Hatiku hanya semata dapat kulukis
dalam nyanyian dan air mata
Kuseret bebanku dan sunyi ke bunyi bahasa
Kuminta irama dan kubawa dalam
kehidupan.
-- Legenda Cinta.
LAGU itu, bersama liriknya, dibikin Titik Hamah (yang sejak
masa kanak-kanak mencintai puisi dan sering menulis sajak untuk
Si Kuncung) dalam Kernurungan. Tahun kemarin itu, selain
Legenda Cinta ia juga menulis Letih.
Dan puncaknya adalah Siksa. Inilah lagu yang memenangkan Grand
Prix (hadiah pertama) festival Lagu Pop tingkat Nasional IX
1981. Sedang Kembara di Tepi Senja, dalam festival ini juga
memperoleh predikat lain: The Most Outsanding Compostion alias
juara kedua.
Keempat lagu di atas semuanya masuk kategori 10 terbaik itu.
Jadi 40% kejuaraan kali ini dia borong--tergolong hebat. Titik
mengaku, keempat lagu itu lahir "di tengah keprihatinan"nya. Itu
juga dikatakannya pada malam final festival tadi--yang
berlangsung di Balai Sidang 12 September. Tak mengherankan jika
lagu-lagu itu "keluar seperti tangisan. Dengan
interval-interval", ujarnya kepada TEMPO.
Resep Bob
Dalam usia hampir 33 tahun, ibu empat anak perempuan ini
tampaknya memang tengah berusaha melepaskan diri dari suatu
tekanan. Apa persisnya, Titik segan berterus terang. Toh
lirik-lirik lagunya sudah banyak bicara. Terutama tentang
kekecewaan. Tapi ia juga mengatakan, produktivitasnya dalam
mencipta belakangan ini karena "saya benar-benar lagi jatuh
cinta". Mungkin itu berarti ada sesuatu yang telah
ditemukannya--sesudah berontak.
Berontak? Sejak kecil, anak bungsu dari delapan bersaudara yang
pernah bercita-cita hendak jadi sastrawati itu sulit diatur.
Ketika mulai tertarik musik, kelas 3 SD (di Surabaya), ia minta
berhenti sekolah. Ingin masuk akademi musik di Yogyakarta. Orang
tuanya bingung karena tak mungkin.
Gadis kecil itu lantas belajar gitar pada sopirnya. Suatu hari,
ia naik ke atap genteng rumahnya: menyanyi dan main gitar. Debu
putih akibat letusan Gunung Agung yang ketika itu menutupi
seluruh permukaan tanah dan atap-atap, "saya bayangkan sebagai
ribuan penonton," katanya. Dan ketika berusia 8 tahun, ia
beigabung dalam suatu grup band bersama Jopie Item. Selulus SMP
ia drop out. "Sekolah cuma buang-buang waktu," katanya.
Lantas gadis itu menyerap pengetahuan secara otodidak. Termasuk
bidang musik yang akhirnya menyeretnya terus. Usia 15 tahun
(1965) bersama teman-temannya mendirikan grup band cewek pertama
di sini, 'Dara Puspita'-yang terkenal lewat lagu-lagu antara
lain Surabaya (ciptaan Rachman A.), Marimari, Soal Asmara
(Titiek Puspa), Pantai Pataya (Titik Hamzah).
Sesudah mengembara 3 « tahun di Eropa-- terakhir 5 bulan di
Belanda, sempat rekaman di Phillips--grup itu setiba di kampung
halaman dibubarkan --awal 1972. "Sesuai dengan janji kami,''
tutur si pemain gitar bas. "Saya ingin kawin dan ingin punya
anak." Perkawinan Titik memang segera dilangsungkan tak lama
kemudian.
Sembari kawin, Titik pun berikrar hendak menjauhkan diri
benar-benar dari bunyi musik. Ternyata hanya kuat 2 tahun. Mulai
1975, "saya gila lagi. Saya banyak sekali menulis lagu,"
katanya. Banyak kegelisahan yang mendesak dalam dadanya. Dan itu
tak cukup dipuaskan hanya dengan tiga bungkus rokok Dunhill
sehari--kebiasaan yang baru kali itu muncul dalam hidupnya dan
berlarut-larut.
Dua tahun kemudian, "karena kerinduan saya pada grup band
wanita," Titik memberikan sekitar 10 buah lagu pada grup Aria
Junior. Tahun 1979, pemusik kelahiran Bukittinggi itu mencoba
ikut festival lagu pop--dan tak beroleh hadiah apa-apa. Tapi
keberuntungan kali ini sudah bisa menghiburnya. Dan terus
terang, ia berharap salah satu lagunya diterima panitia World
Pop Song di Tokyo --meski, katanya, festival Tokyo itu bukan
target utama.
Lagu-lagu Titik barangkali memang punya kemungkinan
terpilih--walau seperti lagu-lagu lainnya, tak istimewa benar.
Misalnya mengingatkan pada beberapa lagu orang lain. Terutama
Kembara di Tepi Senja dan Letib--yang terakhir ini mirip sekali
dengan satu nomor dari Carpenter. Siksa -- yang dinyanyikan
Hetty Koes Endang dan Euis Darliah, memang terasa lebih 'bersih'
dengan napas rock ala Dara Puspita.
Satu hal yang harus dicatat, lagu-lagu yang masuk babak final
festival kali ini hampir semuanya seakan dibikin berdasar
"resep" yang pernah dikemukakan Bob Tutupolly. Yakni: bahwa
untuk sukses di Tokyo, diperlukan bagian lagu yang harus
diulang-ulang. Keberhasilan Ajie Bandi dengan lagunya Damai Tapi
(ersang di sana--terpilih sebagai Outstandng Performance Pop
Song, 1977 --disebut Bob karena lagu tersebut mengandung
pengulangan-pengulangan yang bisa merangsang publik.
Kini, hampir semua pencipta lagu memaksakan diri
mengulang-ulang. Jika nanti salah satu lagu itu gagal lagi di
Tokyo, agaknya Bob harus memberi resep lain. Atau
dituding-tuding.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini