Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Islam itu islam

Kisah kiai sudrun dari mojoagung yang diwawancarai emha ainun najib. pendapat kiai tentang salman rushdie dengan bukunya "ayat-ayat setan". digambarkan kalau salman inferior di bidang seks & germo.

18 Maret 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RIBUT-ribut soal Salman Rushdie membuat saya kangen kepada Kiai Sudrun. Alangkah menarik kalau kiai sinting dari Mojoagung itu saya wawancarai. Ia antinorma, kurang tahu adat dan tata krama. Wajahnya kacau, meski istrinya jelita. Tak pernah pakai sandal, kalau masuk masjid tak cuci kaki dulu. Kencing di sembarang tempat. Untung, air kencingnya langsung sirna dari tanah dan udara. Ia tahu persis berapa duit di kantung kita. Suka menirukan apa yang kita pikirkan. Muncul di mana-mana bak pendekar bayangan yang mendemonstrasikan kesanggupannya, bebas dari jarak ruang dan rentang waktu. Suka menyanyi dan tertawa tanpa sebab. Suka menggoda orang, bahkan menteror mental, meskipun, alhamdulillah, masyarakat sekitarnya memiliki pola kearifan tertentu untuk memaafkannya. Yakni dengan cara menganggapnya gila. Lama sekali saya tak diludahi oleh Kiai Sudrun. Itulah hobinya kalau ketemu. Saya tidak tersinggung. Mending saya anggap ludah itu sebagai pertanda rezeki di esok hari. Dengan naik bis Millah, saya menuju rumahnya. Tapi baru saja kaki sebelah saya naik, puncratan ludah menyongsong wajah saya. Gila! Kiai Sudrun dia! "Mau wawancara, ya?" sapanya sambil tertawa cekikikan. Tawa yang sama sekali tak cocok dengan nada dan takaran kata-katanya. "Ya, Kiai," jawab saya, "Soal Salman Rushdie, apa pendapat Kiai?" Ia lebih cekikikan lagi, bikin semua orang di bis menoleh tak mengerti. "Kok tumben, tanya soal pendapat? Sejak kapan orang di sini boleh berpendapat?" "Ini soal luar negeri, Kiai, tidak apa-apa berpendapat." "Mendadak kamu dan teman-temanmu menjadi empu soal kemerdekaan berpendapat, ya? Soal fakta di kampungmu sendiri, kamu diam terus. Soal imajinasi orang planet, kamu riuh rendah dan memamerkan kearifan." "Terserah apa pendapat Kiai tentang kami. Tapi soal Ayat-Ayat Setan itu bagaimana?" Tiba-tiba saja kami sudah tak berada di bis lagi. Kami berjalan menuju rumahnya. "Salman Rushdie itu zakarnya bengkok dan sejak muda selalu mengalami ejakulasi dini ...." "Itu sanepa, Kiai? Metafor?" saya memotong. "Tidak. Itu benar-benar. Begitulah hasil penglihatan batin saya. Penglihatan batin itu faktual, beda dengan imajinasi. Beda dengan khayal .... " "Tapi sama subyektifnya, Kiai," saya memotong lagi. "Subyektivitas itu sah, dijamin undang-undang. Tapi kata-kata saya tentang Salman itu obyektif. Karena dia inferior di bidang seks, maka dia jadi bandar buntutan. Istrinya ia jual sebagai pelacur, digermoinya sendiri. Setiap lelaki silakan menyetubuhinya, asal wanita itu tetap menjadi milik Salman ...." Itu ngawur, Kiai!" saya memprotes, "dan lagi tidak sopan!" "Silakan menyensor pendapat saya, karena kamu bebas berpendapat bahwa sensor itu perlu. Bahkan kamu boleh berpendapat bahwa saya pantas dibunuh, tapi kata-kata saya tak bakalan bisa kamu sirnakan. Kata-kata saya sudah menjadi frekuensi dalam kosmos, menjadi bagian dari keabadian." "Tapi koran saya tak bisa memuat hasil wawancara yang demikian. Itu tidak etis, melanggar tata krama, mengancam toleransi, menghina privacy orang lain!" "Bodoh kamu," ia terus cekikikan, "Muatlah. Koranmu akan laris. Biar Salman nanti bikin sayembara berhadiah untuk membunuh saya. Kemudian orang lain akan juga membunuh Salman. Boleh saja. Bebas. Orang bebas berpendapat bahwa saya pantas dilenyapkan ...." Untung, segera saya ingat bahwa ini kiai kenthir. Segera saya belokkan pembicaraan, "Bagaimana membandingkan Ayat-Ayat Setan dengan Gatholoco, Dharmogandhul, atau Langit Makin Mendung?" Sambil kencing di pojok ruangan, Sudrun menjawab "Gatholoco itu dagelan orang frustrasi. Anggap gila saja. Juga kelep kultural Jawa kan luwes. Kalau Langit Makin Mendung itu tak salah apa-apa, kecuali bahwa ia diungkapkan. Seperti zakar kamu itu, jangan dikeluarkan dari celana di tengah jalan besar. Zakar itu suci, privat, kesucian dan hakikatnya terjaga dengan cara tak dipamer-pamerkan. " Saya betul-betul pusing. "Koran saya tak mungkin memuat kata zakar, Kiai! Pasti disensor oleh redaktur saya." "Lho, kan tidak menyinggung siapa-siapa. Tema zakar adalah tema tentang kesucian ciptaan Allah dan tentang peranti utama sejarah kemanusiaan. Tulisan tentang sesuatu yang menyinggung perasaan orang saja boleh dimuat demi kemerdekaan kreatif, kok malah soal zakar yang suci tidak boleh!" "Kiai," kata saya dengan nada yang lebih bersungguh-sungguh, "berbicaralah agak sedikit serius. Kasus ini menyangkut kepercayaan, iman, akidah, dan perasaan manusia. Kiai boleh kencing seenaknya, tapi hendaklah kita mengontrol lidah ketika berbicara tentang agama. Agama kita cintai sama dengan cinta kita kepada istri dan anak. Saya sungguh-sungguh tidak akan bisa memuat wawancara ini kalau Kiai ngomong seenaknya seperti ini ...." "Soal Ayat-Ayat Setan ini," suara keras Kiai Sudrun mengagetkan saya, "makin menunjukkan bahwa dunia tidak makin beritikad baik terhadap Islam. Iklim itu juga menaburi banyak kalangan kaum muslimin sendiri. Tak apa. Itu bukan urusan Islam. Islam itu Islam. Islam tetap Islam, tak pernah bergeser sedikit pun dari kebenarannya. Silakan orang di seluruh muka bumi membenci, mencurigai, atau bahkan meninggalkan Islam. Pengaruhilah dunia sehingga tak seorang pun lagi memeluk Islam. Hasilnya, Islam ya tetap Islam. Islam tak berubah karena disalahpahami. Islam tak menjadi lebih tinggi karena dicintai, dan tak menjadi lebih rendah karena dibenci. Silakan orang "curigation" terus kepada Islam, silakan menyelewengkan, silakan memfitnah, silakan memanipulasi: pada dirinya sendiri Islam tak pernah berubah. Laa raiba fiih, tak ada keraguan padanya. Kalau orang ragu, itu urusan dia-lah. Islam tak rugi. Islam bebas dari untung-rugi. Islam baqa kebenarannya: Manusia sajalah yang terikat untung rugi. Manusia sudah tiba di abad ke-20 yang mahacerdas. Mereka menentukan untung ruginya sendiri tanpa bisa menentukan nasib Islam. Islam tak pernah tertawa karena dinikahi dan tak pernah menangis karena dicerai. Islam tak punya kepentingan terhadap manusia, manusialah yang berkepentingan terhadapnya ...." Tiba-tiba lenyap Kiai Sudrun. Tiba-tiba pula saya berada di serambi sebuah masjid. Terdengar suara khatib berapi-api menginformasikan bahwa Muhammad adalah rasul terakhir -- seolah-olah ia dinobatkan menjadi nabi kemarin lusa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus