Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa elemen radioaktif dapat diolah menjadi radiofarmaka untuk obat atau material terapi kesehatan. Para peneliti Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) mengembangkan radiofarmaka berupa obat pereda nyeri untuk penderita kanker menggunakan radioisotop Samarium-153.
Obat berkode Sm-153-EDTMP itu menjadi alternatif dalam terapi paliatif atau penghilang rasa sakit bagi penderita kanker. Para penderita kanker umumnya menggunakan obat-obatan analgesik untuk meredakan nyeri atau penghilang rasa sakit seperti morfin. Masalahnya, efek pengobatan konvensional itu tak bertahan lama. Penggunaan morfin malah bisa menimbulkan efek ketagihan.
Kepala Pusat Teknologi Radioisotop dan Radiofarmaka Batan Rohadi Awaludin mengatakan Sm-153-EDTMP memberi efek pereda rasa sakit lebih lama dibanding obat konvensional. Efek tersebut berlangsung dalam kisaran satu-dua bulan. “Dalam beberapa kasus dilaporkan bertahan sampai tiga bulan,” kata Rohadi dalam pesan pendeknya kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Isotop Radioaktif Pereda Sakit
Obat yang bisa meredakan nyeri dalam jangka panjang akan memudahkan pasien ketimbang menggunakan obat konvensional yang harus dikonsumsi setiap hari. Obat itu juga tidak menyebabkan penurunan kesadaran atau efek samping lain sehingga pasien bisa beraktivitas lagi. “Ada seorang pasien yang juga penari di Jawa Tengah setelah menggunakan pereda nyeri ini dapat menyalurkan hobinya menari kembali dengan baik,” ujar Rohadi.
Menurut Rohadi, penelitian dan pengembangan Sm-153-EDTMP dimulai pada 1998. Riset itu merupakan kelanjutan dari pertemuan internasional tentang radiofarmaka yang juga membahas radiofarmaka paliatif. Para peneliti Batan memilih Samarium-153 sebagai radionuklida terapi paliatif. “Memungkinkan untuk diproduksi di reaktor G.A. Siwabessy di Serpong, Tangerang Selatan,” katanya.
Batan bekerja sama dengan PT Kimia Farma untuk memproduksi obat tersebut. Pada 2016, Badan Pengawas Obat dan Makanan menerbitkan izin edar untuk radiofarmaka tersebut. Manajer Pengembangan Bisnis Organik Kimia Farma Wida Rahayu berharap radiofarmaka ini mampu bersaing dengan produk impor. “Yang terpenting ketersediaan produk dan stabilitas harga dapat dijaga,” ujarnya.
Meski punya efek meredakan rasa sakit yang lebih panjang, obat Sm-153-EDTMP tidak bisa disimpan dalam durasi lama. Obat itu harus segera digunakan setelah dibuat. Hal ini disebabkan oleh waktu paruh (laju penyusutan isotop menjadi setengah dari jumlah semula) yang pendek.
Radiofarmaka adalah senyawa kimia yang mengandung atom radioaktif dan digunakan untuk diagnosis atau terapi. Sediaan radiofarmaka bisa dibuat dalam bentuk kimia dan fisik yang diberikan secara oral atau injeksi langsung ke dalam pembuluh darah (intravena).
Penggunaan obat ini juga hanya bisa diakses di rumah sakit yang sudah memiliki fasilitas kedokteran nuklir. Di Indonesia, menurut Rohadi, ada 15 rumah sakit yang sudah memiliki fasilitas kedokteran nuklir, di antaranya Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Rumah Sakit Kanker Dharmais, dan Rumah Sakit Siloam Semanggi di Jakarta serta Rumah Sakit Kari-adi di Semarang. “Beberapa rumah sakit dalam persiapan. Semoga tahun ini fasilitas itu dapat dibuka,” katanya.
Efek pereda nyeri: 1-2 bulan
Dosis: Sesuai dengan petunjuk dokter, sekitar 50 miliCurrie (mCi) untuk pasien dewasa
Isotop Samarium-153
Waktu paruh: 46 jam
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo