Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Tak Harus ke Pengadilan

1 Februari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KENDATI Tomy Winata memenangi gugatan terhadap Koran Tempo, itu bukan berarti tergugat mesti segera membayar ganti rugi US$ 1 juta. Perjalanan masih panjang karena pihak Koran Tempo bakal mengajukan banding. Dan bisa diperkirakan perkara ini akhirnya akan bermuara ke Mahkamah Agung. Betapa banyak duit yang dihabiskan kedua belah pihak untuk beperkara. Betapa banyak pula perkara yang akan menggunung di MA karena hampir semua perkara perdata dan juga pidana berujung di sana.

Itu sebabnya Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan berkali-kali menyerukan agar orang yang bersengketa melirik jalan lain di luar pengadilan: jalur mediasi. Jalan alternatif ini telah mewarnai proses hukum di berbagai negara karena dinilai lebih murah dan efektif. "Orang yang beperkara juga tak perlu terekspos kekurangan-kekurangannya seperti yang biasa terjadi di pengadilan," ujar Bagir kepada TEMPO pekan lalu. Yang lebih penting, kata Ketua MA, orang yang beperkara ini bisa melanjutkan hubungan bisnis mereka kembali secara normal.

Tata cara melakukan mediasi tersebut telah dituangkan dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003, yang dikeluarkan pada September tahun lalu. Berdasarkan peraturan ini, dalam pembukaan sidang, majelis hakim mewajibkan para pihak yang beperkara menempuh mediasi. Hanya dalam satu hari, pihak yang beperkara wajib menentukan mediatornya. Jika tidak, hakim akan menunjuk mediator yang terdaftar. Yang jelas, majelis hakim tak boleh menunjuk hakim ketua atau anggota yang menangani perkara tersebut sebagai mediatornya.

Proses mediasi berlangsung paling lama 20 hari. Jika tidak menghasilkan kesepakatan, mediator wajib menyatakannya secara tertulis kepada hakim. Setelah itu, barulah dilakukan proses pemeriksaan perkara seperti biasa, sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku. Semua pengakuan para pihak, dokumen, notulen, atau catatan mediator tak bisa dijadikan bukti pada perkara tersebut. Mediator juga tak bisa diminta menjadi saksi. Peraturan ini mulai dilaksanakan tahun ini di sejumlah pengadilan negeri: Jakarta Pusat, Surabaya, Padang, dan Bengkalis, Riau.

Menurut Bagir Manan, mediasi dilakukan untuk semua perkara perdata, termasuk yang menyangkut pers. Lembaga-lembaga juga bisa menjadi penengahnya. "Misalnya, lembaga ombudsman atau Dewan Pers bisa menjadi mediator dalam kasus pers," kata Bagir.

Gubernur Gorontalo, Fadel Muhammad, sudah melakukan cara itu saat berseteru dengan koran lokal, Limboto Express. Ia mengajak Limboto berdamai lewat Dewan Pers. Perseteruan berawal dari kegerahan Gubernur Fadel dengan tulisan-tulisan di Limboto yang dianggap memojokkan dirinya. Misalnya sebuah headline terbitan Senin, 15 September 2003, yang berjudul Fadel Bikin Malu Rakyat Gorontalo.

Akibatnya, 300 pendukung Fadel menggeruduk kantor Limboto Express pada pertengahan Oktober lalu. Pihak Limboto melaporkan kelakuan anak buah Fadel ke polisi. Namun, sebelum kasus bertambah seru dan berlanjut ke pengadilan, Fadel memilih menyelesaikan persoalan lewat Dewan Pers. "Menyelesaikan masalah dengan media pers tak perlu melibatkan aparat hukum atau gugatan ke pengadilan. Sebab, ujung-ujungnya cuma masalah jurnalistik, menyangkut etika dalam mengemas informasi," kata Fadel.

Dewan Pers membuat rekomendasi agar Limboto Express meminta maaf. Namun hasil itu tidak diterima Limboto dengan alasan Fadel belum menggunakan hak jawabnya. Kendati hasilnya kurang maksimal, kasus ini tidak sampai bergulir ke pengadilan.

Ketua Dewan Pers Ichlasul Amal pun menyambut baik jika ada pihak yang meminta lembaganya menjadi mediator. Menurut dia, sanksi yang diberikan Dewan Pers terhadap sebuah media massa yang terbukti melanggar kode etik pers sebenarnya cukup berat karena berupa sanksi moral. Lagi pula, "Kalau lewat pengadilan, orang akan melihat ada keberpihakan," katanya kepada Faisal dari TEMPO.

Menurut Bagir Manan, penggunaan mediator sebenarnya untuk mengurangi beban perkara di pengadilan. Apalagi, ia mengungkapkan, sekarang banyak persangkaan adanya hakim yang nakal. Dalam mediasi, hakim hanya menyaksikan. "Jadi, hakimnya tak mencampuri itu, terserah kedua belah pihak yang beperkara. Ini juga bisa menjauhkan hakim dari persangkaan yang bermacam-macam," ujar Bagir.

Ahmad Taufik, Cunding Levi (Jayapura), Verrianto Madjowa (Manado)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus