SEORANG senator kaya, calon presiden Amerika Serikat, ingin
hidup sehat dan selama mungkin. Setiap bagian tubuhnya yang
mulai kropos dan sakit, ia tukar dengan bagian baru yang sehat
dan genetis sama. "Sukucadang" itu ia peroleh dari sejumlah kopi
genetik dirinya yang sengaja "dibiakkan" di sebuah laboratorium
rahasia. Fantasi ini digambarkan dalam film Parts The Clonus
Horror, yang akan beredar di bioskop Jakarta.
Khayalan yang tak masuk akal? Mungkin begitu. Tetapi proces
membuat kopi genetik dari satu sel telah lama merupakan subyek
penelitian serius bagi puluhan ahli mikrobiologi di dunia.
Proses membuat klona atau membiakkan organisme dari satu sel
hidup disebut cloning dalam bahasa Inggris, dan hasilnya clone.
Ini berasal dari bahasa Yunani, yang mengartikan tunas atau
tangkai dengan kata klon.
Majalah ilmiah Cell yang diterbitkan Institut Teknologi
Massachusetts (MIT) di AS baru saja mengungkapkan suatu
perkembangan penting di bidang penelitian mikrobiologi itu.
Dalam majalah itu Karl Illmansee dari Universitas Jenewa (Swiss)
dan Peter Hope dari Jackson Laboratorium di Bar Harbor, Maine
(AS) melaporkan mereka berhasil pertama kali membuat klona dari
sel mamalia. Di Universitas Jenewa kedua ahli mikrobiologi ini
membiakkan tiga klona tikus yang punya genetis sama dengan
tikus donor sel asal.
Sebelumnya klona hanya bisa dibiakkan dari sel reptilia seperti
kodok. Ini terutama karena telur kodok, donor sel dalam proses
itu, belasan kali lebih besar dibanding telur mamalia dan mudah
terlihat. Sebaliknya telur mamalia sangat ringkih dan bisa
dilihat hanya dengan bantuan mikroskop hingga menyulitkan teknik
pemindahan inti.
Pemindahan inti sel kodok yang sukses pertama kali dilakukan Dr.
Robert Briggs dan Dr. Thomas King di Lembaga Penelitian
Kanker, Philadelphia, AS, tahun 1952. Tapi pembiakan klona
kodok, yang berulang kali dilakukan John Gurdon tahun 1960-an di
Inggris, membuka mata dunia ilmu akan implikasi dan kemungkinan
luas yang dikandung teknik itu. Tapi Dr. Gurdon waktu itu sudah
memperkirakan usaha membiakkan klona mamalia, apalagi manusia,
akan jauh lebih sulit.
Trafektoderma
Seperti prosesnya terdahulu, Dr. Illmansee dan Dr. Hope juga
mengeluarkan inti dari sebuah sel tikus dengan pipet kaca,
sehalus sehelai rambut. Dikendalikan alat mekanis mikro sambil
mengamati geraknya melalui mikroskop, pipet itu dimasukkan ke
dalam sel. Ini berasal dari bagian dalam embrio seekor tikus
berwarna abu-abu. Embrio itu baru saja berkemhang dari telur
yang sudah dibuahi dan masih dalam tahap bentuk blastosist.
Kemudian inti yang baru dikeluarkan itu dimasukkan ke dalam
telur tikus hitam. Telur itu baru dibuahi hingga inti sperma
belum sempat bergabung dengan inti telur. Kedua inti asli itu
kemudian dikeluarkan dengan pipet halus itu.
Dari 542 pemindahan inti sel, 363 sel berasal dari bagian dalam
embrio yang masih dalam bentuk blastosist. Sisanya menggunakan
inti yang berasal dari sel bagian luar blastosist. Bagian ini
yang dinamakan trafektoderma, biasanya berkembang menjadi
plasenta, uterus dan tali pusar. Ternyata dari yang 363 itu
berkembang menjadi fetus, sedang telur yang mengandung inti
berasal dari sel bagian luar blastosist tampaknya tidak mampu
mengembangknnya menjadi organisme baru.
Tapi dari 363 pemindahan itu ada juga yang gagal akibat
kerusakan selama proses mekanis pemindahan. Yaitu hanya 142
yang kemudian dibiakkan dalam tabung kaca dan -- setelah empat
hari 48 antaranya berkembang normal -- menjadi blastosist bersel
banyak.
Seleksinya masih berlangsung terus hingga akhirnya terpilih 16
embrio untuk ditanamkan di rahim 5 ekor tikus pulih. Dengan
hormon tikus ini dipersiapkan untuk menerima proses kehamilan
buatan itu. Sebagai bandingan sejumlah tikus lain juga ditanami
embrio, berasal dari sel tikus putih tanpa menukar intinya.
Semua tikus itu menjadi hamil dan kemudian melahirkan. Ternyata
kecuali 3 klona itu, semua tikus lainnya yang lahir berwarna
putih. Ketiga klona tikus itu tidak berwarna hitam seperti tikus
yang menyediakan telurnya. Ketiganya berwarna abu-abu, mirip
tikus donor inti sel semula.
Pembuktian lebih teliti tentang persamaan genetisnya diperoleh
melalui peemeriksaan contoh jaringan kuping, ekor dan kulit
ketiga klona itu. Juga enzima pada tikus klona itu menunjukkan
persamaan genetik dengan sel embrio asal, sebaliknya berbeda
dengan yang terdapat pada telur maupun indung tikus yang
mengandungnya.
Ini belum cukup tuntas membuktikan ketiga tikus itu
merupakan klona, menurut beberapa ahli. Karena embrio donor
sel terbunuh dalam proses mengambil selnya hingga tidak ada
organisme hidup lain sebagai pembanding genetis.
Teoritis setiap sel bisa menghasilkan klona, organisme lengkap
yang sama betul dengan donor sel asal itu. Ini sudah terbukti
dengan tanaman. Soalnya ialah setiap sel -- kecuali sel mani
dan sel telur -- mengandung informasi genetika lengkap dalam
bentuk gena pada kromosomnya. Tapi diduga bahwa dalam
perkembangan sel kemudian, sebagian besar gena itu terkunci,
hanya mengaktifkan gena yang menentukan apakah sel itu
berkembang menjadi sel kulit, otot, darah, tulang, hati, ginjal
atau organ lainnya.
Warisan Genetika
Berbeda dengan mamalia, kebanyakan reptilia bisa mengaktifkan
kembali warisan genetika yang sudah terkunci itu, hingga bisa
menumbuhkan bagian tubuh tertentu yang terpotong. Misalnya ekor
cecak atau kaki kodok bisa tumbuh kembali. Tapi akhirnya, juga
pada reptilia, proses menua mengunci gena itu dan menghalangi
pembiakan klona dari sel dewasa. Belum berhasil orang membuat
klona dari sel kodok dewasa, misalnya. Itu sebabnya eksperimen
itu selalu dilakukan dengan sel dari telur yang baru dibuahi
dan genanya masih terbuka semua. Ini cenderung membenarkan
pendapat bahwa khazanah informasi dalam sel berangsur terkunci.
Namun dari eksperimen di Swiss ini bisa disimpulkan bahwa proses
regenerasi pada mamalia juga tidak di luar kemungkinan. Bila
informasi genetika dalam inti sel mamalia dewasa bisa diaktifkan
kembali, sel itu bisa dirangsang melakukan tugas lain yang
berbeda dengan tugas khususnya.
Menurut Charles Babinet dari Lembaga Pasteur di Paris, membuat
klona bukanlah tujuan utama kedua biolog di Swiss itu. "Yang
lebih penting ialah terbuka kemungkinan meneliti perkembangan
perbedaan tugas sel," ujar Babinet. Dengan mengungkap bagaimana
cara dan bila sel mamalia mengunci sebagian genanya, orang
berharap akan mengetahui sebab penyakit kanker. Secara umum para
ahli menduga penyakit ini disebabkan kekeliruan dalam proses
penguncian gena itu hingga berakibat sel itu berkembang tidak
wajar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini