Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta pemerintah melarang tayangan pertandingan Ultimate Fighting Championship (UFC). Lembaga swadaya masyarakat Islam ini mengharamkan pertandingan seni bela diri bebas tersebut lantaran mengandung unsur-unsur yang dilarang Islam. UFC yang identik merusak raga sendiri dan raga orang lain tak sejalan dengan perspektif syariat Islam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Adu ayam saja haram, apalagi adu manusia. Haram karena yang melakukan merusak dirinya sendiri dan merusak orang lain. Ini saja sudah bertentangan dengan tujuan syariat,” kata Wakil Sekretaris Jenderal MUI, Badriyah Fayumi dalam keterangan pada Ahad, 23 Juni 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hukum UFC menurut Islam
Syariat Islam membolehkan segala sesuatu yang bermanfaat bagi tubuh dan tidak membahayakan. Jika suatu olahraga bebas dari hal-hal yang diharamkan menurut syariat, maka mempraktikkannya adalah boleh dan dianjurkan jika ada faedahnya. Sebaliknya, olahraga menjadi haram apabila justru menimbulkan kerusakan atau bahaya bagi tubuh.
“Tubuhmu mempunyai hak atas dirimu,” sabda Nabi Muhammad Saw sebagaimana diriwayatkan Al-Bukhaari, dalam Kitab al-Sawm.
Dinukil dari jurnal Tinjuan Fikih Ekonomi Terhadap Penghasilan Profesi Atlit Olahraga Beladiri Tarung Bebas, tinju profesional seperti UFC menjadi ladang pencarian rezeki bagi beberapa orang. Kendati demikian, meskipun mencari rezeki merupakan bagian dari kewajiban, UFC bukanlah pekerjaan yang dianjurkan. Sebab, dalam praktiknya olahraga ini mengandung mudarat menyakiti diri sendiri dan orang lain.
Islam sebagai agama rahmat bagi seluruh alam atau rahmatan lil ‘alamin mengandung makna, bahwa setiap ajaran Islam mengajarkan dan memberi petunjuk perkara yang baik yang harus ditaati dan perkara buruk yang harus dijauhi, dan mutlak poin tersebut harus ditaati sebagai muslim. Oleh karena itu, Allah Subhana wa ta’ala melarang untuk menjerumuskan diri dalam bahaya dan keburukan.
“Dan janganlah jerumuskan dirimu pada kebinasaan,” sebagaimana firman Allah dalam Surah QS. Al Baqarah Ayat 195.
Allah juga memerintahkan kepada manusia agar berlaku baik dalam seluruh sikap dan tingkah lakunya. Berlaku baik dalam perbuatan berarti menjauhi segala perbuatan yang mengakibatkan ketimpangan, kerusakan dan kebinasaan. Hal ini jelas bertentangan dengan praktik dalam UFC yang mana demi meraih kemenangan harus menumbangkan lawan.
Bahkan tak jarang menyebabkan kematian. Sebuah majalah di Inggris pada Maret 1983, Huna London, melaporkan sebanyak 300 lebih petinju meninggal antara 1948 hingga 1983 akibat cedera yang dideritanya dalam tinju. Meski aturan UFC dewasa ini makin manusia, tapi hal itu tak menutup kemungkinan menyebabkan tewasnya petarung. Di Indonesia, tercepat lebih dari 30 petinju tewas dalam kurun 1948 hingga 2022.
Kematian adalah konsekuensi paling berat yang disadari oleh petinju bebas. Risiko serupa juga membayangi atlet lain seperti balapan. Tetapi konteksnya tentu berbeda dalam UFC yang mana mencederai lawan adalah dimaksudkan untuk menang. Artinya, jika petarung tidak mencederai lawannya, maka dialah yang akan dicederai. Hal ini jelas bertentangan dengan titah Rasulullah.
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain,” sabda Nabi Muhammad sebagaimana diriwayatkan Ibnu Majah, dalam kitab Al-Ahkam.
Memukul wajah, yang merupakan hal lazim dalam UFC, ternyata dilarang dalam Islam. Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Nabi Muhammad pernah bersabda: “Jika ada di antara kalian yang berkelahi, hendaklah ia menghindari (memukul) mukanya.” Larangan ini ternyata ada alasannya. Islam sangat menghargai wajah sebagai mahkota. Bahkan wajah seorang budak sekalipun.
“Suwayd bin Maqran al-Sahaabi mengatakan bahwa Nabi melihat seorang laki-laki menampar wajah seorang budak, lalu dia berkata, ‘Tidak tahukah kamu, bahwa wajah itu tidak dapat diganggu gugat?’” (HR. Muslim, 3/1280).