Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Bila inti sel dipindahkan

Suatu pemindahan inti sel tikus ke dalam telur berhasil dibiakkan oleh dua ahli mikrobiologi di universitas jenewa. mereka bertujuan meneliti perkembangan perbedaan tugas sel.(ilm)

31 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG senator kaya, calon presiden Amerika Serikat, ingin hidup sehat dan selama mungkin. Setiap bagian tubuhnya yang mulai kropos dan sakit, ia tukar dengan bagian baru yang sehat dan genetis sama. "Sukucadang" itu ia peroleh dari sejumlah kopi genetik dirinya yang sengaja "dibiakkan" di sebuah laboratorium rahasia. Fantasi ini digambarkan dalam film Parts The Clonus Horror, yang akan beredar di bioskop Jakarta. Khayalan yang tak masuk akal? Mungkin begitu. Tetapi proces membuat kopi genetik dari satu sel telah lama merupakan subyek penelitian serius bagi puluhan ahli mikrobiologi di dunia. Proses membuat klona atau membiakkan organisme dari satu sel hidup disebut cloning dalam bahasa Inggris, dan hasilnya clone. Ini berasal dari bahasa Yunani, yang mengartikan tunas atau tangkai dengan kata klon. Majalah ilmiah Cell yang diterbitkan Institut Teknologi Massachusetts (MIT) di AS baru saja mengungkapkan suatu perkembangan penting di bidang penelitian mikrobiologi itu. Dalam majalah itu Karl Illmansee dari Universitas Jenewa (Swiss) dan Peter Hope dari Jackson Laboratorium di Bar Harbor, Maine (AS) melaporkan mereka berhasil pertama kali membuat klona dari sel mamalia. Di Universitas Jenewa kedua ahli mikrobiologi ini membiakkan tiga klona tikus yang punya genetis sama dengan tikus donor sel asal. Sebelumnya klona hanya bisa dibiakkan dari sel reptilia seperti kodok. Ini terutama karena telur kodok, donor sel dalam proses itu, belasan kali lebih besar dibanding telur mamalia dan mudah terlihat. Sebaliknya telur mamalia sangat ringkih dan bisa dilihat hanya dengan bantuan mikroskop hingga menyulitkan teknik pemindahan inti. Pemindahan inti sel kodok yang sukses pertama kali dilakukan Dr. Robert Briggs dan Dr. Thomas King di Lembaga Penelitian Kanker, Philadelphia, AS, tahun 1952. Tapi pembiakan klona kodok, yang berulang kali dilakukan John Gurdon tahun 1960-an di Inggris, membuka mata dunia ilmu akan implikasi dan kemungkinan luas yang dikandung teknik itu. Tapi Dr. Gurdon waktu itu sudah memperkirakan usaha membiakkan klona mamalia, apalagi manusia, akan jauh lebih sulit. Trafektoderma Seperti prosesnya terdahulu, Dr. Illmansee dan Dr. Hope juga mengeluarkan inti dari sebuah sel tikus dengan pipet kaca, sehalus sehelai rambut. Dikendalikan alat mekanis mikro sambil mengamati geraknya melalui mikroskop, pipet itu dimasukkan ke dalam sel. Ini berasal dari bagian dalam embrio seekor tikus berwarna abu-abu. Embrio itu baru saja berkemhang dari telur yang sudah dibuahi dan masih dalam tahap bentuk blastosist. Kemudian inti yang baru dikeluarkan itu dimasukkan ke dalam telur tikus hitam. Telur itu baru dibuahi hingga inti sperma belum sempat bergabung dengan inti telur. Kedua inti asli itu kemudian dikeluarkan dengan pipet halus itu. Dari 542 pemindahan inti sel, 363 sel berasal dari bagian dalam embrio yang masih dalam bentuk blastosist. Sisanya menggunakan inti yang berasal dari sel bagian luar blastosist. Bagian ini yang dinamakan trafektoderma, biasanya berkembang menjadi plasenta, uterus dan tali pusar. Ternyata dari yang 363 itu berkembang menjadi fetus, sedang telur yang mengandung inti berasal dari sel bagian luar blastosist tampaknya tidak mampu mengembangknnya menjadi organisme baru. Tapi dari 363 pemindahan itu ada juga yang gagal akibat kerusakan selama proses mekanis pemindahan. Yaitu hanya 142 yang kemudian dibiakkan dalam tabung kaca dan -- setelah empat hari 48 antaranya berkembang normal -- menjadi blastosist bersel banyak. Seleksinya masih berlangsung terus hingga akhirnya terpilih 16 embrio untuk ditanamkan di rahim 5 ekor tikus pulih. Dengan hormon tikus ini dipersiapkan untuk menerima proses kehamilan buatan itu. Sebagai bandingan sejumlah tikus lain juga ditanami embrio, berasal dari sel tikus putih tanpa menukar intinya. Semua tikus itu menjadi hamil dan kemudian melahirkan. Ternyata kecuali 3 klona itu, semua tikus lainnya yang lahir berwarna putih. Ketiga klona tikus itu tidak berwarna hitam seperti tikus yang menyediakan telurnya. Ketiganya berwarna abu-abu, mirip tikus donor inti sel semula. Pembuktian lebih teliti tentang persamaan genetisnya diperoleh melalui peemeriksaan contoh jaringan kuping, ekor dan kulit ketiga klona itu. Juga enzima pada tikus klona itu menunjukkan persamaan genetik dengan sel embrio asal, sebaliknya berbeda dengan yang terdapat pada telur maupun indung tikus yang mengandungnya. Ini belum cukup tuntas membuktikan ketiga tikus itu merupakan klona, menurut beberapa ahli. Karena embrio donor sel terbunuh dalam proses mengambil selnya hingga tidak ada organisme hidup lain sebagai pembanding genetis. Teoritis setiap sel bisa menghasilkan klona, organisme lengkap yang sama betul dengan donor sel asal itu. Ini sudah terbukti dengan tanaman. Soalnya ialah setiap sel -- kecuali sel mani dan sel telur -- mengandung informasi genetika lengkap dalam bentuk gena pada kromosomnya. Tapi diduga bahwa dalam perkembangan sel kemudian, sebagian besar gena itu terkunci, hanya mengaktifkan gena yang menentukan apakah sel itu berkembang menjadi sel kulit, otot, darah, tulang, hati, ginjal atau organ lainnya. Warisan Genetika Berbeda dengan mamalia, kebanyakan reptilia bisa mengaktifkan kembali warisan genetika yang sudah terkunci itu, hingga bisa menumbuhkan bagian tubuh tertentu yang terpotong. Misalnya ekor cecak atau kaki kodok bisa tumbuh kembali. Tapi akhirnya, juga pada reptilia, proses menua mengunci gena itu dan menghalangi pembiakan klona dari sel dewasa. Belum berhasil orang membuat klona dari sel kodok dewasa, misalnya. Itu sebabnya eksperimen itu selalu dilakukan dengan sel dari telur yang baru dibuahi dan genanya masih terbuka semua. Ini cenderung membenarkan pendapat bahwa khazanah informasi dalam sel berangsur terkunci. Namun dari eksperimen di Swiss ini bisa disimpulkan bahwa proses regenerasi pada mamalia juga tidak di luar kemungkinan. Bila informasi genetika dalam inti sel mamalia dewasa bisa diaktifkan kembali, sel itu bisa dirangsang melakukan tugas lain yang berbeda dengan tugas khususnya. Menurut Charles Babinet dari Lembaga Pasteur di Paris, membuat klona bukanlah tujuan utama kedua biolog di Swiss itu. "Yang lebih penting ialah terbuka kemungkinan meneliti perkembangan perbedaan tugas sel," ujar Babinet. Dengan mengungkap bagaimana cara dan bila sel mamalia mengunci sebagian genanya, orang berharap akan mengetahui sebab penyakit kanker. Secara umum para ahli menduga penyakit ini disebabkan kekeliruan dalam proses penguncian gena itu hingga berakibat sel itu berkembang tidak wajar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus