perempuan kelahiran Jawa Timur yang besar di Jawa Tengah dan kini mewakili Timor Timur bersama tiga tokoh asli Timor Timur itu mengaku punya hubungan baik dengan masyarakat Timor Timur. Itulah mengapa ia diusulkan kembali menjadi calon anggota DPR.
Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi 17 Maret 1990. Dapatkan arsip digitalnya di:
https://store.tempo.co/majalah/show/cat/Majalah%20TEMPO/page/81
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo