Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM urusan menegakkan keadilan, hakim kerap disebut sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Putusan yang telah diayunkannya pun tidak bisa diganggu gugat. Tapi bagaimana jika mereka mungkin salah? Inilah yang pelik. Bukan soal penerapan hukum, yang terjadi di Pengadilan Negeri Medan sungguh membuat mata orang terbelalak: hakim diduga memanipulasi putusannya sendiri.
Dugaan itu mencuat setelah majelis hakim yang beranggotakan Hendrik P. Pardede, H.P. Purba, dan Binsar Gultom mengeluarkan petikan putusan perkara nomor 00/Pdt.G/2003/PN Mdn pada 9 Januari lalu. Perkara ini merupakan gugatan utang-piutang antara pengusaha setempat, Amrick, dan komisaris PT Harian Waspada, Teruna Jasa Said. Ternyata, seperti yang diberitakan oleh Harian Waspada, Medan, beberapa waktu lalu, petikan itu berbeda dengan putusan yang dibacakan majelis hakim di persidangan.
Dalam sidang akhir yang digelar 19 Desember 2003, majelis hakim menyatakan bahwa tergugat I (Teruna Jasa) telah melakukan wanprestasi terhadap penggugat. Itu sebabnya hakim mewajibkan tergugat membayar utang sebesar Rp 3,009 miliar setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Adapun tergugat II (PT Harian Waspada) dikesampingkan alias tidak terkena kewajiban.
Pada petikan putusan, menurut Refman Basri, kuasa hukum tergugat, isinya lain. Di situ majelis hakim mengabulkan sebagian gugatan dan menyatakan tergugat I dan tergugat II telah melakukan perbuatan wanprestasi. Kewajiban membayar utang sebesar Rp 3,009 miliar pun dikenakan kepada PT Harian Waspada. Jelas, "Kami dirugikan dengan keluarnya petikan putusan berbeda itu," katanya. Karena itu, Refman dan kliennya melaporkan anggota majelis hakim tersebut ke Pengadilan Tinggi Medan.
Masalah ini bermula dari sengketa piutang antara Amrick dan Teruna, yang dulunya berkawan. Sejak awal 1990, Amrick meminjamkan uang kepada Teruna secara bertahap. Pada 25 Maret 1991, kredit dikucurkan oleh penggugat sebesar Rp 785 juta dengan jaminan 5 lembar cek dari Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara. Sebulan berikutnya Rp 600 juta, Juni 1991 Rp 260 juta, dan pada 28 Desember 1991 Rp 1 miliar. Kredit itu semuanya diberikan dengan jaminan cek dari Teruna.
Awalnya tak ada masalah. Tapi, tak lama kemudian, keduanya mulai tak sepaham, baik tentang jumlah utang maupun tentang bunganya. Menurut Teruna, si peminjam menaikkan jumlah bunga sehingga utang membengkak. Kendati begitu, Teruna mengaku tetap mengangsur. Dari utang sebesar Rp 1,146 miliar, dibayarnya beserta bunga Rp 1,26 miliar.
Amrick punya hitungan sendiri. Menurut dia, utang Teruna berikut bunga dan denda hingga 2003 berjumlah Rp 3,249 miliar. Di persidangan, majelis menerima hitungan Amrick, yang dianggap bisa membuktikan piutang itu. Dalam penilaian majelis, tergugat hanya tiga kali mengangsur utangnya: Rp 200 juta, Rp 15 juta, dan Rp 25 juta. Sisanya yang masih Rp 3,009 miliar itulah yang wajib dibayar. Dalam perkara ini, PT Harian Waspada diseret karena diduga pinjaman itu dipakai buat pengembangan usaha penerbitan Waspada.
Pihak Waspada sungguh yakin petikan putusan tersebut berbeda dengan vonis yang dibacakan hakim karena banyak saksi yang mendengarnya. Selain didengar dua kuasa hukum Waspada, Bahagian Bukit dan Elidawati Harahap, pembacaan vonis itu diliput tiga wartawan. "Sesuai dengan undang-undang, putusan yang sah itu yang dibacakan hakim di persidangan, bukan petikan putusan," ujar Refman.
Tanggapan majelis hakim? Binsar Gultom membantah tudingan manipulasi. "Manipulasi putusan tidak pernah ada. Petikan putusan yang diterima kedua belah pihak sesuai dengan fakta persidangan," ujarnya.
Masalah ini sekarang ditangani tim khusus yang dibentuk Ketua Pengadilan Negeri Medan, Soltoni Mohdally. "Jika memang terbukti, majelis ini memang mau cari mati. Akan kami tindak tegas hakimnya," ujar Soltoni. Kelak hasil pemeriksaan tim itu akan diteruskan ke pengadilan tinggi.
Endri Kurniawati, Bambang Soedjiartono (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo