Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Batu Kepala Arca di Taman Nasional Ujung Kulon Peninggalan Hindu Saiwa, Apa Artinya?

Kajian atas temuan objek diduga cagar budaya penting untuk menguak sejarah tentang Taman Nasional Ujung Kulon dulunya seperti apa.

26 Juli 2024 | 23.31 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Serang - Temuan objek diduga cagar budaya di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) Pandeglang, Banten, diperkirakan adalah peninggalan dari zaman Hindu Saiwa (Siwaisme), sekitar abad 7 Masehi. Temuan dipandang sangat penting secara arkeologi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Temuan tersebut di antaranya berupa dua kepala arca dan lima batu berbentuk pion serta temuan batu lulumpang. "Menunjukkan bahwa ada pengaruh awal dari budaya India di tanah Jawa dan itu ditemukan di Taman Nasional Ujung Kulon," ujar Guru Besar Arkeologi di Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ditanya usai Diskusi Kelompok Terpumpun yang diselenggarakan Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah VIII di Serang, Jumat 26 Juli 2024, Agus menjelaskan, agama Hindu Saiwa berkembang di Jawa bagian tengah pada abad ke 8. Sebelum itu, pengaruh budaya India sudah ada di Ujung Kulon.

Ujung Kulon mendapat pengaruh lebih awal karena letaknya dari sudut pelayaran memang akan disinggahi pertama oleh pendatang di tanah Jawa. "Dulu pelayaran itu bukan lewat Selat Malaka, tapi masih lewat pantai barat Sumatera, sehingga pelayar-pelayar kapal singgahnya di tanah Jawa bagian barat, di Pulau Panaitan dan Ujung Kulon," kata Agus menjelaskan.
 
Agus menuturkan, tempat tersebut ditinggalkan karena kurang ada pendukung, seperti penduduknya kurang, sehingga terjadi pergeseran dari wilayah Ujung Kulon ke arah timur. "Bergeser ke timur, lalu singgah di Pangandaran di Batu Kalde," katanya.
 
Dari Pangandaran, bergeser lagi ke timur sampai di tanah Jawa bagian tengah. Agama Hindu disebutnya lebih berkembang di lokasi ini. "Jadi kebudayaan itu bisa berkembang jika ada pendukungnya. Jika penduduknya tidak ada maka tidak bisa," kata Agus.
 
Diskusi itu menyepakati bahwa temuan objek diduga cagar budaya perlu diselamatkan dengan memindahkannya dari TNUK ke museum milik pemerintah daerah setempat. Selain itu, perlu dilakukan kajian lanjutan. 
 
"Program penyelamatan dan penelitian lanjutan ini memerlukan koordinasi yang lebih intensif dengan TNUK, BRIN, akademisi dan instansi terkait lainnya," kata Kepala BPK Wilayah VIII, Lita Rahmiati.
 
Kepala Balai TNUK, Ardi Andono, mengatakan membuka diri untuk kolaborasi dan kerja sama dengan BPK Wilayah VIII. Menurutnya, kajian juga penting untuk menguak sejarah tentang TNUK dulunya seperti apa, dan kenapa hingga saat ini budayanya sangat kental. Ini suatu tabir yang baru terbuka," kata dia. 
 
Diskusi itu dihadiri perwakilan dari Departemen Arkeologi UI, Balai Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), Program Studi Sejarah Universitas Tirtayasa (Untirta), Program Studi Sejarah UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, BRIN, dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Pandeglang.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus