Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berubah-ubahnya penjelasan polisi tentang dugaan penggunaan narkotik oleh politikus Andi Arief mudah mendatangkan curiga. Apakah polisi sedang melindungi Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat itu? Apakah Andi diincar dan dijelekkan, lalu lewat sebuah negosiasi, ia dibebaskan? Apakah penggerebekan ini terkait dengan pemilihan umum—mengingat Andi adalah pengkritik pemerintah yang keras? Agar kasus ini tidak berkembang menjadi fitnah, polisi harus menjelaskannya setransparan mungkin.
Polisi menggerebek Andi saat ia berada di Hotel Menara Peninsula, Jakarta, Ahad pekan lalu. Foto-foto penangkapan itu tersebar di media sosial keesokan harinya. Selain foto Andi, tersebar gambar suasana kamar—tempat tidur, meja dengan rokok dan alat pengisap sabu, toilet yang terjungkir, serta seorang perempuan. Polisi menyatakan Andi berusaha menghilangkan barang bukti sehingga petugas membongkar kakus di kamar itu. Aparat tak menampik informasi bahwa Andi bersama seorang wanita.
Sehari kemudian, polisi mengatakan sebaliknya: tak ada upaya penghilangan barang bukti dan tak ada perempuan. Polisi pun melepaskan Andi dengan alasan tak menemukan bukti narkotik meski ada bong, alat pengisap sabu, di kamar hotel. Dianggap hanya pengguna, Andi dilepaskan. Tapi, berselang sehari, keterangan polisi berubah lagi. Menurut polisi, di kamar Andi ada seorang perempuan. Belakangan, di pelbagai grup WhatsApp, beredar surat yang dikeluarkan Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta yang menyebutkan urine Andi tidak mengandung zat adiktif. Padahal, tak lama setelah penggerebekan, polisi menyatakan urine Andi tercemar narkotik.
Polisi hendaknya tidak main-main. Narkotik adalah problem serius yang mesti ditangani dengan serius pula. Menjadikan narkotik sebagai alat negosiasi merupakan laku tercela. Polisi harus menolak jika ada pihak lain yang meminta mereka menggunakan kasus ini sebagai alat tawar-menawar politik.
Polisi mesti memastikan dan menindak penyebar foto-foto penggerebekan itu. Aparat memang membantah telah menyebarkan gambar-gambar tersebut. Tapi seharusnya operasi penggerudukan hanya diikuti penyidik Kepolisian RI—tidak ada orang lain. Dengan kata lain, tuduhan bahwa polisi sendiri yang menyebarkan foto itu sangat masuk akal. Divisi Profesi dan Pengamanan Polri selayaknya turun tangan untuk mencari dan menindak mereka yang terlibat.
Polisi semestinya belajar dari penanganan perkara dugaan percakapan mesum pemimpin Front Pembela Islam, Rizieq Syihab, dan teman perempuannya, Firza Husein. Konstruksi perkara yang dibangun lewat isi percakapan runtuh karena polisi tak bisa membuktikan tuduhan dan menunjukkan kesahihan bukti. Seperti senjata makan tuan, tuduhan berbalik ke korps baju cokelat, yang dianggap melakukan kriminalisasi dan pembunuhan karakter.
Dengan informasi yang simpang-siur, langkah polisi melepaskan Andi Arief pun menjadi kontroversial. Berdasarkan Surat Edaran Kabareskrim SE 01/II/Bareskrim tertanggal 15 Februari 2018 dan Undang-Undang Antinarkotik, pengguna narkotik cukup direhabilitasi.
Perkara Andi Arief merupakan pertaruhan polisi. Mereka harus independen dan profesional dalam menangani perkara yang melibatkan politikus partai—di tengah pertarungan politik pemilu yang sedang panas-panasnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo