Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Agar si elang selalu siap terbang

Empat pesawat tempur F-16 pesanan indonesia akan tiba desember 1988. dan sisa pesanan akan tiba april 1990. biaya operasional sangat mahal. upaya menyiapkan awaknya dilakukan serius.

18 Maret 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EMPAT F-16 yang canggih milik TNI AU akan tiba di Indonesia, Desember nanti. Dan sisanya -- empat atau delapan, tergantung keuangan pemerintah -- akan tiba April tahun depan. Namun, persiapan menyongsong kedatangan pesawat tempur buatan AS ini sudah berlangsung cukup lama. Di antaranya adalah sebuah seminar dua hari oleh para ahli kesehatan penerbangan internasional di Jakarta akhir pekan lalu. Tak kurang dari 200 pakar berbagai negara pemilik F-16 hadir untuk bertukar pikiran. Maklum, F-16 memang memiliki sejumlah keunikan dalam pengelolaannya. "Pesawat ini memiliki kemampuan lebih tinggi daripada manusia yang mengawakinya," kata Menteri Pertahanan dan Keamanan L.B. Moerdani, yang membuka acara ini. Karena itu, sejumlah langkah harus dilakukan untuk mempersiapkan calon penerbangnya. Bagi Indonesia, ini masalah baru. Soalnya, konsep perancangan F-16 sangat berbeda dengan pesawat tempur sebelumnya. Karena itu, pihak TNI-AU, dalam hal ini Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Antariksa (Lakespra), belum mempunyai pengalaman. "F-16 mampu melakukan manuver hingga 9 G," kata Letnan Dua Penerbang Yudai Toto. Padahal, pesawat A-4 Hawk yang diterbangkan pilot berusia 27 tahun ini hanya mampu melakukannya hingga 7 G. Sedangkan andalan TNI-AU lainnya, F-5E Tiger, hanya mampu hingga 8 G. Semakin tinggi angka G berarti semakin lincah si pesawat tempur meliuk di udara. Alhasil, berarti semakin unggul dalam melakukan duel dengan pesawat lainnya, dengan catatan si penerbang tak kehilangan kesadarannya selama meliak-liuk itu. Pasalnya, semakin tajam dan cepat pesawat membelok, semakin besar G yang dialami penerbangnya. Bila mendapat gaya sebesar 9 G, berarti pilot merasakan seluruh benda -- termasuk bagian tubuhnya sendiri -- 9 kali lebih berat dari biasa. Karena itu, bila jantung tak kuat, darah bisa terkuras dari kepala menuju kaki. Bila kepala sang pilot kekurangan darah pembawa zat asam ini, ia dapat -- kehilangan kesadarannya. Dalam istilah medis, gejala ini dikenal sebagai GLC (G-induced Loss of Conciousness). Dan kecelakaan akibat GLC ini ternyata memang beberapa kali terjadi. Menurut G.W. Mc Carthy, pakar kesehatan penerbangan Angkatan Udara AS (USAF), cukup banyak pesawat F-16 yang mengalami kecelakaan karena kesalahan pilotnya. Sejak USAF menerima pemburu canggih ini pada 1975 hingga akhir 1988, tercatat 105 kecelakaan jenis ini yang mengakibatkan 33 pilot tewas. Mc Carthy meneliti 30 kasus yang terjadi secara teliti. Ternyata, 7 disebabkan oleh GLC, dan sisanya oleh disorientasi ruang alias SDO (Spatial Disorientation). Pilot yang terkena SDO, menurut dr. Suryanto dari Klinik Psikiatri Lakespra, "akan kehilangan orientasi arah." Jadi, ia tak dapat membedakan atas-bawah, kiri dan kanan. Serangan SDO ini umumnya terjadi karena di ketinggian sulit membedakan langit dan daratan. Misalnya, antara birunya langit dan laut. SDO juga dapat diakibatkan karena tak adanya titik fokus pandangan. Terutama dalam cuaca tak berawan atau remang-remang. Akibatnya, mata tak terfokus pada titik tak berhingga, melainkan pada posisi santai. Menurut Mc Carthy, SDO umumnya mulai terjadi dalam penerbangan ya'ng mudah. "Mungkin dalam keadaan jenuh atau bosan, hingga terus melamun," kata Suryanto. Celakanya, melamun sebentar dapat berakibat fatal. Sebab, F-16 adalah pesawat buru sergap pertama yang dirancang agar secara inherent tidak stabil. Ini berbeda dengan konsep pemburu sebelumnya, yang secara inherent stabil, yang juga digunakan dalam konsep pesawat penumpang. Pada pesawat penumpang, misalnya, diperlukan energi besar untuk mengubah posisi pesawat dari "stabil" menjadi "tak stabil", misalnya saat meliuk mendadak. Akibatnya, pesawat jenis ini kurang lincah melakukan olah gerak. Tapi bila kendali dilepas pilot, pesawat akan cenderung kembali ke posisi stabil, misalnya terbang lurus. Sebaliknya, pada F-16, energi justru dibutuhkan untuk menjaga pesawat pada posisi stabil. Ini tak mungkin dilakukan oleh pilot, sebab dalam satu detik diperlukan beberapa kali gerakan sayap dan ekor untuk menjaga pesawat terbang lurus. Karena itu, digunakan komputer untuk mengendalikan pesawat pada posisi stabil. Keunggulan F-16 harus didukung oleh ketahanan fisik pilotnya. Karena itu, calon penerbang F-16 harus betul-betul dipilih yang berfisik prima. Pemilihan ini tak mudah. Bayangkan, ketika TNI-AU mencari calon penerbang pada 1981, tercatat 2.000-an yang mendaftar. "Tapi yang diterima hanya 45," kata Yudai. Yang lulus ternyata hanya 37, dan cuma lima yang terpilih sebagai pilot pemburu pancargas seperti Yudai. Selain itu, kemampuan Lakespra untuk melakukan seleksi pun mungkin tak memadai lagi. Banyak perangkatnya yang setua lembaga yang didirikan tahun 1963 ini. Misalnya, alat penguji ketahanan GLC milik Lakespra ternyata hanya mampu menguji hingga 4 G saja. "Bisa dipaksakan lebih dari itu, tapi ini akan merusakkan alat," kata seorang pejabat Lakespra. Yudai Toto saja, yang merupakan satu dari 2.340 pilot yang pernah dites oleh Lakespra, cuma sempat diuji hingga 7 G. Sedangkan rekornya, 8 G, masih dipegang Kepala Lakespra Marsekal Pertama dr. Raman Saman. Jelas, masih di bawah kemampuan F-16 yang tahan 9 G itu. Yang perlu diperhatikan adalah soa latihan. Menurut majalah Jane Defence Weekly (JDW) diperlukan biaya lebih dar 12. juta rupiah untuk setiap jam terbang F-16. Dan seorang pilot pancargas biasanya terbang 15 sampai 20 jam dalam sebulan untuk menjaga kemahirannya. Masih ada beban lagi. Menurut JDW. biaya pemeliharaan dan perangkat pendukung sebuah F-16 milik USAF adalah sekitar 55 juta dolar AS, selama masa operasionalnya yang sekitar 20 tahun itu alias hampir tiga kali lipat harga pesawatnya. Namun, itulah agaknya biaya yan harus dibayar agar si elang canggih ini selalu siap terbang dan menyerang.Bambang Harymurti (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum