Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ramadan bagi Novarika Widowati adalah bulan yang paling menantang. Perempuan yang menetap di pinggiran Brussels, Belgia, ini sudah melewati Ramadan dalam berbagai musim: musim panas dan musim dingin. Menurut Novarika, berpuasa pada musim dingin terasa lebih berat karena perut lebih cepat lapar. "Kalau musim panas tantangannya lebih ke rasa haus," kata dia saat diwawancarai koresponden Tempo di Belgia, Asmayani Kusrini, pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia berkisah, pada tahun pertama menetap di Belgia, waktu berpuasa harus dijalani selama 18-20 jam. Itu berbeda dengan di Indonesia yang berpuasa sekitar 13 jam. Khusus Ramadan pada musim panas seperti saat ini, ia harus menahan lapar mulai pukul 03.00dan baru bisa berbuka pada pukul 22.00. Lamanya waktu berpuasa mendorong Ika mencari cara agar durasi beribadah tidak berjalan lama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berbekal informasi dari rekan-rekannya, Ika menemukan ada pemakluman bagi muslim yang berpuasa melebihi waktu normal. "Saya pernah mengikuti waktu Turki di mana waktu berbukanya jam 7 malam," kata perempuan berusia 42 tahun itu.
Namun pilihan itu tak berlangsung lama. Berawal dari menyantap makanan di sebuah restoran, Ika dan rekannya yang mengenakan jilbab ditegur sang pemilik yang berasal dari Maroko karena makan saat matahari belum tenggelam. Menurut dia, muslim Maroko tidak bisa menerima alasan Ika yang berpuasa mengikuti waktu Turki. "Muslim Maroko di sini disiplin dalam hal puasa," ucapnya.
Belajar dari peristiwa itu, Ika memutuskan mengikuti waktu puasa sesuai dengan tempat tinggalnya di wilayah Alsemberg, sekitar 20 kilometer dari pusat kota.
Dalam hal makanan, ibu empat anak itu menyatakan tidak mengalami kesulitan. Muslim di Belgia amat mudah menemukan makanan dan minuman yang halal. Menurut dia, daging halal banyak tersedia di toko-toko milik orang Maroko atau Turki.
Ragam bahan pangan dan sayuran pun mudah ditemui. Tak mau repot, Ika memilih untuk menyimpan persediaan makanan yang mudah dikonsumsi, seperti abon, ikan kaleng, bahkan mi instan sebagai menu sahur. "Selama puasa, soal makanan mudah disiasati," kata Ika, yang sudah menetap selama 10 tahun di Belgia.
Ketua Keluarga Pengajian Masyarakat Indonesia (KPMI) di Belgia, Baktiar Hasan, menambahkan, fajar dan waktu siang yang sulit dijelaskan melahirkan beberapa versi waktu berbuka puasa di kalangan ulama. Menurut dia, seseorang bisa mengikuti waktu di negara muslim terdekat atau jadwal puasa di wilayah di mana siang dan malam lebih jelas. "Saya pribadi berusaha puasa sesuai dengan wilayah tinggal," ucapnya.
Agar puasa tidak terasa berat, Baktiar menuturkan, perlu ada persiapan. Ia memilih melakukan puasa sunah sebelum Ramadan datang. "Untuk membiasakan tubuh beradaptasi," kata dia. Sedangkan untuk pilihan makanan, Baktiar banyak meneguk minuman dan mengkonsumsi pisang.
Selain Belgia, waktu berpuasa di Belanda juga panjang, yakni 19 jam. Namun Muhammad Fariz Isnaini-mahasiswa program doktoral dari Universiteit Amsterdam-tidak punya persiapan khusus menghadapi puasa tahun ini. Fariz, yang sudah menetap selama dua setengah tahun di Amsterdam, mengatakan berupaya menjaga kebugaran fisiknya dengan berolahraga. "Saya perbanyak minum, konsumsi buah, dan olahraga," ucap mahasiswa berusia 28 tahun itu.
Fariz mengakui tidak mudah berpuasa di negara yang memiliki waktu lebih panjang. Pendeknya waktu berbuka dengan sahur membuat tubuhnya kesulitan menerima makanan dalam waktu cepat. Meski demikian, ia tetap bisa melalui ibadah puasa selama sebulan penuh tanpa tergoda untuk membatalkannya walau cuma sehari. ASMAYANI KUSRINI | ADITYA BUDIMAN
Dari Urusan Tidur hingga Godaan Mata
Menjalani puasa di luar negeri memiliki tantangan tersendiri. Selain soal waktu, suasana lingkungan bisa menjadi ujian apalagi bila berada di negeri yang mayoritas tidak berpuasa. Ketua Keluarga Pengajian Masyarakat Indonesia (KPMI) di Belgia, Baktiar Hasan, mengatakan tantangan utama yang dihadapinya ialah mengatur waktu tidur.
Pria berusia 50 tahun yang menetap di kawasan Erpe Mere, Belgia, itu menuturkan, sulit mencapai target istirahat selama delapan jam. Dengan waktu berbuka pada kisaran pukul 22.00, Baktiar harus bangun untuk sahur sekitar pukul 03.00. Walau merasa kurang tidur, ia tidak mengalami masalah kesehatan. "Maksimal tidur hanya empat sampai lima jam," ucapnya.
Sedangkan di lingkungan kerja, Baktiar menyatakan, rekan kantornya sudah mengerti bila memasuki Ramadan. Menurut dia, sejumlah rekannya tidak makan di hadapan orang yang tengah berpuasa. "Kalau ditawari makan dan minum, saya tolak saja. Orang Belgia sangat menghargai prinsip orang lain," kata dia.
Adapun bagi Muhammad Fariz Isnaini, mahasiswa program doktoral dari Universiteit Amsterdam, tantangan terberatnya justru menjaga pandangan mata. Ia menuturkan, gaya berpakaian warga di Amsterdam lebih terbuka ketika memasuki musim panas. Jadi, menurut dia, harus pandai-pandai menjaga pandangan mata. "Banyak warga lokal yang berpakaian minim."
Sementara itu, Novarika Widowati menyatakan bahwa menjalani ibadah puasa di negeri asing memerlukan komitmen yang kuat dari anggota keluarga. Ibu dari empat anak itu menilai, ketika orang tua bisa memberikan contoh yang baik, anak-anak pun akan mengikuti.
Novarika menyatakan tantangan terberat yang dihadapinya ialah melihat buah hatinya berpuasa di tengah padatnya aktivitas sekolah. Kendati sudah membiasakan keempat anaknya berpuasa sejak kecil, Novarika masih merasa waswas dengan lingkungan luar.
Dua anaknya, Sathan, 16 tahun, dan Razan, 14 tahun, mau tidak mau mengikuti aktivitas yang sudah diatur sekolah. Tak sedikit teman dan guru-guru mempertanyakan dampak kesehatan bagi keduanya yang sedang berpuasa. "Saat olahraga, semua harus olahraga," ucapnya. ASMAYANI KUSRINI | ADITYA BUDIMAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo