Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Nyanyian dara lara merana

4 lagu ciptaan titiek hamzah (bekas pemain band dara puspita) termasuk katagori 10 terbaik dalam festival lagu pop tingkat nasional ix/1981, dari salah satu lagu tersebut (siksa) memenangakn grand prix.

26 September 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hatiku hanya semata dapat kulukis dalam nyanyian dan air mata Kuseret bebanku dan sunyi ke bunyi bahasa Kuminta irama dan kubawa dalam kehidupan. -- Legenda Cinta. LAGU itu, bersama liriknya, dibikin Titik Hamah (yang sejak masa kanak-kanak mencintai puisi dan sering menulis sajak untuk Si Kuncung) dalam Kernurungan. Tahun kemarin itu, selain Legenda Cinta ia juga menulis Letih. Dan puncaknya adalah Siksa. Inilah lagu yang memenangkan Grand Prix (hadiah pertama) festival Lagu Pop tingkat Nasional IX 1981. Sedang Kembara di Tepi Senja, dalam festival ini juga memperoleh predikat lain: The Most Outsanding Compostion alias juara kedua. Keempat lagu di atas semuanya masuk kategori 10 terbaik itu. Jadi 40% kejuaraan kali ini dia borong--tergolong hebat. Titik mengaku, keempat lagu itu lahir "di tengah keprihatinan"nya. Itu juga dikatakannya pada malam final festival tadi--yang berlangsung di Balai Sidang 12 September. Tak mengherankan jika lagu-lagu itu "keluar seperti tangisan. Dengan interval-interval", ujarnya kepada TEMPO. Resep Bob Dalam usia hampir 33 tahun, ibu empat anak perempuan ini tampaknya memang tengah berusaha melepaskan diri dari suatu tekanan. Apa persisnya, Titik segan berterus terang. Toh lirik-lirik lagunya sudah banyak bicara. Terutama tentang kekecewaan. Tapi ia juga mengatakan, produktivitasnya dalam mencipta belakangan ini karena "saya benar-benar lagi jatuh cinta". Mungkin itu berarti ada sesuatu yang telah ditemukannya--sesudah berontak. Berontak? Sejak kecil, anak bungsu dari delapan bersaudara yang pernah bercita-cita hendak jadi sastrawati itu sulit diatur. Ketika mulai tertarik musik, kelas 3 SD (di Surabaya), ia minta berhenti sekolah. Ingin masuk akademi musik di Yogyakarta. Orang tuanya bingung karena tak mungkin. Gadis kecil itu lantas belajar gitar pada sopirnya. Suatu hari, ia naik ke atap genteng rumahnya: menyanyi dan main gitar. Debu putih akibat letusan Gunung Agung yang ketika itu menutupi seluruh permukaan tanah dan atap-atap, "saya bayangkan sebagai ribuan penonton," katanya. Dan ketika berusia 8 tahun, ia beigabung dalam suatu grup band bersama Jopie Item. Selulus SMP ia drop out. "Sekolah cuma buang-buang waktu," katanya. Lantas gadis itu menyerap pengetahuan secara otodidak. Termasuk bidang musik yang akhirnya menyeretnya terus. Usia 15 tahun (1965) bersama teman-temannya mendirikan grup band cewek pertama di sini, 'Dara Puspita'-yang terkenal lewat lagu-lagu antara lain Surabaya (ciptaan Rachman A.), Marimari, Soal Asmara (Titiek Puspa), Pantai Pataya (Titik Hamzah). Sesudah mengembara 3 « tahun di Eropa-- terakhir 5 bulan di Belanda, sempat rekaman di Phillips--grup itu setiba di kampung halaman dibubarkan --awal 1972. "Sesuai dengan janji kami,'' tutur si pemain gitar bas. "Saya ingin kawin dan ingin punya anak." Perkawinan Titik memang segera dilangsungkan tak lama kemudian. Sembari kawin, Titik pun berikrar hendak menjauhkan diri benar-benar dari bunyi musik. Ternyata hanya kuat 2 tahun. Mulai 1975, "saya gila lagi. Saya banyak sekali menulis lagu," katanya. Banyak kegelisahan yang mendesak dalam dadanya. Dan itu tak cukup dipuaskan hanya dengan tiga bungkus rokok Dunhill sehari--kebiasaan yang baru kali itu muncul dalam hidupnya dan berlarut-larut. Dua tahun kemudian, "karena kerinduan saya pada grup band wanita," Titik memberikan sekitar 10 buah lagu pada grup Aria Junior. Tahun 1979, pemusik kelahiran Bukittinggi itu mencoba ikut festival lagu pop--dan tak beroleh hadiah apa-apa. Tapi keberuntungan kali ini sudah bisa menghiburnya. Dan terus terang, ia berharap salah satu lagunya diterima panitia World Pop Song di Tokyo --meski, katanya, festival Tokyo itu bukan target utama. Lagu-lagu Titik barangkali memang punya kemungkinan terpilih--walau seperti lagu-lagu lainnya, tak istimewa benar. Misalnya mengingatkan pada beberapa lagu orang lain. Terutama Kembara di Tepi Senja dan Letib--yang terakhir ini mirip sekali dengan satu nomor dari Carpenter. Siksa -- yang dinyanyikan Hetty Koes Endang dan Euis Darliah, memang terasa lebih 'bersih' dengan napas rock ala Dara Puspita. Satu hal yang harus dicatat, lagu-lagu yang masuk babak final festival kali ini hampir semuanya seakan dibikin berdasar "resep" yang pernah dikemukakan Bob Tutupolly. Yakni: bahwa untuk sukses di Tokyo, diperlukan bagian lagu yang harus diulang-ulang. Keberhasilan Ajie Bandi dengan lagunya Damai Tapi (ersang di sana--terpilih sebagai Outstandng Performance Pop Song, 1977 --disebut Bob karena lagu tersebut mengandung pengulangan-pengulangan yang bisa merangsang publik. Kini, hampir semua pencipta lagu memaksakan diri mengulang-ulang. Jika nanti salah satu lagu itu gagal lagi di Tokyo, agaknya Bob harus memberi resep lain. Atau dituding-tuding.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus