Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MERAH Johansyah menemukan hal yang ganjil dalam cara PT Pertamina (Persero) menangani tumpahan minyak dari sumur YYA-1 milik Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ), yang telah berlangsung hampir sebulan ini. Keganjilan itu antara lain penghalusan istilah, tidak adanya keterbukaan informasi kepada publik, juga kegagalan memperkecil risiko keselamatan masyarakat akibat paparan pek atau bola-bola ter. “Pada kasus kebocoran minyak di Teluk Balikpapan yang terjadi 30 Maret 2018 , dalam beberapa hari sudah dirilis foto satelit, termasuk prediksi luas area yang tercemar yang mencapai 7.000 hektare,” kata Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional itu.
Menurut dia, tidak ada pernyataan resmi dan tertulis tentang angka dugaan tumpahan minyak mentah yang keluar dari sumur lama yang diaktifkan kembali itu. “Pertamina selalu mengatakan sumur YYA-1 memproduksi 3.000 barel minyak mentah per hari,” ujar Merah.
Angka itu mengingatkan Merah pada kasus kebocoran minyak yang paling mirip, Deepwater Horizon di Teluk Meksiko, Amerika Serikat. Saat itu, kata dia, BP memprediksi ada 1.000-2.000 barel minyak per hari yang keluar. “Ternyata, setelah diinvestigasi, jumlah totalnya mencapai 5 juta barel,” tuturnya. Semburan minyak itu berlangsung empat bulan empat minggu dua hari.
Bayu Satya, Presiden Direktur PT Oil Spill Combat Team (OSCT) Indonesia, membenarkan meledaknya anjungan Deepwater Horizon itu merupakan insiden tumpahan minyak di lepas pantai paling buruk dalam sejarah Amerika Serikat. Ledakan sumur Macondo pada 20 April 2010 itu menewaskan 11 awak anjungan dan melukai 17 lainnya. “Yang membedakan dengan ONWJ ini adalah adanya korban jiwa di Deepwater Horizon. Kalau minyaknya, sama saja, banyak sekali tumpahannya,” ucap Bayu, yang perusahaannya diminta membantu menanggulangi tumpahan minyak.
Bayu mengatakan, setelah tahu gelembung gas muncul di sumur YYA-1 pada 12 Juli, PHE langsung mengaktifkan OSCT. “Hari itu juga kami memobilisasi peralatan untuk mem-backup karena mereka wajib mempunyai peralatan penanggulangan tumpahan minyak sendiri,” kata Bayu saat ditemui di kantor pusat perusahaannya di Kwitang, Jakarta Pusat, Jumat, 26 Juli lalu. “Kami langsung menjalankan program trajectory model untuk mengetahui arah pergerakan tumpahan minyak pada waktu itu.”
Warga mengumpulkan tumpahan minyak di pesisir pantai Desa Cemarajaya, Karawang, Jawa Barat, 1 Agustus 2019./TEMPO / Hilman Fathurrahman W
Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati mengatakan perusahaannya masih berupaya mengambil seluruh minyak yang mengambang di laut agar tidak mengalir ke darat. Untuk itu, perusahaannya telah memasang lima unit perintang minyak (static oil boom) sepanjang 2.450 meter. Setelah dapat dikurung, minyak akan disedot dengan skimmer. Bayu menyebutkan pihaknya menurunkan dua unit giant octopus skimmer yang mampu mengambil minyak 400 ton per jam.
Memiliki rencana kontingensi tumpahan minyak dan bekerja sama dengan kontraktor bonafide ternyata tidak cukup bagi Pertamina untuk mencegah tumpahan minyak mencapai pesisir. Pertamina pun mempekerjakan para nelayan untuk mengambil tumpahan minyak di laut dan menyapunya dari pantai-pantai. Nicke mengatakan perusahaannya memberikan kompensasi Rp 500 ribu per hari kepada nelayan untuk membersihkan pek di laut dan di darat.
Jatam dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan mengkritik keras mobilisasi masyarakat ini. “Di Desa Cemarajaya, kami menyaksikan para nelayan bekerja mengumpulkan pek tanpa dibekali perlengkapan keamanan dan keselamatan,” ujar Merah sembari memperlihatkan video nelayan yang tengah menangguk minyak dari perahu tradisional menggunakan galah berjaring tanpa masker dan sarung tangan.
Vice President Corporate Secretary Pertamina Fajriyah Usman saat dimintai konfirmasi mengenai mobilisasi masyarakat dalam pelenyapan tumpahan minyak mengungkapkan, hal itu merupakan bentuk tanggung jawab perusahaannya sesuai dengan Pasal 2 ayat 3 Peraturan Presiden tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut. “ONWJ sebagai operator kegiatan pengusahaan minyak lepas pantai wajib menanggulangi sesegera mungkin keadaan darurat tumpahan minyak,” ujar Fajriyah melalui pesan WhatsApp kepada Tempo, Senin, 29 Juli lalu.
Fajriyah menegaskan mekanisme penanganan tumpahan minyak ini akan terus diperbaiki agar memenuhi aturan. Perbaikan itu terlihat ketika Tempo mengunjungi Pantai Pisangan di Desa Cemarajaya, Kamis, 1 Agustus lalu. Setelah tengah hari, tampak puluhan orang berbaju hazard putih dan sepatu bot hitam bekerja membersihkan pantai. Tapi kebanyakan pekerja tak memakai masker dan sarung tangan meski terpampang spanduk berisi peringatan wajib memakai alat pelindung diri.
Pembersihan Pantai Pisangan itu sepertinya sia-sia lantaran pek kembali muncul esok paginya. Menurut prediksi Bayu, paling cepat pembersihan selesai dua bulan lagi. Tumpahan minyak di perairan utara Karawang itu, menurut Bayu, berbeda dengan di Teluk Balikpapan, yang alirannya bisa dihentikan. “Selama sumurnya belum ditutup, minyak mentah akan terus menggelontor,” ucapnya.
Direktur Hulu PT Pertamina Dharmawan Samsu mengatakan sumur YYA-1 akan ditutup permanen dengan cara menginjeksikan semen melalui menara pengeboran baru yang dipasang dekat anjungan sumur. Penutupan diperkirakan berlangsung selama delapan-sepuluh pekan. Pertamina, kata Dharmawan, menggandeng Boots & Coots, perusahaan asal Houston, Amerika Serikat. Pada 2010, Boots & Coots melakukan merger dengan Halliburton, perusahaan yang menutup sumur Macondo.
Dharmawan mengungkapkan, insiden tumpahan minyak ini bermula pada -Jumat, 12 Juli lalu, pukul 01.30 WIB, saat kegiatan perforasi. “Saat melakukan pre-entry di sumur YYA-1 pada kegiatan perforasi, muncul gelembung gas di anjungan,” tutur Dharmawan. “Pada 18 Juli, lapisan minyak mencapai pantai di sebelah barat anjungan yang berjarak sekitar 2 kilometer.”
Ketua Program Studi Teknik Perminyakan Institut Teknologi Bandung Bonar Tua Halomoan Marbun menduga munculnya gelembung gas saat kegiatan pemasangan rangkaian casing scraper itu dipicu kick well. Bonar menerangkan, casing scraper adalah alat yang dimasukkan ke sumur untuk membersihkan semua permukaan bagian dalam sumur sehingga tak ada kotoran yang bisa membuat casing tidak terpasang dengan baik.
Istilah kick, Bonar menerangkan, mengacu pada masuknya fluida—bisa berupa gas, minyak, atau air—ke sumur. Kick terjadi karena tekanan di dalam sumur lebih kecil daripada tekanan fluida di dalam batuan. “Anomali tekanan sangat mungkin terjadi pada lapisan bawah tanah yang mengandung hidrokarbon karena lapisan-lapisan ini berhubungan dengan lapisan lain,” ucap pengajar teknik pengeboran minyak, gas, dan geotermal, penyelesaian sumur, serta kerja ulang di ITB itu.
Menurut Bonar, tekanan di suatu lapisan bisa mempengaruhi tekanan di lapisan-lapisan lain. Ketika sebuah lapisan dibuka atau dibuka kembali, tekanan yang diprediksi ternyata jauh lebih besar dibanding tekanan di dalam sumur. Akibatnya, ada perbedaan tekanan yang tidak terkendali. “Akhirnya hidrokarbon keluar dari lapisan batuan dan masuk ke sumur dan naik ke permukaan,” ujar doktoringenieur dari program studi teknik perminyakan Technische Universität Clausthal, Jerman, itu.
Bonar menambahkan, faktor lain yang bisa menyebabkan kebocoran di sumur minyak dan gas adalah terjadinya keretakan tanah dan batuan di sekitar sumur lantaran bebannya lebih besar daripada kekuatan maksimum sumur. Keretakan pada tanah dan batuan itu, kata Bonar, disebabkan oleh amblesnya rongga-rongga di bawah permukaan. Rongga muncul karena minyak dan gas di dalamnya telah disedot.
Menurut Bonar, kondisi itu membuat anjungan menjadi ikut miring. Berdasarkan pengalaman dan statistik kasus-kasus anjungan miring di dunia pengeboran, Bonar melanjutkan, anjungan bisa saja miring karena kaki-kaki yang terpasang di dasar laut membebani tanah. Namun, karena tanahnya tidak cukup atau menurun, kaki anjungan menjadi tidak stabil. “Untuk kasus di ONWJ, dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan penyebab pastinya.”
Berjibaku Menyapu Tumpahan Minyak/Tempo
MANAJER Kampanye Energi dan Perkotaan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Dwi Sawung mengatakan, pada 18 Juli lalu, wilayah perairan yang terkena tumpahan minyak dari sumur YYA-1 seluas 45,37 kilometer persegi. Data itu, kata Sawung, diperoleh dari analisis citra satelit Sentinel 1 milik Badan Antariksa Eropa (ESA). “Adapun citra satelit Sentinel 1 pada 31 Juli menunjukkan luas laut yang terkena dampak mencapai 37,56 kilometer persegi,” ujar Sawung melalui pesan WhatsApp kepada Tempo, Jumat, 2 Agustus lalu.
Citra satelit yang sama juga dianalisis Kementerian Kelautan dan Perikanan. Widodo Pranowo, peneliti di Laboratorium Data Laut dan Pesisir Pusat Riset Kelautan Kementerian, mengatakan kementeriannya menganalisis citra satelit Sentinel 1 tanggal 18 Juli dan 22 Juli. Analisis itu, Widodo menjelaskan, dilakukan Bali Radar Ground Receiving Satellite Station, yang dioperasikan Balai Riset Observasi Laut Kementerian Kelautan. “Pada citra 18 Juli 2019 pukul 18.15 WIB, terlihat tumpahan minyak menyebar ke arah barat dan barat laut dengan estimasi luasan sekitar 17 kilometer persegi,” ucap Widodo.
Menurut Widodo, Juli dan Agustus adalah periode angin musim timur sehingga angin di atas permukaan laut akan membangkitkan arus menuju barat dan barat laut. “Saya berkomunikasi dengan Bapak Achmad Saelani dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Kepulauan Seribu, yang membenarkan bahwa minyak telah mencapai beberapa pulau di sana,” ujar Widodo. “Mencapai cagar alam Pulau Rambut pada 23 Juli, Pulau Untung Jawa pada 24 Juli, dan Pulau Bokor pada 26 Juli. Telah dilakukan pembersihan di tiga pulau itu dan berhasil mengumpulkan sekitar 730 karung minyak mentah.”
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga menurunkan tim untuk menyelidiki dampak tumpahan minyak sejak 20 Juli lalu. Menurut Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Karliansyah, tim menemukan dua desa di Kabupaten Bekasi dan tujuh desa di Kabupaten Karawang terkena dampak tumpahan minyak. “Tim menemukan tumpahan minyak telah merusak mangrove. Perakarannya tertutup lapisan minyak,” kata Karliansyah.
Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat Meiki W. Paendong membenarkan informasi bahwa tumpahan minyak telah merusak ekosistem bakau di beberapa wilayah pesisir Kabupaten Karawang. “Mangrove itu habitat bagi burung bangau, kuntul, dan raja udang,” ucap Meiki. Selain itu, pek sudah masuk ke tambak-tambak udang dan ikan bandeng sehingga membuat petambak gagal panen.
Hasil survei Kementerian Kelautan dan Perikanan sejak akhir Juli lalu menemukan lebih dari 1.600 hektare tambak udang, bandeng, rumput laut, dan garam di delapan desa di Karawang terkena dampak tumpahan minyak ini. Direktur Jenderal Perikanan Budi Daya Kementerian Slamet Soebjakto mengatakan setidaknya 127 petambak di enam kecamatan di Karawang berpotensi kehilangan pendapatan karena pek telah masuk ke saluran primer dan mencemari tanah tambak. “Butuh 6-12 bulan untuk memulihkan tanah tersebut,” kata Slamet.
Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati mengatakan perusahaannya menyiapkan rencana jangka panjang penanganan kebocoran sumur YYA-1 ini. Perusahaan, dia menjelaskan, tidak membatasi anggaran untuk menangani masalah tersebut. “Kami siap berapa pun biayanya dan akan melakukan pemulihan hingga tuntas.”
DODY HIDAYAT, VINDRY FLORENTIN, EKO WAHYUDI, ANWAR SISWADI (BANDUNG)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo