Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Radio handy talky kini menjadi tumpuan kita, untuk warga Jakarta dan sekitarnya yang ingin menghadapi banjir. Di perumahan Vila Nusa Indah, Bekasi, yang berada di tepi Sungai Cikeas, warga bergiliran menyimak informasi banjir dari petugas pemantau di hulu sungai melalui radio komunikasi itu.
Bukan cuma Perumahan Vila Nusa Indah yang sedang memantau ancaman banjir. Seiring dengan datangnya musim hujan, ancaman bencana banjir merata di seluruh wilayah Jakarta dan sekitarnya, terutama di daerah aliran sungai. Untuk menghindari jatuhnya korban dan mengurangi jumlah kerugian, warga di sekitar aliran sungai urunan menyiapkan sistem antibanjir mandiri.
Sistem tersebut mulai dari sekadar menguping radio komunikasi hingga—seperti di Vila Nusa Indah—membangun pompa air. ”Bila debit air sungai mulai meluap ke perumahan, saya langsung menyalakan pompa,” kata Slamet, petugas yang menjaga pos pengendali banjir, kepada Tempo, Senin pekan lalu.
Di RW 02 Kampung Melayu, Jakarta Timur, warga mengandalkan radio komunikasi untuk memantau ancaman banjir. Informasi disirap dari petugas di pintu air Depok dan Manggarai, yang secara berkala menyampaikan informasi debit air Sungai Ciliwung. Jika petugas di Depok menyebut ketinggian air mencapai 200 sentimeter dan di Manggarai 72 sentimeter, warga RW 02 segera membunyikan alarm.
Tanda bahaya itu bukan berupa sirene. Pengurus RW meminta warga berkemas secara getok tular. Pengurus juga membongkar gudang dan mengeluarkan baju pelampung, tambang, dan mengembangkan ban mobil bekas.
Sistem peringatan dini yang disebarkan melalui radio komunikasi bekerja efektif meski agak merepotkan. Namun sebentar lagi kerepotan itu bakal berkurang. Informasi banjir bakal datang dalam bentuk pesan pendek di telepon seluler. Hal itu bakal terjadi jika Joko Windarto, dosen Jurusan Teknik Elektro Universitas Diponegoro, Semarang, sudah meluncurkan temuannya.
Joko membuat detektor dan penyebar informasi banjir via telepon seluler. ”Secara otomatis data elektronik sampai ke warga yang berada di tepi sungai atau pihak-pihak yang berkepentingan,” katanya.
Joko belum tuntas membuat alat ini. ”Butuh waktu satu tahun untuk menyusunnya,” kata Joko. Rencananya, alat itu bakal dijajal pada awal Januari 2007 di Sungai Garang, Semarang, yang kerap memuntahkan banjir bandang. Pengukur curah hujan bakal dipasang di daerah Ungaran, yang menjadi hulu Su-ngai Garang.
Pengukur curah hujan itu terbuat dari pipa baja berdiameter 20 sentimeter, ketebalan 2 sentimeter, dan tinggi 1,5 meter. Di dalamnya dipasang pelampung otomatis. Lantas peranti penerima data diletakkan di Bendungan Simongan di Kota Semarang.
Alat itu bekerja ketika hujan turun di daerah hulu. Air hujan ditampung tabung baja yang secara otomatis mengukur curahannya. Melalui alat pengendali mikro, data diubah ke dalam bentuk digital dan disampaikan ke penerima di Bendungan Simongan.
Data yang dikirim berupa pesan pendek. Dengan menggunakan sebuah program komputer, mereka menganalisis data. Curah hujan sekian mililiter akan berakibat pada kenaikan air sekian meter. Frekuensi pengiriman data dapat diatur menurut kebutuhan. Saat musim hujan, misalnya, bisa dilakukan setiap 30 menit.
Hasil analisis ini dikombinasikan dengan ketinggian air yang terukur di Bendungan Simongan. Di sini ketinggian air diklasifikasi ke dalam empat kategori: aman (di bawah 100 cm), siaga I (100-150 cm), siaga II (150-200 cm), dan awas (di atas 200 cm). Informasi tentang tinggi air itulah yang secara otomatis disampaikan ke warga melalui Internet dan telepon seluler.
Jika ketinggian air dalam kategori siaga I, informasi disampaikan ke telepon genggam ketua RW dan lurah di kawasan rawan banjir bandang. ”Jika siaga II, informasi disampaikan ke ponsel ketua RW, lurah, dan camat,” kata Joko, 42 tahun. Namun, jika statusnya awas, informasi akan disampaikan ke telepon seluler ketua RW, lurah, camat, dan wali kota.
Joko mengakui, alatnya membutuhkan dukungan infrastruktur yang memadai. Di lokasi Bendungan Simongan perlu dibangun antena telepon seluler untuk mengirim pesan pendek. Selain itu, diperlukan aliran listrik 100 watt.
Dia memperkirakan, dibutuhkan uang Rp 50 juta untuk menyiapkan semua peralatan. Namun, sekali dibangun, alat ini mampu bekerja lebih dari lima tahun. ”Asal setiap dua hari sekali dirawat,” kata Joko, yang menyiapkan alat ini untuk bahan disertasi program doktornya di Institut Pertanian Bogor.
Alat peringatan dini banjir otomatis seperti yang disiapkan Joko sebenarnya sudah dipasang di beberapa sungai di Indonesia. Proyek Induk Pelaksana Kegiatan Pengembangan Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane, Departemen Pekerjaan Umum, misalnya, telah memiliki alat yang biasa disebut telemetri ini sejak tiga tahun lalu. ”Alat ini mampu memprediksi berapa jam lagi air akan mencapai pintu air yang tersebar di sungai-sungai besar,” ujar Pitoyo Subandrio, kepala proyek telemetri itu.
Cakupan wilayah proyek induk ini meliputi kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, seluas 6.150 kilometer persegi. Ada empat sungai yang berada dalam lingkup proyek ini, yakni Ciliwung, Cisadane, Pesanggrahan, dan Sungai Bekasi. Menurut staf proyek itu, Teguh Triyono, di semua sungai itu telah dibangun 17 stasiun telemetri. Data dari stasiun itu dikirim melalui radio komunikasi ke kantor pusat. Di kantor proyek yang terletak di daerah Cawang, Jakarta Timur, itu kita bisa memantau data ketinggian muka air sungai secara real time di layar komputer.
Menurut Djoko Prakoso, Kepala Satuan Kerja Pengendalian Banjir dan Pengamanan Pantai, Departemen Pekerjaan Umum, dengan telemetri itu warga yang tinggal di sekitar sungai tersebut dapat bersiap-siap menghadapi banjir dengan lebih dini. Berdasarkan perhitungan, saat tinggi muka air di Katulampa, Bogor, mencapai 1,559 meter, limpahan air akan sampai di pintu air Ratujaya (Depok) dalam waktu 2,36 jam, dan di pintu air Sugutamu dalam waktu 4,3 jam. Untuk sampai pintu air Manggarai dibutuhkan waktu 14,54 jam.
Tinggi muka air juga dapat diprediksi. Saat di Katulampa mencapai 1,559 meter, di Ratujaya diprediksi 2,867 meter, dan di Manggarai diprediksi 10,73 meter. ”Prediksi ini memang bisa meleset, namun hitungannya tidak akan jauh berbeda,” ujar Teguh.
Petugas di proyek induk bekerja 24 jam untuk memantau telemetri. Hasil pemantauan itu secara berkala disebarkan ke petugas di posko-posko banjir dan pintu air melalui radio. Radio komunikasi inilah yang juga dipantau warga untuk mewaspadai banjir.
Untung Widyanto, Bandelan (Semarang), Siswanto (Bekasi)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo