Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LEWAT tengah malam kami mengetuk kamar 305 Hotel Patra Jasa Bali. Dari balik pintu hotel itu terdengar langkah pelan setengah diseret. "Silakan masuk," kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh, penghuni kamar itu, menyambut Heru Triyono dan fotografer Zul Eduardo dari Tempo, dua pekan lalu.
Nuh terlihat baru bangun dari rebahan. Matanya setengah mengantuk. Rambutnya yang beruban sedikit acak-acakan, tapi ia tetap bersemangat menjawab pertanyaan. "Banyak yang harus dijelaskan," ujarnya. Pagi sebelumnya dia baru melakukan inspeksi ujian nasional ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 241 Pulau Tidung, Kepulauan Seribu, Jakarta. Kemudian dia langsung terbang ke Bali untuk persiapan mengikuti Konferensi Open Government Partnership Regional Asia-Pacific.
Berbagai berita di media cetak dan elektronik tentang dunia pendidikan belakangan membuat Nuh jadi sorotan. Kecurangan dan soal berbau politik di ujian nasional, peserta ujian nasional yang bunuh diri akibat stres, sampai kasus sodomi terhadap siswa Taman Kanak-kanak Jakarta International School tak pelak menyudutkan sang Menteri.
Nuh menyesalkan pihak yang selalu mengkambinghitamkan kementeriannya atas kasus-kasus itu. Tapi ia mengatakan tidak gentar memiliki pendapat yang berbeda. Dia memaparkan berbagai persoalan pendidikan di ruang tamu kamarnya. "Jangan pakar saja dikutip. Jelek begini, saya juga profesor," katanya tanpa senyum.
Mengapa masih terjadi kebocoran jawaban ujian nasional (UN) meski sudah bertahun-tahun dilaksanakan?
Itu sindikat. Sedang diselidiki. Kami dukung langkah polisi untuk membongkar sindikat ini hingga ke akar-akarnya, karena telah meresahkan para siswa.
Siapa sebenarnya sindikat ini? Apakah ada guru atau lembaga bimbingan belajar yang terlibat?
Saya tidak tahu. Sekarang saya tanya, dari mana mereka mendapat naskah itu? Karena kami telah meminta bantuan polisi untuk mengamankan naskah ujian. Kalau ada guru yang terlibat, akan kami tindak tegas. Siswa juga jangan terprovokasi dengan kunci jawaban yang beredar.
Bagaimana standar pengamanan dan penyimpanan naskah UN?
Sudah sering saya undang media untuk mengikuti dari percetakannya seperti apa, distribusinya ke provinsi dan kabupaten, sampai sekolah. Itu semua dikawal polisi.
Di naskah UN tingkat SMP ada revisi yang dilakukan dengan membuka segel amplop soal. Bukankah pembukaan naskah hanya bisa dilakukan ketika ujian digelar?
Revisi itu tidak penting. Yang penting adalah, pada saat soal diberikan kepada anak, itu merupakan soal yang terakhir dan final.
Pertanyaan kami penting karena, jika segel amplop soal dibuka, artinya tidak lagi rahasia dan ada kemungkinan bisa bocor....
Tadinya, sebelum naskah itu jadi, juga tidak berada di amplop bersegel. Kenapa mereka tidak mempersoalkan itu? Sewaktu cetak tidak ada juga segelnya. Kalau ada salah cetak, kemudian diganti yang baru, apa salahnya? Yang tidak boleh itu, sudah dibagikan, terus ditarik. Itu baru salah.
Ujian ini memiliki banyak masalah. Kenapa UN tidak dihapus saja? Kelulusan serahkan kepada sekolah.
Sekarang UN tingkat SD (sekolah dasar) diserahkan ke provinsi atau ke daerah. Karena dibuat seperti itu, orang justru bertanya: bagaimana nanti standarnya kalau tiap kabupaten membuat soal sendiri? Kami sudah kompromi dengan mengkombinasikan nilai sekolah dengan UN.
Lalu kenapa UN untuk SMP dan SMA tidak dihapus juga?
Sampai sekarang belum ada ukuran yang bisa kita pakai untuk menggantikan UN. Coba pakai ukuran apa untuk mengetahui kualitas anak-anak kita secara nasional?
Kalau memang mereka mau masuk universitas, kan ada seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN). Toh, nilai UN tidak berpengaruh dalam menentukan orang diterima di jenjang berikutnya.
Tidak bisa, karena tidak semuanya ikut SNMPTN. Yang ikut ujian ke perguruan tinggi tidak sampai 1 juta siswa. Yang ikut hanya 780-an ribu dari 3 juta lebih siswa SMA.
UN tidak efektif menilai kualitas siswa karena mengabaikan proses belajar siswa selama tiga tahun. Hanya dalam tiga jam ujian nasib siswa ditentukan....
Berapa banyak urusan dunia yang ditentukan hanya dengan hitungan menit? Di sepak bola, kita kerja keras dari kualifikasi, hanya ditentukan lewat adu penalti. Tapi kita tidak akan bisa adu penalti kalau tidak ikut prosesnya. Dari situ pula mengapa kita masukkan kombinasi nilai UN dan nilai sekolah untuk menentukan kelulusan, agar fair.
Mengapa UN jadi momok bagi siswa?
Karena diciptakan. Dulu zaman saya ada ujian negara. Saat itu, kadang yang lulus cuma 50 persen, tidak ada yang protes. Sekarang, yang tidak lulus hanya 0,8 persen, yang protes banyak.
Setiap menjelang UN banyak sekolah menggelar istigasah. Sepertinya ada bencana yang datang.
Lho. Opo salahe dungo, sih (apa salahnya doa)? Opo salahe? Ini tidak berlebihan. UN itu dianggap sebagai satu perjuangan bagi mereka (siswa). Mereka harus berdoa. Apa harus kita ajak nyanyi ke diskotek? Bukan karena saya dari Nahdlatul Ulama, jadi suka istigasah. Tapi wajar sajalah. Masak, anak tidak boleh doa?
Ada pula siswa yang mengalami stres karena UN dan bunuh diri.…
Kalau Anda persoalkan itu, orang putus cinta juga ada yang bunuh diri. Apa kita terus dilarang jatuh cinta? Apa begitu logika kita berpikir? Tolong tempatkan pada tempatnya. Logika kita itu terlalu tendensius. Seakan-akan UN salah semua. Yang tidak boleh itu, ya, bunuh dirinya. Orang yang tidak stres performanya pasti jelek karena tidak punya tantangan.
Dalam UN tingkat SMP dan SMA kemarin, nama Joko Widodo disebut pada salah satu ilustrasi soalnya. Mengapa nama tokoh politik dipakai sebagai soal?
Itu soal dibuatnya tahun berapa? Kalau untuk UN 2014, itu dibuat Juni 2013. Kisi-kisi soalnya saat itu adalah siapa saja yang dianggap tokoh. Bisa pahlawan, tokoh, atau siapa pun. Saat itu, memang tidak dipertimbangkan karena tidak ada aspek politik juga dalam soalnya.
Jokowi juga merasa keberatan terhadap pencantuman namanya....
Dari esensi kalimatnya kan tampak bahwa tidak ada tendensi apa-apa. Publik yang mempersepsikan ini ada muatan politiknya. Kami sendiri tidak ada niat apa-apa. Tapi lagi-lagi, jika ditarik dari dimensi sensitivitas politik, memang jadi tidak sensitif karena di soal menyebut nama si A atau B atau si C. Ini bisa dipersepsikan ada politisasi. Saya pun tidak happy karena soal seperti itu memunculkan polemik.
Banyak pengamat pendidikan menilai kementerian Anda tidak kompeten dalam mengatasi masalah pendidikan....
Mereka itu jangan beraninya bicara di luar. Bicara di depan saya. Sudah kami ajak dalam konvensi UN 2013. Boleh debat di sana, tapi kan tidak berani. Terus di luar ngomel lagi. Itu tidak jantan. Kasihan anak-anak. Dikesankan kami ini bodoh semua. Kalau ada pendapat profesor, mesti benar. Jelek-jelek begini, saya juga profesor.
Setahun sudah penerapan kurikulum 2013 dilakukan. Apa manfaat yang terasa untuk siswa saat ini?
Kompetensi yang kami bangun di kurikulum ini adalah menggabungkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Pelajaran agama kami naikkan dari dua jam menjadi empat jam. Ini didasari fenomena tawuran, pedofilia, dan lain-lain. Sikap dan budi pekerti menjadi utama di kurikulum ini. Tapi ini pun juga dikritik. Katanya agama dua jam saja banyak teroris, apalagi empat jam. Padahal kurikulum ini sangat strategis karena melihat realitas.
Kurikulum ini diterapkan untuk semua sekolah di Indonesia?
Tidak ada yang namanya kurikulum itu untuk sekolah negeri atau swasta. Sekolah di Indonesia, yang di dalamnya ada orang Indonesia, ya kena kurikulum nasional.
Tapi, menurut temuan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jakarta International School (JIS) tidak mengajarkan pelajaran agama, bahasa Indonesia, dan PPKN?
Persoalannya tolong dipilah, antara persoalan izin penyelenggaraan dan perbuatan kriminal di sekolah itu. Tapi apa pun sekolahnya, ketika tidak bisa menjamin keamanan civitas yang ada di situ, harus ditindak tegas.
Mengapa JIS yang memiliki siswa Indonesia menyelenggarakan pendidikan tidak sesuai dengan kurikulum?
JIS sudah berdiri 20 tahun lebih. Saya tidak bisa memvonis bahwa mereka tidak sesuai dengan kurikulum. Harus saya cek dulu apa saja yang diajarkan. Jangan memutuskan hanya dengan katanya-katanya.
Banyak sekolah mengadopsi kurikulum negara maju dengan embel-embel sekolah internasional. Itu aturannya bagaimana?
Intinya, kalau di situ ada orang Indonesia, mereka wajib mengajarkan mata pelajaran PPKN, bahasa Indonesia, agama, dan sejarah. Di Indonesia ada 114 sekolah internasional dan sekolah diplomatik. Kalau diplomatik, siswanya orang asing semua. Seperti Japan School di Surabaya atau Korean School di Cipayung. Ada juga yang Prancis di Balikpapan. Kurikulumnya dari mereka. Kalau internasional, biasanya campur. Ada siswa Indonesia juga. Itu jelas harus ikut kurikulum nasional.
Polisi sudah mengantongi sejumlah bukti keterlibatan guru Jakarta International School dalam kasus pelecehan seksual....
Harus diusut tuntas kalau ada guru yang melakukan pelecehan nilai kemanusiaan. Saya tidak mau mengatakannya sebagai pelecehan seksual karena ini jauh lebih berat dari pelecehan seksual. Korbannya adalah anak-anak. Anak-anak belum mengerti seksualitas.
KPAI merilis data bahwa 87 persen anak mendapat kekerasan di sekolah yang dilakukan guru, wali kelas, petugas administrasi, dan anggota satuan pengamanan sekolah.
Saya baca data itu simpel. Dari jumlah itu, berapa yang terjadi di sekolah? Hitungannya bagaimana sehingga ketemu angka 87 persen? Pertanyaan tentang detail data itu yang tidak pernah diangkat. Orang cuma terperangah di angka itu saja. Jadi, kalau sekolah ada 1.000, berarti ada 870 sekolah yang murid-muridnya mengalami hal itu. Ini di sekolah atau terjadi pada usia anak sekolah?
Kementerian Pendidikan dinilai lembek terhadap Taman Kanak-kanak JIS yang beroperasi tanpa izin....
Memang dikesankan begitu. Biar saja. Kalau ada anak usia SD tewas atau kenapa-kenapa, semuanya ditimpakan ke Kementerian Pendidikan.
Apa sanksi yang diberikan Kementerian terhadap JIS?
Melarang dan tidak membolehkan JIS menerima siswa baru sampai waktu yang belum ditentukan. Itu berat. Sanksi yang sama diberikan untuk Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran, yang tidak patuh pada nilai-nilai akademis.
Mohammad Nuh: Tempat dan Tanggal Lahir: Surabaya, Jawa Timur, 17 Juni 1959, Pendidikan: S-3 Jurusan Signaux et System Universite Science et Technique du Languedoc, Montpellier, Prancis (1990), S-2 Jurusan Signaux et System Universite Science et Technique du Languedoc, Montpellier, Prancis (1987), Fakultas Teknik Elektro Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (1983), Karier: Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (2009-2014), Menteri Komunikasi dan Informatika (2007-2009), Rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (2003-2006), Guru besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (2004), Direktur Politeknik Negeri Surabaya ITS (1997-2003), Ketua Jurusan Teknik Elektronika Politeknik Negeri Surabaya ITS (1992-1993) |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo