DENGAN dukungan penonton yang luber, 'The Duke Aces' dari Jepang
meninggalkan bekas antap di Teater Tertutup TIM -- 7 dan 8 Juni
yang lalu. Kwartet vokal yang menganut irama jazz ini duta dari
negeri matahari terbit yang sengaja diutus Japan Foundation
membawa misi kebudayaan ke seantero negara ASEAN.
Dipimpin oleh Tani Michio (lahir 1935, suara bariton), Duke Aces
dijaga oleh awak yang secara individuil tangguh. Mereka adalah
Taniguchi Yasumasa (34 tahun), tenor, tukang makan. Yoshida
Kazuhiko (43 tahun), tenor kedua yang paling genit dan banyak
fans wanitanya, sehingga mendapat julukan 'Ketua Para Wanita'.
Makino Yoshitaka (43 tahun), bersuara bas, pendiam dan serem
tetapi simpatik. Dan akhirnya Kataoka Yasuhiko sang pianis yang
sebenarnya punya kwartet jazz sendiri. "Kami hanya pakai satu
piano, sebab kalau band penuh anggaran belanjanya kurang," kata
Michio-san.
Hanya dengan modal piano kwartet tersebut sempat memukau para
penonton, lantaran kekompakan dan tehnik paduan suara yang
tinggi. Suara mereka mengeram dan melontar dari perut,
mengingatkan kita pada teknik suara para pendeta dalam kuil yang
kemudian menjadi dasar olah vokal teater tradisionil Jepang.
Suara seperti ini keras-pejal dan memberi kesan magis. Warna
inilah yang menyebabkan kwartet ini tetap dapat mempertahankan
bulu Jepangnya, meski mereka sudah berpakaian dan bergaya
seperti penyanyi klub malam made in USA.
Kurang Indah
Dimulai dengan lagu Tie A Yellow Ribbon Round The Old Oak Tree,
mereka melepas serangkaian lagu berbahasa Inggeris yang sudah
tidak asing. Misalnya Feelings dan Green Green Grass of Home.
Mereka menyanyi dengan tenang, yakin dan sopan sekali. Lagu-lagu
Swing Down Charriot, Turkey March, In The Evening By The
Moonlight, muncul dengan pengolahan cermat dan teliti. Tani
Michio menyanyi dengan penuh kendali meskipun kadang-kadang
sempat juga mengembangkan tangan dan melemparkan sebelah kakinya
ke depan. Dalam hal ini Yoshida Kazuhiko yang bertampang paling
lumayan muncul sebagai gula-gula -- sehingga bukan hanya suara
mereka bisa dinikmati, tapi juga penampilan.
Duke Aces telah menerima Hadiah Festival Kesenian Jepang (1955)
yang merupakan hadiah tertinggi di bidang penampilan panggung.
Keulungannya sekarang hanya bisa dikuntit oleh 'The Dark Ducks'
yang merupakan salah satu kelompok kakap di Jepang pula Duke
Aces memiliki perbendaharaan lebih dari 1000 buah lagu -- tidak
terbatas jazz. Mereka juga menyanyikan lagu anak-anak, lagu
rakyat dari seluruh dunia, negro spirituil, lagu pop dan lagu
ciptaan sendiri. Sayang sekali malam penampilan itu tidak
memamerkan lagu jenis terakhir itu. "Lebih enak kan kalau orang
lain yang nulis, kita yang nyanyi," kata mereka kepada Bachrun
Suwatdi dari TEMPO.
Selain rapi, akurat dan berdisiplin, grup ini juga punya
kelebihan menirukan suara binatang. Termasuk babi, ayam, lembu,
anjing, burung, sapi, kodok. Yoshida Kazuhiko sendiri sempat
menirukan suara terompet dalam lagu Carravan. Semuanya mereka
tampilkan sebagai ramuan penyegar yang membuat pertunjukan
atraktif dan komunikatif. "Kami hanya meniru suara-suara itu
dari film. Tiap orang hanya bisa meniru beberapa jenis suara,"
kata Michio menjelaskan. Mereka memang tidak bermaksud menjadi
tukang sulap, mereka hanya mencari bumbu.
Setelah masa jedah, empat sekawan itu muncul mengenakan baju
batik untuk menyanyikan lagu-lagu Jepang. Mereka juga tahu diri
pada tuan rumah, lalu menyanyikan lagu Bengawan Solo Gesang. Ini
bukan basa-basi saja: Bengawan Solo memang banyak dikenal di
Jepang. Pada akhir penampilan, karena keplokan seru penonton,
mereka terpaksa muncul lagi menyanyikan lagu Indonesia Nona
Manis Siapa Yang Punya dalam terjemahan sana. Toh penonton masih
geregetan, sehingga mereka tambah lagi. Waktu itulah terdengar
My Way yang merupakan kunci yang meyakinkan.
Duke Aces luar biasa bersih. Inilah agaknya yang pantas dicatat:
bahwa kebersihan itu kemudian menimbulkan ketegangan. Teknik
sangat menonjol. Sebagai kwartet Duke Aces ampuh, tapi terlalu
dicekik kendali. Sehingga meskipun penampilannya mantap toh
masih kurang indah. Mungkin temperamen Jepang yang sangat joto
disiplinnya itu sebenarnya agak sulit untuk jazz -- yang titik
tolaknya justru improvisasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini