Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ahli Klimatologi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin dikukuhkan menjadi profesor riset bidang kepakaran iklim dan cuaca ekstrem pada Kamis, 25 April 2024, di Gedung B.J. Habibie BRIN.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam orasi ilmiahnya, Erma membahas ihwal cuaca ekstrem yang dipicu oleh kenaikan suhu global. Menurut dia, temperatur global per Februari 2024 naik 1,64 derajat Celcius. Kondisi ini dianggapnya sangat tinggi dan bisa memicu bencana hidrometeorologi serta memperparah kondisi iklim di beberapa wilayah, termasuk Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kenaikan suhu dan cuaca ekstrem dua hal yang saling berkaitan. Semakin tinggi temperatur yang ada, maka risiko terjadinya bencana akibat cuaca ekstrem semakin berpotensi juga," kata Erma saat ditemui Tempo usai pengukuhan.
Erma dikenal sebagai ahli klimatologi yang sering membagikan informasi iklim lewat media sosial X pribadinya. Tindakan ini dianggapnya berguna untuk meningkatkan kewaspadaan dan literasi masyarakat akan fenomena cuaca ekstrem yang berpotensi melanda wilayah Indonesia, jika tidak diantisipasi sedari awal.
"75 persen wilayah Indonesia diisi dengan perairan, namun dari riset yang saya temui, mitigasi dan pemantauan untuk fenomena iklim masih sangat minim di Indonesia. Artinya kita perlu meningkatkan alat dan sarana pemantauan," ujar Erma.
Ditambah lagi, kata Erma, pemahaman terkait interaksi antara komponen iklim yang memicu cuaca ekstrem di Indonesia juga masih sedikit. Kondisi ini membuat segenap pihak mengabaikan ancaman yang sudah menunggu di depan mata.
"Perlu adanya perbaikan akurasi model akan prediksi cuaca global, supaya lebih detail dan membantu masyarakat dalam pemantauan," ucap Erma.
Erma juga membahas tentang kemungkinan pemanfaatan kecerdasan buatan atau AI untuk pemodelan pemantauan cuaca ekstrem di Indonesia. Riset tentang ini sedang dijalankan Erma dan butuh waktu sekitar lima tahun lagi untuk menyelesaikannya.
"Dengan semakin akuratnya pemodelan prediksi cuaca, maka peneliti bisa memprediksi lebih akurat tentang fenomena iklim yang ada di Indonesia. Kita sedang mencoba memanfaatkan AI untuk hasil lebih akurat. Butuh waktu kurang lebih lima tahun masa penelitian untuk memakai sistem ini di Indonesia," ujar Erma.