Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Dicekik kendali

Tani michio pimpinan kwartet vokal mengadakan pertunjukan di teater tertutup tim. mereka main dengan modal 1 piano, kekompakan & tehnik paduan suara yang tinggi. utusan japan foundation. (ms)

17 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN dukungan penonton yang luber, 'The Duke Aces' dari Jepang meninggalkan bekas antap di Teater Tertutup TIM -- 7 dan 8 Juni yang lalu. Kwartet vokal yang menganut irama jazz ini duta dari negeri matahari terbit yang sengaja diutus Japan Foundation membawa misi kebudayaan ke seantero negara ASEAN. Dipimpin oleh Tani Michio (lahir 1935, suara bariton), Duke Aces dijaga oleh awak yang secara individuil tangguh. Mereka adalah Taniguchi Yasumasa (34 tahun), tenor, tukang makan. Yoshida Kazuhiko (43 tahun), tenor kedua yang paling genit dan banyak fans wanitanya, sehingga mendapat julukan 'Ketua Para Wanita'. Makino Yoshitaka (43 tahun), bersuara bas, pendiam dan serem tetapi simpatik. Dan akhirnya Kataoka Yasuhiko sang pianis yang sebenarnya punya kwartet jazz sendiri. "Kami hanya pakai satu piano, sebab kalau band penuh anggaran belanjanya kurang," kata Michio-san. Hanya dengan modal piano kwartet tersebut sempat memukau para penonton, lantaran kekompakan dan tehnik paduan suara yang tinggi. Suara mereka mengeram dan melontar dari perut, mengingatkan kita pada teknik suara para pendeta dalam kuil yang kemudian menjadi dasar olah vokal teater tradisionil Jepang. Suara seperti ini keras-pejal dan memberi kesan magis. Warna inilah yang menyebabkan kwartet ini tetap dapat mempertahankan bulu Jepangnya, meski mereka sudah berpakaian dan bergaya seperti penyanyi klub malam made in USA. Kurang Indah Dimulai dengan lagu Tie A Yellow Ribbon Round The Old Oak Tree, mereka melepas serangkaian lagu berbahasa Inggeris yang sudah tidak asing. Misalnya Feelings dan Green Green Grass of Home. Mereka menyanyi dengan tenang, yakin dan sopan sekali. Lagu-lagu Swing Down Charriot, Turkey March, In The Evening By The Moonlight, muncul dengan pengolahan cermat dan teliti. Tani Michio menyanyi dengan penuh kendali meskipun kadang-kadang sempat juga mengembangkan tangan dan melemparkan sebelah kakinya ke depan. Dalam hal ini Yoshida Kazuhiko yang bertampang paling lumayan muncul sebagai gula-gula -- sehingga bukan hanya suara mereka bisa dinikmati, tapi juga penampilan. Duke Aces telah menerima Hadiah Festival Kesenian Jepang (1955) yang merupakan hadiah tertinggi di bidang penampilan panggung. Keulungannya sekarang hanya bisa dikuntit oleh 'The Dark Ducks' yang merupakan salah satu kelompok kakap di Jepang pula Duke Aces memiliki perbendaharaan lebih dari 1000 buah lagu -- tidak terbatas jazz. Mereka juga menyanyikan lagu anak-anak, lagu rakyat dari seluruh dunia, negro spirituil, lagu pop dan lagu ciptaan sendiri. Sayang sekali malam penampilan itu tidak memamerkan lagu jenis terakhir itu. "Lebih enak kan kalau orang lain yang nulis, kita yang nyanyi," kata mereka kepada Bachrun Suwatdi dari TEMPO. Selain rapi, akurat dan berdisiplin, grup ini juga punya kelebihan menirukan suara binatang. Termasuk babi, ayam, lembu, anjing, burung, sapi, kodok. Yoshida Kazuhiko sendiri sempat menirukan suara terompet dalam lagu Carravan. Semuanya mereka tampilkan sebagai ramuan penyegar yang membuat pertunjukan atraktif dan komunikatif. "Kami hanya meniru suara-suara itu dari film. Tiap orang hanya bisa meniru beberapa jenis suara," kata Michio menjelaskan. Mereka memang tidak bermaksud menjadi tukang sulap, mereka hanya mencari bumbu. Setelah masa jedah, empat sekawan itu muncul mengenakan baju batik untuk menyanyikan lagu-lagu Jepang. Mereka juga tahu diri pada tuan rumah, lalu menyanyikan lagu Bengawan Solo Gesang. Ini bukan basa-basi saja: Bengawan Solo memang banyak dikenal di Jepang. Pada akhir penampilan, karena keplokan seru penonton, mereka terpaksa muncul lagi menyanyikan lagu Indonesia Nona Manis Siapa Yang Punya dalam terjemahan sana. Toh penonton masih geregetan, sehingga mereka tambah lagi. Waktu itulah terdengar My Way yang merupakan kunci yang meyakinkan. Duke Aces luar biasa bersih. Inilah agaknya yang pantas dicatat: bahwa kebersihan itu kemudian menimbulkan ketegangan. Teknik sangat menonjol. Sebagai kwartet Duke Aces ampuh, tapi terlalu dicekik kendali. Sehingga meskipun penampilannya mantap toh masih kurang indah. Mungkin temperamen Jepang yang sangat joto disiplinnya itu sebenarnya agak sulit untuk jazz -- yang titik tolaknya justru improvisasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus