Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pusat terminal feri Pulau Batam pada sebuah siang. Tegak di atas ubun-ubun, matahari menebar panas menyengat. Masih menenteng kotak semir, bocah-bocah itu mengerumuni seorang pria "bule" berumur 40-an tahun. Tapi mereka tak sedang berebutan memoles sandal kulit yang hanya sepasang. Mereka ramai berceloteh tentang gambar yang dibagi-bagikan si Tuan.
David Gil, si penebar gambar, langsung memasang pendengaran dan menyetel ingatannya. Ia seperti tak mau meloloskan setiap celetukan yang terlontar. Saat itu, peneliti dari Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology, Leipzig, Jerman, ini tengah menghimpun ungkapan sehari-hari yang dipakai penduduk asli Riau.
Hingga kini, Gil sudah menghabiskan waktu tak kurang dari 12 tahun. Tapi belum semua rahasia bahasa Riau tersingkap. Di ujung pengamatan, ia menyimpulkan, bahasa Riau berbeda dari bahasa Melayu standar, baik yang dipakai Malaysia maupun yang dipakai Indonesia. Padahal, dalam literatur sejarah bahasa, bahasa Riau disebut sebagai cikal-bakal bahasa Melayu modern. Seperti kehabisan kosakata, Gil pun sempat menjuluki bahasa Riau sebagai bahasa tanpa nama.
Frasa-frasa bahasa Riau kerap membuat Gil pusing tujuh keliling. Untuk ungkapan "ayam makan", misalnya, awalnya ia mengira terjemahan bahasa Inggrisnya hanya "chicken is eating" ("ayam sedang makan"). Tapi, dalam percakapan sehari-hari, Gil menangkap makna yang berbeda-beda. Sekali waktu, pasangan kata ini berarti "the chicken is making somebody eat" ("ayam membuat seseorang bisa makan"). Pada konteks lain, ungkapan ini bermakna "somebody is eating where the chicken is" ("seseorang bisa makan saat ada ayam").
Menurut Gil, orang luar sulit memahami bahasa Riau antara lain karena bahasa ini tak memiliki ciri-ciri pembeda waktu (tenses) pada kelompok kata kerjanya. Berbeda dari bahasa Inggris atau bahasa Arab, bahasa Riau tak mengenal masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Bahasa Riau juga tak membedakan kata benda khusus (definite) dan kata benda umum (indefinite). Bahkan, yang membuat Gil tercengang, bahasa Riau tak membedakan kata benda dari kata kerja.
Meski belum juga bisa menyimpulkan data yang dia peroleh, doktor bahasa lulusan University of California, Los Angeles, Amerika Serikat, ini tak putus asa. Bersama Lera Boroditsky, peneliti dari Massachusetts Institute of Technology, dia merancang penelitian lanjutan. Penelitian ini menguji hubungan cara pengungkapan konsep-konsep (istilah bermakna) dalam suatu bahasa dengan cara berpikir pengguna bahasa itu.
Rancangan percobaan Gil dan Boroditsky sederhana saja. Kepada penduduk lokal, mereka akan memperlihatkan tiga gambar: pertama, gambar lelaki yang bersiap menendang bola; kedua, gambar lelaki (yang sama) yang baru saja menendang bola; dan terakhir, gambar lelaki lain yang mau menendang bola. Relawan lalu diminta memilih dua gambar yang paling mirip dari ketiga gambar itu.
Pada uji coba awal, pemakai bahasa Riau umumnya memilih dua gambar pertama, gambar yang menampilkan sosok lelaki yang sama. Sebaliknya, relawan pemakai bahasa Inggris umumnya memilih gambar pertama dan gambar ketiga, gambar yang menampilkan posisi bola yang sama-sama belum ditendang. Gil yakin, pilihan ini diambil karena dalam bahasa Inggris, waktu (akan menendang bola) merupakan konsep utama tata bahasa. Sebaliknya, dalam bahasa Riau, pengungkapan keterangan waktu hanya bersifat pilihan. Mau dipakai monggo, tidak dipakai pun silakan.
Dede Oetomo, pakar linguistik Indonesia, berpendapat bahwa penelitian Gil dan Boroditsky akan bermuara pada linguistik teoretis. Jadi, manfaatnya lumayan jauh dari kehidupan sehari-hari penutur bahasa Riau ataupun bahasa lokal lainnya. Lagi pula, menurut Dede, Gil hanya menguji hipotesis lama. Dalam ilmu lingusitik, ini dikenal sebagai hipotesis Sapir-Whorfmeminjam nama Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf, pakar linguistik Amerika awal abad ke-20.
Menurut hipotesis ini, jika bahasa suatu masyarakat tak mengenal kala (tenses), masyarakat itu tak akan memandang penting makna waktu. Kenyataannya tak selalu begitu. Unsur kala (tenses) memang tak ada dalam bahasa Melayu. Tapi orang Melayu tetap menganggap penting urusan waktu. "Muslim Melayu sangat peduli waktu, misalnya waktu salat lima waktu atau waktu imsak," ujar Dede.
Temuan Gil tentang kekhasan bahasa Riau, menurut Dede, mestinya membuka mata linguis "murni" bahwa bahasa sebaiknya dibiarkan berkembang wajar tanpa rekayasa. Dede justru risau pada paham universalisme teori bahasa. Teori ini mengasumsikan setiap bahasa harus menggunakan kata benda, kata kerja, kata sifat, ataupun kata keterangan. Ini, kata Dede, tak lebih dari dominasi teori bahasa yang berkiblat ke Eropa atau Latin-Yunani. "Bahasa tak senantiasa universal. Dominasi Eurosentris atau Greco-Latin-sentris teori bahasa sudah seharusnya dibongkar," papar lulusan Cornell University, Amerika, itu.
Jajang Jamaludin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo