NITISEMITO. Wiraswasta pribumi kelahiran Kudus ini memulai
usahanya sebagai pemilik warung kopi. Sambil melayani
langganannya, sebagai selingan Pak Niti juga melinting rokok
klobot. Ternyata banyak langganannya yang kecanduan rokok
lintingan pemilik warung kopi itu.
Kemudian nasibnya dicoba lewat rokok klobot. Warung kopi
ditinggalkannya. Maju lagi sctapak, Pak Niti mengusahakan rokok
kretek. Maju pelahan-lahan. Dan ketika berusia 56 tahun, dia
benar-benar berhasil. Sebuah pabrik besar telah berdiri. Tahun
1930 adalah tahun hokkie baginya. Dan selama tujuh tahun
berikutnya, rokok kretek Tiga Bola dan Oto Sedan diproduksi dua
juta batang sehari.
Enam ribu buruh bekerja di sana. Nitisemito jadi kebanggaan dan
simbol sukses dari wiraswasta pribumi. Kini, bekas pabriknya di
Kudus, paling tidak tembok panjang yang memagari seluruh bekas
kompleks pabrik rokok Tiga Bola masih tampak. Nitisemito telah
lama meninggal, tetapi keberuntungannya masih sering dibicarakan
orang. Sementara itu, sebuah jam besar di masjid Kraton
Surakarta masih hidup. Jam tersebut adalah hadiah Nitisemito
kepada Raja Paku Buwono X.
Saudagar rokok lainnya yang berhasil di Kudus ialah H.A. Ma'ruf,
walaupun tak sesukses Nitisemito. Ma'ruf menamakan rokok
buatannya Djambu Bol, merek yang didapatnya lewat mimpi. Buah
jambu ini -- seperti juga buah-buah lainnya -- kalau mulai
berbuah tak pernah putus. Buah bisa berarti bejo yang artinya
keberuntungan. Berdasarkan kata bejo (bedjo), timbul kemudian
berbagai merek rokok dengan awal huruf dj seperti Djalu,
Djagung, Djadi, Djarum, dan sebagainya.
Tetapi betulkah huruf dj membawa keberuntungan? Hal ini bisa
dilihat dari terkenal tidaknya rokok-rokok tersebut. Tetapi
dalam peringatan 40 tahun berdirinya Djambu Bol pada 1977, ejaan
dj ini telah diganti menjadi j. Pesta ulang tahun itu
menghabiskan biaya sekitar Rp l00 juta itu --setiap tamu
mendapat hadiah kipas, korek dan rokok yang semuanya mempunyai
lambang jambu. Kuburan H.A. Ma'rut yang besar, mewah dan penuh
ukiran lambang jambu di dekat pabrik dan rumah keluarganya,
hingga kini masih banyak dikunjungi orang untuk minta berkahnya.
Pasaran rokok kretek ini banyak beredar di Sumatera Selatan dan
Lampung.
Pendiri pabrik rokok Kaki Tiga dan Moeria, Tan Tjip Siang, di
tahun 1921 mendapat merek rokoknya lewat mimpi setelah ia
berziarah ke makam Sunan Muria di Gunung Muria.
Ketika pulang dari ziarah, Tjip Siang tiba-tiba ingin memakai
tongkat. Rupanya wangsit telah turun, yaitu tongkat sebagai kaki
yang ketiga. Juru kunci kuburan Sunan Muria memang telah
berpesan, ilham pertama yang muncul di benak adalah petunjuk
dari Sunan Muria. Sedangkan merek Moeria, nama gunung, dipakai
karena orang Tionghoa percaya bahwa gunung adalah sumber
kemakmuran.
Merek rokok lainnya adalah Djarum yang dikelola Oei Wie Gan
(juga dari Kudus). Tidak jelas huruf dj (dari Djarum) adakah
juga meniru kesuksesan Djambu Bol. Tetapi menurut pengakuan anak
Wie Gan yang mengelola perusahaan keluarga itu, merek itu
dipakai karena sang ayah gemar memain-mainkan jarum gramopon
meskipun ada yang mengatakan bahwa merek Djarum didapat karena
bertapa.
Bukan hanya Kaki Tiga atau Djarum yang didapat lewat ilham
setelah berziarah ke makam yang dianggap keramat atau bertapa.
Ong Hok Liang dari Surabaya pada 1930, berziarah ke makam Gunung
Kawi. Sepulangnya dari gunung itu, Hok Liang bermimpi ada orang
yang memberinya sekeranjang talas yang dalam bahasa daerah
disebut juga bentul. Dan akhirnya muncul merek Bentoel.
Cina Maupun jawa
Sementara itu, pabrik rokok merek Dji Sam Soe yang didirikan
Liem Seeng Tee pada 1913 di Surabaya, semula hanya berbentuk
industri rumah tangga. Seeng Tee lebih banyak memakai mitologi
campuran untuk disain bungkus rokoknya. NV Sampoerna yang
memproduksi rokok ini, pada 1964 berubah menjadi PT (Perseroan
Terbatas). Orang Cina maupun orang Jawa percaya, angka tertinggi
adalah 9. Karena itu Djie Sam Soe berarti pula deretan
angka-angka 2, 3 dan 4, yang kalau dilumlah menjadi 9. Tapi tak
diungkapkan mengapa angka 9 itu terdiri dari 2, 3 dan 4 dan
tidak misalnya 1, 3 dan 5.
Masih bersaudara dengan Dji Sam Soe, adalah rokok kretek
Wismilak (yang berasal dari ucapan wish me luck), juga memakai 9
buah bintang pada bungkusnya.
Dalam menentukan warna bungkus rokok berkaitan dengan arah (mata
angin) untuk memasarkannya. Warna-warna hijau dan putih yang
menunjukkan arah barat, berarti harus dipasarkan ke
daerah-daerah arah barat pabrik -- misalnya, Bentoel Manalagi I,
Bentoel Ali, Wismilak.
Rokok kretek yang sedang top sekarang ialah Gudang Garam di
Kediri. Semula, berasal dari rokok Sembilan Tiga yang berdiri
pada 1949. Pada 1956 terjadi perpecahan dalam perusahaan. Tahun
I958, Wiyono Wonowijoyo (d/h Tjoa Ing Hwie) memproduksi rokok
kretek merek Gudang Garam dengan gambar gudang garam dan rel
kereta-api. Nama Gudang Garam diambil dari gudang garam
sungguhan yang pernah dibeli Wonowijoyo.
Kini setahun tidak kurang dari 4,5 milyar batang rokok
diproduksi pabrik ini ditambah 265 juta batang klobot. Tenaga
yang dipekerjakan sekitar 2 5.000 pegawai -- 90% di antaranya
adalah wanita.
Shio Tikus
Pabrik rokok Gudang Garam juga memiliki tiga buah helikopter.
Kota Kediri dan sekitarnya, hidup dari pabrik ini. Di kota ini
pula tampak berseliweran merek-merek mobil mewah yang sering
tidak tampak di Jakarta. Setiap pagi kereta-api penuh mengangkut
pekerja-pekerja Gudang garam yang tinggal di sekitar Kota
Kediri. Cukai yang diserahkannya kepada pemerintah mencapai
jumlah Rp 3,5 milyar setiap bulan.
Sukses rokok Gudang Garam tak luput dari berbagai cerita. Kata
empunya cerita, pada 1972 ketika Gudang Garam mulai memproduksi
rokok berfilter, pabrik ini telah memanggil seorang teknisi
asing. Salah seorang staf Wiyono Wonowijoyo mengantar tenaga
ahli ini keliling pabrik. Dari deretan gudang yang, satu ke
gudang yang lain, sampailah mereka di satu gudang yang tidak
pernah dipakai.
Tapi setelah gudang itu dibuka, ruang besar itu ternyata dihuni
oleh ribuan tikus yang agaknya memang sengaja dipelihara.
Kabarnya, Ing Hwie alias Wonowijoyo lahir dari shio (angka
kelahiran) Tikus. Orang dari shio ini menurut kepercayaan
sebagian orang Tionghoa, tidak bisa sukses dalam dunia niaga,
kecuali bila ia juga memelihara tikus. Karena itu, demikian
menurut cerita, Tjoa Ing Hwie, pemilik Gudang Garam, memuja
ribuan tikus. Semakin banyak jumlah tikus peliharaannya, semakin
menumpuklah kekayaannya.
Betulkah hal-hal mistik membawa keberuntungan? Tidak jelas. Tapi
umumnya pabrik rokok menjadi besar hanya pada generasi keluarga
pertama saja. Begitu dikelola oleh generasi kedua, pabrik jadi
menyusut atau bangkrut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini