MAYOR Jenderal Suharjono, Direktur Jenderal Pos dan
Telekomunikasi, dalam keterangannya kepada pers telah menantang
surat kabar The New York Times untuk menyebutkan lebih lanjut
nama-nama pejabat Indonesia yang diberitakan tersangkut dalam
soal penyuapan dan kickback dari Hughes Aircraft Corporation,
dalam hubungan pembelian perlengkapan satelit Palapa. Dalam
pernyataan persnya itu Jenderal Suharjono juga mengatakan, bahwa
karena berita yang dimuat suratkabar Amerika itu dia telah
banyak menghabiskan waktunya yang berharga memikirkan hal itu,
dan perhatiannya teralihkan dari persiapan dan perencanaan
peluncuran Palapa II.
Kalau Menteri Perhubungan Emil Salim mengatakan bahwa persoalan
ini harus dihadapi dengan "kepala dingin", maka Domo Pranoto,
wakil juru bicara DPR, dalam wawancaranya dengan pers
mengatakan tidak heran lagi akan pemberitaan The New York Times.
Dikatakannya bahwa ada kemungkinan motip politik di belakang
pemberitaan itu (tapi Domo Pranoto tidak bersedia menjelaskannya
secara terperinci). Dikatakannya pula, mungkin ada hubungan
antar pemberitaan Newsweek, suratkabar The New York Times dan
tuntutan sipil atas diri Ibnu Sutowo di sebuah pengadilan di New
York.
Memang apa yang dikatakan kebebasan pers di Indonesia ("bebas
tapi bertanggung jawab"), lain dengan kebebaan pers di Amerika
Serikat. Misalnya saja wartawan dan reporter di Amerika tidak
usah takut-takut kalau pemberitaannya akan menyinggung "perasaan
seseorang atau "kestabilan politik", kata "menghambat
pembangunan nasional. Fungsi pers di Amerika seringkali
dikatakan secara singkat dan populer as a wacthdog atau sebagai
adversary dari pemerintah (walaupun dalam berita penyogokan
Palapa rupa-rupanya The New York Times tidak pilih bulu, apa
itu pemerintahnya sendiri atau pemerinaht orang lain).
Dengan berfungsi sebagai watchdog atau adversary itu, pers di
Amerika mencoba mencari dan mengorek-ngorek ketidak-beresan yang
terjadi di pemerintahan dan di masyarakat atau dengn kata lain
mencoba menegakkan kebenaran (the truth, bukan versi vested
interest atau versi "resmi"). Reporter-reporter muda Woodward
dan Bernstein dari The Washington Post begitu gigih dalam
investigative reporting mereka bukan dengan tujuan untuk
"menjatuhkan" Presiden Nixon. Tapi untuk mencari siapa-siapa
sebenarnya yang berada di belakang layar pembongkaran kantor
Partai Demokrat di komplek apartemen Watergate.
Bahwa hasil penyelidikan mereka itu akhirnya membuat Nixon
mengambil keputusan mengundurkan diri (dan bukannya Woodward dan
Bernstein yang mengundurkan diri atau "diundurkan") adalah
contoh dari tradisi kebebasan pers di Amerika. Dan secara tidak
langsung Nixondengan pengunduran dirinya itu mengakui
kesalahannya menyalahgunakan kekuasaan dan tentu lebih baik
mengundurkan diri secara terhormat dan menerima pensiun penuh,
daripada dipecat Kongres dan tidak dapat apa-apa. Hanyalah
dengan pardon dari Presiden Ford pengusutan lebih lanjut
terhadap Nixon dihentikan, jadilah dia pensiun di San Clemente
dan bukannya di San Quentin.
Balik kepada persoalan pemberitaan penyuapan yang dimuat The New
York Times, saya kira terlalu berlebih-lebihan kalau setiap
berita mengenai pejabat-pejabat Indonesia di pers luar negeri
yang dianggap "negatif", langsung dianggap tidak benar dan
dikomentari: "Ah, ini tentu ada motif politiknya". Apakah tidak
lebih baik diadakan introspeksi dan diselidiki sendiri lebih
dulu apa yang dikatakan itu benar atau tidak. Di Jepang
misalnya, berita skandal Lockheed yang dimulai di pers Amerika
dilanjutkan oleh pemerintah Jepang sendiri, sampai membuat
Tanaka dipenjarakan.
Suratkabar The New York Times walaupun punya motto "all the
news that fit to print" dan biasanya hanya membuat berita atas
dasar fakta yang kuat, tidak luput dari kemungkinar. membuat
kesalahan. Dan kalau ternyata berita mengenai
penyuapan-penyuapan pejabat-pejabat Indonesia tadi ternyata
tidak benar dan hanya "bermotif politik" belaka, tuntutlah
suratkahar ini di depan pengadilan atas dasar slander atau
defamation. Ini tidak sulit dilakukan. Hubungi saja kantor
pengacara (lebih baik yang terkenal dan punya reputasi menang)
di New York misalnya, dan selanjutnya serahkan saja ke tangan
mereka untuk mengumpulkan bukti-bukti penuntutan.
Dan ada baiknya kalau penuntutan tadi tidak hanya terbatas pada
suratkabar The New York Times. Karena majalah bulanan Harper's
dalam edisinya bulan Desember 1976 telah memuat satu artikel
dengan judul The Business of Buying Friends oleh Jim Hougan,
seorang contributing editor majalah tersebut. Tapi janganlah
hendaknya kita hanya mampu memberikan reaksi yang simplisistis
dan emosionil, seperti sang Ratu dalam cerita kanak-kanak si
Puteri Salju:
Oh, mirror, mirror on the wall
Who is the fairest of them all?
Dan berkepinglah sang cermin, setelah memberikan jawaban: Snow
White my Queen.
Jawaban yang bermotif politik?
A. MUCHLIS ALIMIN
100 Hitt St
Columbia, Mo. 65201.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini