Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Elza Firdausi, 26 tahun, merasakan udara di tempat tinggalnya saat ini panas dan terasa kering. Sudah dua tahun ia tinggal di kota bernama Logan, negara bagian Utah, Amerika Serikat, bersama suaminya. Ramadan tahun ini adalah ketiga kali baginya dan kelima bagi suaminya menunaikan puasa di Negeri Abang Sam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Siang hari pun dirasakannya sangat panjang. Ia merasa hal itu menjadi tantangan tersendiri dalam menjalani ibadah puasa. Memang, kata Firda, puasa di Amerika Serikat memiliki waktu lebih panjang dibanding di Indonesia, yakni sekitar 17 jam. Karena itu, ia mengurangi kegiatan di luar ruangan dan aktivitas fisik yang melelahkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Satu hal yang pasti, Firda mengatakan, di AS semua kegiatan terasa normal tanpa perlakuan khusus seperti di Indonesia. Di Indonesia, sejumlah kantor biasa mengubah jam kerja atau kegiatannya selama Ramadan menjadi lebih singkat. "Restoran juga menutup jendela demi menghormati yang puasa," katanya kepadaTempo, 11 Mei lalu.
Bukan hanya puasa terasa panjang, mencari makanan halal juga sulit. Di kotanya, tak ada pasar atau restoran yang menjual makanan halal. Ia harus mencari daging dan produk halal lain di kota tetangga bernama Salt Lake City. Kota itu memang dikenal sebagai kota besar dan memiliki populasi penduduk muslim lebih besar dari Logan.
Namun, satu hal yang membuatnya gembira, Kota Logan-tempatnya tinggal itu-memiliki Islamic Center atau dikenal sebagai Logan Islamic Center (LIC) yang menjadi pusat berbagai kegiatan keagamaan untuk komunitas muslim. Lokasinya tidak terlalu jauh dari apartemennya dan dapat dijangkau dengan berjalan kaki selama 20 menit.
Firda menjelaskan, LIC merupakan pusat kegiatan komunitas muslim kotanya selama Ramadan. Mereka biasa mengadakan Ramadan Potluck Dinner yang diselenggarakan pengurus apartemen milik Utah State University bekerja sama dengan LIC. Kegiatan ini bertujuan memperkenalkan secara singkat mengenai Ramadan dan ibadah puasa kepada mereka yang datang.
Makanan akan disiapkan oleh penyelenggara, selebihnya dibawa secara sukarela oleh mereka yang datang. Ia melihat, dalam acara-acara di LIC, para warga nonmuslim juga ikut datang dan membantu terselenggaranya acara komunitas muslim.
Tahun lalu, kata Firda, acara Ramadan Potluck Dinner dibantu salah satu pengurus dari Gereja Later Day Saint. Mereka menyiapkan makanan utama dengan sangat berhati-hati dan menanyakan definisi makanan halal bagi muslim. Tak jarang, warga nonmuslim di kotanya juga membantu mempublikasikan acara yang diadakan komunitas muslim dan turut menghadirinya.
Firda bersyukur penduduk di kotanya sangat ramah dan ia tidak pernah mendapat perlakuan diskriminatif dari penduduk di sana.
Selain Firda, pengalaman lain disampaikan Ulfah Sakinah, yang pernah bersekolah selama satu tahun di Oshkosh North High School di Wisconsin, Amerika Serikat. Selama di sana, ia tinggal bersama dengan orang tua angkat dan sempat mengalami ibadah puasa Ramadan.
Orang tua angkatnya, Ulfah mengimbuhkan, bisa mengerti akan ibadah yang harus dijalaninya. Ia pun bertemu dengan komunitas muslim di sana dan diajak untuk ikut dalam kegiatan buka bersama. "Menunya spageti. Ada juga yang bawa masakan Timur Tengah," tuturnya kepadaTempo, 9 Mei lalu.
Soal waktu berbuka, baik Ulfah maupun Firda punya cara sendiri untuk mengetahuinya. Sebab, di sana tidak terdengar azan seperti halnya di Indonesia. Karena itu, Ulfah mengunduh sebuah aplikasi bernama Muslim Pro untuk mengetahui waktu azan. Adapun Firda mengunduh aplikasi bernama Athan, yang membantunya mengetahui waktu salat.
Konselor pertanian dari Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia, Chris Rittgers, mengatakan Ramadan memang dirayakan oleh komunitas muslim yang tinggal di AS, terutama di kota-kota besar seperti Washington DC, Chicago, dan Dallas. Ia mengungkapkan, di kota-kota besar di AS, bisa dipastikan terdapat masjid.
Chris menuturkan, komunitas muslim di AS biasa berkumpul dan membagikan makanan serta waktunya bersama keluarga dan kerabat. Ia juga mengatakan komunitas muslim biasa mengundang warga lain untuk meningkatkan nilai gotong-royong antarwarga. "Ini saling menghormati antar-umat beragama," kata Chris kepadaTemposaat ditemui pada 9 Mei lalu.
Bagi kota-kota yang tidak memiliki masjid, Chris berujar, mereka bisa bekerja sama dengan komunitas masyarakat setempat untuk memakai fasilitas umum yang bisa dipakai sebagai tempat berkumpul atau bekerja sama dengan gereja.
Yayasan-yayasan yang dibentuk oleh warga muslim di Amerika Serikat juga mengumpulkan mainan dan pakaian untuk anak kecil dan diberikan kepada orang kurang mampu selama Ramadan. "Kegiatan itu terjadi di semua komunitas muslim selama Ramadan." DIKO OKTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo