Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Berebut Lahan Gambut di Rawa Tripa

Sengkarut lahan gambut masih terus terjadi hingga kini di Rawa Tripa, Kabupaten Nagan Raya, Aceh.

2 Juli 2018 | 15.55 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Banda Aceh – Bekas lahan terbakar masih terlihat di salah satu sudut Rawa Tripa, sebuah kawasan gambut yang terletak di Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya.

Baca: Pemetaan Gambut, BIG Pakai Metode Juara Indonesian Peat Prize

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Semak belukar tumbuh di atasnya, bersebelahan dengan hamparan sawit yang tumbuh besar dan yang baru ditanami oleh pemegang Hak Guna Usaha (HGU) PT Kalista Alam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Difasilitasi Walhi Aceh, Tempo bersama beberapa jurnalis lainnya diajak melihat kondisi terakhir kawasan tersebut, Senin pekan lalu. Kawasan lindung gambut itu masih terus dijarah untuk ditanami sawit, dan sengkarut lahan masih terjadi hingga kini.

Safrizal, aktivis Jaringan Masyarakat Gambut Aceh (JMGA) Nagan Raya, menghentikan mobil pick-up tepat di perempatan jalan dalam dalam area HGU Kalista Alam. Hanya bisa sampai di situ, karena jalan di depan dan sampingnya tak bisa dilalui kendaraan bermotor. Tanahnya lembek, ciri gambut yang belum mendapat pengerasan. Di selatan, kebun sawit sudah besar, sementara di utara dan timur baru ditanami.

Di bagian barat dan utara, ada lahan bekas Izin Usaha Perkebunan Budidaya (IUPB) seluas 1.605 hektare yang masih dalam sengketa pemerintah dan PT Kalista Alam. Lahan itu bermasalah hingga kini. Warga terus mencoba merambah karena jalan akses masuk sangat memadai.

“Lahan itu dikelilingi HGU milik PT Surya Panen Subur II di bagian utara dan barat. Di barat jauh sana ada laut yang dulunya ada perkampungan Kuala Sumanyam,” kata Safrizal. Sebagian lahan PT SPS pernah terbakar awal tahun 2012, bersamaan dengan terbakarnya lahan bekas IUPB Kalista Alam.

Lahan IUPB itu berpolemik sejak dulu, saat Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf memberikan izin usaha perkebunan pada 25 Agustus 2011 kepada Kalista Alam untuk memperluas area kebun sawit.

Aktivis lingkungan, salah satunya Walhi, kemudian mempersoalkan dan pada 27 September 2012, Irwandi mencabut izin setelah terjadi kebakaran lahan di sana. Pemerintah Aceh mengambil alih, tapi perusahaan terus menuntut secara hukum sampai kini.

Status lahan IUPB seluas 1.605 hektare itu semakin tak jelas. Kalista sudah telanjur menanam sawit pada lahan 200 hektare. Setelah beberapa putusan pengadilan termasuk Mahkamah Agung, pemerintah mengambil alih lahan tersebut, salah satunya untuk menjaga sawit yang telanjur ditanam. Sebagian warga yang lain mulai mengklaim lahan-lahan di sampingnya.

Keuchik (Kepala Desa) Alue Rambot, Hasan, mengakui warga ikut membuka lahan di sana. “Sebagian sudah ditanami, sebagian lagi dibersihkan,” katanya saat dikonfirmasi.

Menurutnya, warga tahu lahan itu sudah dikuasai negara. Mereka mengelolanya karena menilai juga berhak atas sumber daya alam di sekitar kampung mereka. Hasan sendiri tak berani melarang warganya yang tak mau jadi penonton saja.

Bekas Kepala Dinas Kehutanan Aceh, Husaini Syamaun mendapat mandat dari Pemerintah Aceh untuk menjaga kawasan itu, terutama pada area 200 hektare yang telah ditanami sawit. “Artinya menjaga, sambil memulihkan lahan yang dibakar menjadi hutan kembali,” katanya, Kamis 28 Juni 2018.

Koperasi bernama ‘Kopermas Sinpa’ dibangun pada awal 2015 dengan harapan menambah pendapatan daerah untuk mengelola sawit 200 hektare. Dokumen perjanjian pemerintah dengan koperasi ditandatangani langsung oleh Husaini Syamaun.

Menurutnya, kepentingan pemerintah menjaga dan mengamankan lahan supaya tidak dikuasai perorangan, mengingat potensi sawit yang telah ditanami pada areal 200 hektare. “Bisa saja warga nanti berebut di sana.”

Para anggota koperasi diberikan hak untuk mengelola tanaman pada area itu, dan tidak dibenarkan merambah di sekitarnya. Tetapi, Dinas Kehutanan yang melakukan pemantauan ke lokasi, menemukan kejanggalan. Tanaman sawit tidak dipelihara dengan baik.

Surat peringatan dilayangkan, tapi tetap saja tak berhasil. Dinas kemudian membatalkan perjanjian pada tahun 2016. “Tanggung jawab pengelolaan diambil alih kembali oleh dinas,” kata Husaini.

Setelahnya, lokasi yang jauh dari jangkauan pengawasan tersebut semakin tak terkendali. Menurut Safrizal, yang selalu memantau kawasan gambut Rawa Tripa, warga mulai saling klaim lahan di bekas area IUPB.

Warga bahkan tak tahu batas lahan, sehingga ada yang berusaha menanam sawit dalam HGU sah milik Kalista Alam. “Pemerintah perlu turun untuk melihat, mengawasi dan merapikan status kawasan itu,” harap aktivis gambut ini.

Pengamatan Tempo, beberapa batang sawit yang salah ditanami warga telah dicabut perusahaan karena masuk wilayah HGU-nya. Selajutnya perusahaan memasang plang nama di kawasan yang belum ditanami sawit oleh mereka.

Direktur Eksekutif Walhi Aceh, M Nur, mengatakan berdasarkan penelusuran Walhi, aktivitas perambahan dilakukan oleh masyarakat pada hampir seluruh wilayah untuk membuka lahan baru. "Pemerintah perlu melakukan pemantauan secara maksimal ke sana. Melihat kondisi riil dan selanjutnya melakukan perbaikan,”  ujarnya.

Menurutnya, saling klaim lahan bisa saja membuat konflik warga dengan warga maupun warga dengan perusahaan. Selain itu juga menghabiskan setiap jengkal lahan gambut di area itu. Dia sendiri berharap lahan bekas IUPB seluas 1.605 hektare itu dapat menjadi hutan kembali.

Terkait hal tersebut, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh, Syahrial, mengatakan pihaknya sedang mencoba menelusuri untuk menata kembali pengelolaan kawasan di daerah itu, termasuk untuk mengelola sawit 200 hektare yang terlanjur ditanami Kalista Alam sebelum sengketa dulunya. “Kami sedang mencari pihak yang serius untuk mengelolanya,” katanya saat dijumpai Kamis lalu.

Pemerintah Aceh, kata Syahrial serius menyelamatkan kawasan gambut yang tersisa di sana. Kawasan seluas 1.605 hektare itu masih sangat memungkinkan untuk dijadikan hutan kembali atau ditanami tanaman budidaya lainnya yang tidak mengganggu kawasan gambut.

Semangat ini juga disampaikan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, 10 Mei 2018 lalu, saat bertemu aktivis lingkungan di kediamannya. Tempo ikut serta dalam pertemuan tersebut. Dia berkomitmen untuk menjaga kawasan Aceh terhadap izin-izin perkebunan. “Jangan seperti Kalista Alam yang saya teken dulu, saya di-bully. Saya dulu tak tahu, karena kop surat lain,” katanya.

Belajar dari kesalahan itu, Irwandi mengatakan berusaha melakukan review dan evaluasi perkebunan kelapa sawit di lahan gambut Rawa Tripa, terutama yang sudah habis HGU-nya. “Yang masih ada izin, harus komitmen genjot  produksi.”

 

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus