Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Karnaval Kecemasan Garasi

Teater Garasi menyuguhkan proyek kolaborasi teater lintas negara Asia. Selain dari Indonesia, ada seniman asal Jepang, Sri Lanka, dan Vietnam.

7 November 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG nabi palsu mengenakan jubah putih dan bercelana panjang kuning sedang berkhotbah. Beriring tepuk tangan dan musik dari suara rekaman, juru selamat yang memakai topeng dan topi merah itu bermonolog selama hampir 45 menit. Dia mengumpulkan umatnya untuk mengabarkan ramalannya tentang suatu kehancuran. “Kita akan memasuki zaman yang mengerikan, zaman kegelapan. Seluruh cita-cita akan gagal,” tutur Gunawan Maryanto, aktor Teater Garasi yang memerankan nabi palsu itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sang mesias memprediksi masa depan yang suram itu dengan merujuk pada ramalan Joyoboyo, Ronggowarsito, Mama Lauren, juga Michel de Nostredame alias Nostradamus—peramal asal Prancis. Dengan latar gambar mirip mural, nabi jadi-jadian itu mengajak pengikutnya menjalankan ritual di masa kecemasan. Dia merapal mantra dari kitab Nostradamus. Seorang anggota umat mengikutinya hingga kesurupan. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertunjukan daring (online) berjudul The Messiah for Dummies itu merupakan bagian dari proyek kolaborasi teater lintas negara Asia, “UrFear Huhu and the Multitude of Peer Gynts”. Proyek yang diinisiasi sutradara Teater Garasi, Yudi Ahmad Tajudin, dan dramaturg Ugorn Prasad itu digarap sejak 2018. Mereka menjelajahi Larantuka, Nusa Tenggara Timur, hingga Shizuoka dan Tokyo, Jepang. Selama 2019, mereka menggelar serangkaian workshop dan pertunjukan seni di tempat-tempat itu. 

Arsita Iswardhani yang menampilkan karya berjudul How the Ghost-Worker is Dancing in Your Shoes. Dokumentasi Teater Garasi

Pada tahun ini, mereka batal menggelar pertunjukan secara langsung di Yogyakarta dan Jakarta karena pandemi Covid-19. Para seniman kemudian mengganti format pementasan yang biasanya langsung menjadi daring. Saat menyiapkan pentas itu, mereka lebih banyak berkomunikasi atau berinteraksi secara online, misalnya melalui aplikasi Zoom. “Menantang dan berat karena terbiasa berproses bersama atau ketemu langsung dengan seniman yang berkolaborasi,” kata Gunawan Maryanto. 

Pentas daring itu menggandeng seniman lintas disiplin Wok The Rock, yang bernama asli Woto Wibowo, untuk menggarap desain situs web. Dia merancang modular atau bangunan-bangunan yang terdiri atas berbagai ruang. Penonton tinggal memilih menonton pentas yang diinginkan dari layar. Bayangannya ketika menonton seperti orang yang sedang bermain blok Lego. 

Ada sepuluh karya seniman lintas negara yang ditampilkan secara daring sejak 31 Oktober lalu hingga 30 November nanti. Selain dari Indonesia, ada seniman asal Jepang, Sri Lanka, dan Vietnam. Dari Indonesia, selain Gunawan Maryanto, ada Arsita Iswardhani yang menampilkan karya berjudul How the Ghost-Worker is Dancing in Your Shoes. Arsita menyuguhkan karya yang berkisah tentang eksploitasi buruh perempuan rumahan yang bekerja untuk industri fashion terkenal yang menjual produknya di berbagai pusat belanja. 

Arsita menggelar pertunjukan selama empat jam melalui koreografi berbentuk gerakan kecil berjam-jam yang terus berulang. Dia ingin mengajak penonton mengamati nilai kerja buruh perempuan yang diisap industri fashion besar. Mereka bekerja seperti hantu untuk industri baju yang tidak banyak diketahui orang. 

Sebelum pentas, Arsita mendatangi dan mengamati para pekerja rumahan di Penjaringan, Jakarta Utara, yang bekerja untuk industri baju ternama tapi dibayar murah. “Saat pandemi, para buruh perempuan itu juga sepi pemesan,” tuturnya. Arsita juga menemui organisasi atau perkumpulan pekerja rumahan untuk bertanya tentang situasi para buruh perempuan itu. “Rupanya, mereka bekerja dalam situasi tanpa kontrak kerja yang jelas.” 

Ada pula karya M.N. Qomaruddin berjudul In Search of the Lost Favourite Song. Dalam karyanya itu, Qomaruddin dan imigran asal Sudan berbicara tentang kehidupan imigran. Sebelum pentas, Qomaruddin bertemu dengan komunitas pengungsi Sudan di Jakarta sebagai bagian dari riset karyanya. Lalu ada karya Andreas Ari Dwianto bertajuk Monopoly: Asylum Edition yang mengangkat kisah pengungsi dengan permainan monopoli yang interaktif bersama penontonnya. 

Penari asal Papua, Darlene Litaay, menampilkan karya berjudul Dance with the Minotaur yang mengeksplorasi gerak tubuh dan tatapan mata selama 25 menit. Lampu putih terang yang berputar terus menyorot Darlene yang menari. Gerakan dan tatapan mata Darlene seolah-olah menggambarkan bagaimana orang-orang Papua terus diawasi. Dalam pertunjukan itu juga muncul video orang-orang yang berlarian dan gonggong anjing. 

Proyek seni kolaboratif itu tak hanya menampilkan pentas teater, tapi juga menyuguhkan kolaborasi perancang suara dan direktur musik Yasuhiro Morinaga dan Nyak Ina Raseuki alias Ubiet dalam bentuk suara. Semua pertunjukan dalam proyek itu bertolak dari naskah Peer Gynt, karya pengarang drama asal Norwegia, Henrik Johan Ibsen. Ceritanya menggambarkan globalisasi pada abad ke-19. Penonton dibawa berimajinasi seakan-akan sedang mengupas bawang lapis demi lapis ketika menikmati setiap karya. “Benang merah dari semua karya itu adalah rasa takut dan kecemasan baru akibat makin tajamnya arus mobilitas dunia,” ucap Yudi Ahmad Tajudin. 

Yang menarik dari pertunjukan itu adalah interaksi antara penonton dan aktor yang sedang berpentas secara langsung atau live. Misalnya, dalam pentas daring pada Sabtu sore, 31 Oktober lalu, Gunawan Maryanto melibatkan penonton untuk menentukan pertunjukan hari itu. Gunawan mengajak penonton memilih kostum yang akan dia kenakan sebagai nabi palsu, dari penutup kepala, jubah, hingga celana. Gunawan juga meminta penonton memilih nama ruangan dan kitab. Misalnya ruangan mistis dan kitab rapal ramalan. 

Boleh dibilang penampilan Gunawan tidak kaku. Seperti biasa, ia memunculkan humor yang kontekstual dengan situasi hari-hari ini. Misalnya, dia menyebutkan banyak seniman yang banting setir menjadi penjual roti, lele asap, dan minuman secara online karena terkena dampak pandemi. Lalu aktor seperti dia berganti pekerjaan menjadi juru selamat atau nabi palsu. 

Pertunjukan daring bertajuk UrFear Huhu and the Multitude of Peer Gynts. Proyek yang diinisiasi sutradara Teater Garasi, Yudi Ahmad Tajudin dan dramaturg Ugorn Prasad. TEMPO/Shinta Maharani

Gunawan menjelaskan proses di balik karya tentang nabi palsu itu. Dia lebih dulu membaca sejarah nabi-nabi Nusantara. Indonesia menjadi tempat tumbuhya nabi-nabi baru. Dari hasil pencariannya dalam berbagai literatur, Gunawan menemukan ada sekitar 800 nabi baru sejak zaman kolonial. 

Menurut Gunawan, lakon juru selamat itu berhubungan dengan rasa takut manusia. Dalam suasana ketakutan, manusia menunggu mesias yang menyelamatkan dari ketakutan. Di Jawa, misalnya, orang mengenal Ratu Adil. Dalam naskah Peer Gynts, ada adegan saat Peer Gynts diangkat sebagai nabi ketika datang ke suatu tempat. Gunawan juga mengajak penonton memberikan kritik terhadap peran nabi palsu yang kerap muncul. “Apakah orang membutuhkan hero dalam situasi seperti sekarang,” ujarnya. 

Untuk menonton pertunjukan dalam website, penonton perlu membeli tiket agar mendapatkan username dan password. Tiket bisa digunakan untuk mengakses semua pertunjukan selama sebulan. Panitia membanderol harga tiket penonton lokal dari Rp 50 ribu hingga Rp 300 ribu. Sedangkan tiket penonton internasional dihargai US$ 15. Pertunjukan hanya dapat disaksikan pada jam atau jadwal yang telah ditentukan. Setiap karya dimainkan beberapa kali sesuai dengan jadwal yang tertera di situs. Format pertunjukan dibagi dua, yakni langsung dan rekaman. 

Tapi pertunjukan perdana pada 31 Oktober lalu itu tak berjalan mulus. Penonton yang telah mendapat tautan situs dan password sulit mengakses pertunjukan sesi Andreas Ari Dwianto, yang berbicara tentang pengungsi. Asisten Produser Multitude of Peer Gynts, Lusia Neti Cahyani, menyatakan ada beberapa problem teknis yang mengganggu penonton dalam menikmati pertunjukan itu. Panitia telah memeriksa sumber masalah itu dan mengatasinya. “Kami terus bersiaga untuk mengatasi masalah teknis,” kata Lusia.

SHINTA MAHARANI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus